Saturday, 17 May 2008

Wasiat Tak Ternilai

Para ulama tidak pernah mati. Mereka mungkin mati secara jasad, tapi pemikiran dan gagasannya akan selalu hidup. Merekalah para guru yang telah banyak meninggalkan jejak dan catatan hidup. Mereka orang-orang yang lebih banyak belajar bekerja daripada belajar berbicara. Mereka para ulama yang kejernihan batinnya menjadikan jernih memandang keadaan. Mereka para pewaris Rasulullah yang ketajaman pikirannya membuat penilaiannya tak pernah lepas dari tuntunan Allah swt.

Tidak banyak para pendahulu kita yang memiliki kebaikan-kebaikan seperti itu. Satu di antara yang sedikit itu adalah guru kita Syaikh Ibnul Jauzi rahimahullah. Ia adalah salah satu ulama salaf ahli haditrs, fiqh dan pendidikan yang pandangannya tertuang dalam banyak kitab karyanya. Imam Ibnul Jauzi yang disebut juga dengan Abul Faraj begitu menggugah dalam menasehati, hingga para khalifah banyak menganjurkan rakyatnya untuk mendengar pelajaran dan nasehat dari Ibnul Jauzi. Salah satu kitabnya, Shaidul Khatir, menyebutkan petikan-petikan pengalaman dan catatan hidupnya yang sangat dalam maknanya.

Saudaraku,
Bayangkalah bila kita saat ini berada di hadapan Syaikh yang ilmu serta perangainya sangat dihormati itu. Kita ingin menghirup dan menelan sedikit dari pengalamannya yang tertuang dalam kitab Shaidur Khatir.

Dalam kitab itu, Ibnul Jauzi berkata pada dirinya: “Suatu ketika, jiwaku mengelabuiku untuk memenuhi keinginan dengan memunculkan penafsiran lintasan pikiran yang keliru. Maka kukatakan pada jiwaku: ‘Demi Allah, hendaknya engkau bersabar. Jika engkau menginginkan sesuatu maka timbanglah hasil sesuatu itu, lalu renungkan apa akibat dan apa manfaatnya. Sedikitkanlah kemungkinan engkau menyesali apa yang engkau perbuat. Jangan sampai pekerjaan itu akan menambah kemarahan Allah dan menjadikan Allah menolakmu.”

“Ketahuilah wahai jiwaku, tidak ada sesuatu yang terjadi karena kecerobohan. Timbangan keadilan itu akan bisa menangkap biji yang sangat kecil sekalipun. Renungilah orang-orang yang sudah mati dan yang masih hidup. Lihatlah siapakah orang-orang yang diingat kebaikannya dan keburukannya. Sesungguhnya Allah itu Maha Cepat dalam menghisab.”



Saudaraku,
Jangan beranjak dulu. Ikuti lagi pengalaman yang dikatan Syaikh Ibnul Jauzi rahimahullah.

“Aku pernah tertekan dengan masalah yang menjadikanku selalu dalam kegelisahan. Aku berusaha sekuat tenaga agar terlepas dari jeratan kegelisahan itu. Tapi upaya yang kulakukan itu sia-sia. Lalu aku membaca firman Allah ini: “Dan barang siapa yang bertakwa pada Allah, maka ia akan diberikan jalan keluar dan diberi rizki dari arah yang tidak diduga-duga.” (QS. Ath Thalaq).
“Aku mengerti bahwa ketaqwaan merupakan jalan keluar dari seluruh kegelisahan. Maka, selama aku ada di jalan memuwujudkan takwa, pasti kudapati jalan keluar dalam menghadapi masalah apapun. Seorang makhluk tidak boleh menyandarkan diri kecuali pada Allah. Allah-lah yang akan mencukupinya. Seseorang bisa melakukan usaha apapun, akan tetapi hatinya tidak boleh tergantung pada usaha itu. Hati-hatilah melanggar batasan Allah, sehingga engkau menjadi hina di hadapan Allah dan kecil di hadapan makhluk-Nya.”

“Aku menemukan orang yang usianya disumbangkan untuk ilmu hingga ia tua. Tapi ia melanggar larangan Allah. Jadilah ia dihinakan oleh Allah dan dikecilkan oleh makhluk Allah. Mereka tidak menoleh padanya meskipun ia orang yang luas ilmunya, kuat argumentasinya dalam berdebat. Aku juga melihat ada orang yang berhati-hati dan merasa diawasi oleh Allah dalam hidupnya. Ia juga mengutamakan tuntunan Allah meski ia tidak sebanding ilmunya dengan orang alim tadi. Tapi Allah meninggikan kehormatannya dalam hati makhluk-Nya sehingga ia dicintai banyak orang karena kebaikannya.”

“Aku pernah mengalami kesulitan dan kepayahan. Kemudian aku perbanyak doa untuk memohon keselamatan dan ketenangan, tapi tampaknya doaku tak kunjung dikabulkan sebagaimana harapanku. Jiwaku gelisah, lalu kukatakan padanya dengan keras: “Celakalah engkau, periksalah keadaanmu. Apakah engkau ini budak atau raja? Tidakkah engkau tahu bahwa dunia adalah tempat ujian? Jika engkau ingin mendapat apa yang kau inginkan kemudian engkau tidak bersabar tatkala engkau belum mencapainya, di manakah ujian hidup itu jadinya? Engkau telah menginginkan sesuatu yang engkau tidak tahu akibatnya. Padahal bisa saja sesuatu itu justru membahayakanmu. Allah berfirman: ‘Bisa saja engkau membenci sesuatu padahal itu baik bagimu dan bisa saja engkau mencintai sesuatu bagimu padahal itu buruk bagimu. Dan Allah yang Maha Mengetahui sedangkan engkau tidak mengetahui.’(QS. Al Baqarah: 216).”

“Aku mengambil manfaat dari pengalaman hidup, bahwa seseorang hendaknya tidak menampakkan permusuhan pada orang lain, sebisa mungkin. Karena seseorang mungkin tidak menyangka bila ia memerlukan orang seperti itu suatu waktu. Jika ternyata kita tidak memerlukan orang itu untuk memberi manfaat bagi kita, setidaknya ia bisa menghindarkan bahaya.”

Saudaraku,
Demikianlah petikan pengalaman hidup seorang shalih. Betapa banyak dan dalam makna yang diungkapkan dalam perkataan Imam Ibnul Jauzi rahimahullah. Sungguh inilah wasiat dan peninggalan yang tak ternilai. Inilah sebagian cahaya yang seharusnya kita pegang dalam meniti hidup kita.

Al Imam Ibnul Jauzi Abu Al Faraj, yang nasabnya terhubung dengan sahabat Rasulullah, Abu Bakar Ash Shiddiq ra, wafat pada malam jum’at 12 Ramadhan 597 H/1201 M pada usianya yang hampir 90 tahun. Ia dimakamkan di Babul Harb, Baghdad, dekat makam Imam besar Ahmad bin Hambal.

Semoga Allah memberikan balasan padanya karena berbagai ilmu yang ia tinggalkan. Semoga kita diberi kekuatan tekad dan mampu mengikuti jejak salafushalih.

Sumber: Majalah Tarbawi

Sunday, 11 May 2008

Pemikiran Hassan Al-Banna mengenai konsep bernegara dalam risalah nizhamul hukm

Hassan Al-Banna dan kondisi Mesir pada masa hidupnya

Hassan Al-Banna (1906-1949) adalah seorang tokoh yang fenomenal. Karena banyak pakar-pakar dalam studi islam kontemporer menilai dirinya sebagai pelopor dari gerakan-gerakan islam modern. Hal ini dilihat dari pergerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikannya, pemikiran-pemikiran dan sistem pengkaderan dari gerakan ini banyak diadopsi oleh berbagai organisasi dan gerakan-gerakan dan organisasi Islam kontemporer misalnya parta FIS di Aljazair, Partai Keadilan di Indonesia, IIIT di Amerika, MSA ( Muslim Student Association) di berbagai perguruan tinggi di Amerika, PAS di Malaysia, Partai Refah di Turki, demikian pula dengan cabang-cabang Ikhwanul Muslimin di negara lain, seperti di Yordania, dan di Sudan. Kebanyakan dari gerakan-gerakan tersebut menunjukkan eksistensi pada wilayah politik kenegaraan, hal ini tidak bisa dilepaskan dari konsep pemikiran gerakan tersebut (Ikhwan) dimana konsep ini sebagian besarnya dicanangkan oleh pendiri gerakan tersebut (Hassan Al-Banna), meskipun dalam perkembangannya terjadi beberapa perubahan dalam pemikiran gerakan ini. Gerakan Ikhwanul Muslimin ini sendiri diakui telah berhasil membendung arus sekularisme di Mesir, meskipun pada akhirnya gerakan ini dihancurkan pemerintah Mesir pada tahun 1960-an namun ketika gerakan ini dihancurkan, justru memberi kesempatan bagi para tokohnya yang keluar dari negara Mesir untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran ini di negara tempat mereka bernaung, dan hasilnya dapat dilihat dari kesamaan-kesamaan pemikiran yang tercermin pada gerakan-gerakan politik yang telah disebut sebelumnya, pemikiran yang menyatukan antara konsep islam dan negara (din wa daulah).



Mesir dan dunia islam, pada masa kecil Hassan Al-Banna tengah mengalami pergolakan yang luar biasa, hal tersebut secara tidak langsung telah mempengaruhi pola pikir dan pandangan beliau mengenai politik kenegaraan. Adapun beberapa kejadian tersebut adalah :

a. Revolusi Nasional Mesir pada tahun 1919. Dimana pada masa tersebut beliau termasuk pelajar yang paling dikenal di kalangan demonstran. Beliau mengatakan

“Meski sibuk bergelut dengan dunia tasawuf dan ibadah, aku berkeyakinan bahwa berbakti kepada negara merupakan jihad yang tidak bisa ditawar lagi. Maka sesuai dengan akidah dan kapasitasku sebagai pelajar – dia adalah tokoh pelajar terkemuka – aku bertekad akan melaksanakan peranan yang nyata dalam pergerakan-pergerakan ini”[1].



Runtuhnya Khilafah Islamiyah tahun 1924. Dimana dalam usaha-usaha untuk membangun khilafah islamiyah al-Banna ikut serta di dalamnya. Dalam Tarikh Al-Ikhwan Al-Muslimun Dr Muhammad Immarah mengatakan
“ Setelah usaha dan harapan untuk membangun kembali khilafah islamiyah pupus .. para ulama dan pemikir ternama pada 1345 H / 1927 M. berinisiatif untuk menggelar konferensi di Kairo yang menghasilkan berdirinya jam’iyah Asy-Syubban Al-Muslimiin (Organisasi Pemuda Muslim) dan pada tahun berikutnya tahun 1346 H. / 1928 M., Imam Syahid Hassan Al-Banna mendirikan Jamaah Al-Ikhwan Al-Muslimun sebagai sebuah organisasi massa pertama bagi tren penghidupan dan pembaharuan Islam masa modern. Imam Al-Banna lah yang turut serta dalam konferensi pendirian Asy-Syubbanul Al-Muslimun.[2]



Mengenai khilafah ini Al-Banna menyatakan

“ Al- Ikhwan Al-Muslimun berkeyakinan bahwa khilafah adalah simbol persatuan islam sekaligus lambang persaudaraan antar berbagai negara Islam. Khilafah adalah sebuah syiar Islam yang harus dipikirkan keberadaannya serta diperhatikan oleh kaum Muslimin. Khilafah banyak sekali berhubungan dengan hukum-hukum dalam ajaran agama Allah. Oleh karenanya para sahabat Nabi SAW lebih mendahulukan urusan khilafah daripada mengurus jenazah Nabi SAW dan menguburkannya sehingga mereka menyelesaikan masalah dalam kekhilafahan ini. Berbagai hadits yang menceritakan tentang wajibnya mengengkat seorang imam dan menjelaskan hukum tentang kepemimpinan dan segala hal yang berhubungan dengan hal ini tidak menimbulkan ruang sedikitpun untuk keraguan bahwa tugas kaum Muslimin adalah memperhatikan urusan khilafah mereka setelah khilafah tersebut dialihkan jalannya dan ditumbangkan untuk selamanya”[3]



Bila dilihat dari segi pemikiran, maka pemikiran dari Hassan Al-Banna sendiri dapat digolongkan kepada pemikiran revivalis / modernisme islam yang merupakan respon dari kemerosotan ummat islam dan merajalelanya imperialisme barat pada waktu itu. John L Esposito membedakan respon ummat islam ini kepada tiga bagian, yang pertama yaitu respon yang menyalahkan tradisi keislaman kuno yang kaku sehingga menerima sekularisasi agar dapat menjadi bangsa yang modern seperti barat. Yang kedua adalah respon dari pemimpin agama konservatif yang responnya lebih kepada isolasi, non-kooperatif dan juga penolakan total kepada barat. Yang ketiga, dimana pemikiran Al-Banna dapat digolongkan ke wilayah ini, adalah modernisme islam, yaitu pemikiran yang menyatakan perlunya reformasi islam. Pemikiran ini menyalahkan kemerosotan internal masyarakat muslim, impotensi, kemunduran mereka, serta ketidakmampuan mereka untuk menjawab tantangan kolonialisme Eropa dengan cara taklid (mengikuti sepenuhnya tanpa pemahaman) buta kepada masa lalu. Para reformis ini menekankan pada semangat, keleturan, dan keterbukaan yang menjadi ciri khas awal perkembangan Islam. Modernisme Islam adalah suatu proses otokritik internal, suatu perjuangan untuk mendefinisikan kembali Islam guna menunjukkan relevansinya dengan situasi-situasi baru yang melingkupi muslim ketika masyarakat mereka dimodernisasikan. Tokoh dari pemikiran ini di antaranya adalah Jamaluddin al-Afghani dan muridnya yang tersohor yaitu Muhammad Abduh lalu diteruskan oleh Rasyid Ridla[4]. Nama yang terakhir ini yang memiliki pengaruh langsung pada Hassan Al-Banna, dikarenakan majelis-majelisnya yang dihadiri oleh Hassan Al-Banna, dalam sejarahnya majalah Al-Manar yang dipimpin oleh Rasyid Ridha ini diserahkan pengelolaannya kepada Al-Banna, setelah ia meninggal dunia. Pemikiran Rasyid Ridha memiliki perkembangan yang sedikit berbeda di antara kedua pendahulunya dimana orientasi pemikirannya lebih berhati-hati dengan term modernisme ini, dan lebih dekat kepada ulama, ia lebih cenderung menekankan pada keswasembadaan dan kelengkapan islam, dimana para pembaharu musim tidak perlu melihat ke Barat, tapi cukup merujuk pada sumber-sumber islam yaitu Quran, Sunnah Nabi, dan Ijtihad para sahabat nabi. John L Esposito menggolongkan hal ini sebagai revivalisme abad ke 18, ia langsung menarik hubungan pemikiran ini secara langsung kepada pemikiran Al-Banna. Esposito mengatakan “ .... mempengaruhi pemikiran dan falsafah ideologis Hassan Al-Banna (1906-1949), pendiri Ikhwanul Muslimin Mesir ...”[5]. Dapat disimpulkan substansi dari pemikiran modernisasi ini adalah menunjukkan konsep kesempurnaan islam, berdasarkan sumber-sumbernya, dan relevansinya dengan masyarakat yang modern, menunjukkan bahwa konsep yang terbaik bagi masyarakat modern iu sebenarnya sudah terdapat pada sumber-sumber islam, sehingga untuk memperbaiki kondisi ummat islam adalah dengan berpedoman dengan sumber-sumber islam yang murni. Pembahasan pemikiran Al-Banna nanti akan menunjukkan lebih jelas pemikiran ini.



Majmuatur Rasa’il dan risalah Nizhamul Hukam

Semasa hidupnya Al-Banna jarang sekali menulis buku yang mewakili pemikirannya. Hal ini selaras dengan ucapannya ketika ditanya mengenai hal ini bahwasannya ia tidak menulis buku, tapi mencetak kader-kader generasi penerus. Akan tetapi warisan dari pemikirannya ini terdokumentasikan melalui publikasi-publikasi yang dibuatnya di berbagai macam majalah milik ikhwanul muslimin, ataupun di media lain. Oleh para penerusnya dalam gerakan Ikhwanul Muslimin, risalah-risalah yang penting yang mencerminkan pemikiran Al-Banna tentang gerakan Islam (Ikhwan) dikumpulkan dalam sebuah buku / kitab yang disebut dengan Majmua’tur Rasa’il Imam Syahid Hassan Al-Banna. Risalah-risalah dalam kitab ini sering dirujuk oleh para penerus-penerusnya yang mengadopsi pemikirannya. Beberapa risalah yang penting dalam kumpulan risalah ini diantaranya risalah ta’lim yang memuat konsep pokok dari gerakan ikhwanul muslimin yang masih dipakai hingga sekarang, yang didalamnya terdapat pandangan bahwa islam adalah sistem hidup yang menyeluruh. Risalah yang menyinggung secara detail tentang konsep kenegaraan dan ketata negaraan secara khusus adalah risalah Nahwa An-Nur, yang merupakan surat kepada penguasa Mesir pada saat itu, dan juga risalah Nizhamul Hukam yang memberikan pandangan tentang sistem pemerintahan menurut Islam, dan beberapa pandangan Al-Banna tentang ketatanegaraan Mesir pada saat itu.



Pemikiran Al-Banna tentang Islam dan Politik (Negara)

Secara gamblang konsep pokok yang dipahami Al-Banna tentang lingkup dari ajaran Islam dapat dilihat dalam risalah ta’lim, risalah yang ditujukan khusus kepada mujahidin ikhwan sebagai suatu perintah yang harus diamalkan, pada rukun bai’at ke satu tentang pemahaman (al-fahmu) yang memuat tentang dua puluh pokok pemahaman islam (ushul isyrin) yang wajib dipahami oleh anggota ikhwan, pasal 1 yang berbunyi :

“Islam adalah sistem yang syamil (menyeluruh), mencakup seluruh aspek kehidupan. Maka ia adalah negara dan tanah air atau pemerintahan dan ummat, moral dan kekuatan, atau kasih sayang dan keadilan, wawasan dan undang-undang, atau ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam atau penghasilan dan kekayaan, serta jihad dan dakwah atau pasukan dan pemikiran. Sebagaimana juga ia adalah akidah yang murni dan benar, tidak kurang tidak lebih”[6]



Penjelasan ini sebenarnya merupakan substansi dari islam itu sendiri, hanya saja Al-Banna menjelaskan lingkupnya dengan lebih detail. Beberapa sarjana Islam sendiri membuat beberapa pengelompokan tentang lingkup ajaran islam. Syaikh Mahmud Syaltut menggolongkan lingkup ajaran Islam kepada Aqidah dan Syariah, yang menjadi judul dalam kitab karangannya. Prof Muhammad Daud Ali S.H. membagi lingkup Islam kedalam tiga hal yaitu akidah (iman, keyakinan), syariah (hukum), dan akhlak yang mengatur segala tingkah laku manusia dalam berbagai hubungan, baik hubungan manusia dengan Tuhannya maupun hubungan manusia dengan dirinya sendiri, masyarakat, benda atau makhluk lainnya[7]. Bila dilihat dari pengertian ini maka jelaslah bahwasannya ruang lingkup dari Islam itu sendiri tidak memungkinkan untuk tidak menyentuh lingkup politik dan negara. Hal ini juga terkait dengan aturan dalam islam itu sendiri yang mengatur urusan-urusan yang memerlukan kekuasaan sebagai pelaksananya.

Adapun mengenai negara (pemerintahan), dalam Nizhamul Hukam Al-Banna menyatakan :

“Islam yang hanif ini mengharuskan pemeintahannya menjadi salah satu penegak dari beberapa penegak sistem sosial yang hadir untuk umat manusia. Islam tidak mentolerir kekacauan, dan tidak membiarkan umat Islam hidup tanpa pemimpin. Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabatnya “ Jika engkau berada di suatu negeri yang tidak ada kepemimpinan di dalamnya, maka tinggalkan negeri itu. “ Dalam hadits lain Rasul bersabda “ Jika kalian bertiga, angkatlah salah seorang diantara kalian sebagai pemimpin.”[8]



Pernyataan al-Banna ini sesungguhnya merupakan intisari dari fatwa Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Fatawa dalam bahasan mengenai Siyasah Syari’yyah bab Urgensitas Pemerintahan yang diantaranya mengatakan, setelah mengutip hadits yang telah disebutkan di atas,

“ Nabi mewajibkan supaya mengangkat seseorang sebagai pemimpin dalam komunitas kecil yang sedang dalam perjalanan, sebagai peringatan tentang perlunya perkara ini dalam segala macam perkumpulan. Apalagi karena Allah mewajibkan amar ma’ruf dan nahi munkar, dan kewajiban tersebut tidak akan sempurna melainkan dengan kekuatan dan pemerintahan. Demikian pula seluruh yang diwajibkan Allah, seperti jihad, keadilan, menyelenggarakan haji dan Jum’at serta hari raya, membela pihak yang dizalimi dan melaksanakan hudud, tidak akan terwujd melainkan dengan kekuatan dan pemerintahan. Karena itu diriwayatkan bahwa : “Penguasa itu adalah naungan Allah di bumi.” Dikatakan pula : “60 tahun dipimpin oleh pemimpin yang durhaka itu lebih baik daripada sehari tanpa seorang pemimpin.” Dan pengalaman menunjukkan demikian”[9].



Majid Khadduri mengutip pendapat dari Ibnu Khaldun, seorang sejarawan islam yang mengarang kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah yang berisi konsep kenegaraan dalam islam, tentang konsepsi negara dan masyarakat, dalam penjelasannya yang cukup panjang bahwa manusia itu memerlukan kerjasama dan kekuatan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Dan agar kekuatan tersebut juga tidak bertentangan satu sama lain maka dibutuhkan suatu kekuatan yang mengatur itu semua



“ ... There must exist accordingly a restraining force ... which must be sought from one man who will be entrusted with power and authority so that no longer will an individual be attacked by another. This is what implied in the term mulk (sovereignity or statehood) which exist by nature in man and is necessary for his existence”[10]



Roger H Soltau memberikan definisi tentang negara : “Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat”[11]

Adapun teori tentang bentuk suatu entitas yang dapat dinamakan negara, maka hal tersebut sangatlah liquid dalam artian teori tentang tersebut terus berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, yang dalam abad ini kita memandang konsep negara sebagai suatu nation state (negara bangsa), namun fungsi negara yang pokok sebagaimana telah dijelaskan diatas tetaplah melekat pada entitas yang bernama negara.

Dari pengertian-pengertian di atas dengan jelas dapat kita mengerti bahwasannya Islam dalam pemahaman Al-Banna sangatlah terkait dengan fungsi negara atau pemerintahan sebagai suatu entitas yang memiliki kekuatan dan wewenang, yang diberikan oleh masyarakat (ummat), untuk mengatur urusan-urusan yang berlaku di antara manusia, termasuk menegakkan syariat. dalam salah satu risalahnya ia mengutip perkataan dari Utsman bin Affan ra “Sesungguhnya Allah mencegah dengan kekuasaan sesuatu yang tidak bisa dicegah degnan Al-Quran”[12]



Tiga Pilar dalam Sistem Pemerintahan Islam dalam risalah nizhamul hukam

Dalam risalah Nizhamul Hukam Al-Banna membagi tiang-tiang penyangga pemerintahan islam ke dalam tiga hal yaitu :

1. Tanggung Jawab Pemerintah

Yang dimaksud dengan tanggung jawab pemerintah adalah bahwasannya dalam menjalankan tugasnya pemerintah bertanggung jawab kepada Allah dan rakyatnya. Ia adalah pelayan dan pekerja bari rakyat yang menjadi tuannya. Rasulullah SAW bersabda “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya”.

Al Banna Mengutip pernyataan Abu Bakar ra “ Wahai sekalian manusia, aku dulu bekerja untuk keluargaku. Akulah yang menghasilkan makan buat mereka. Namun, kini aku bekerja untuk kalian, maka bayarlah aku dari Baitul Maal kalian”. Selanjutnya ia menerangkan bahwasannya ungkapan tersebut memberikan penafsiran paling baik dan paling adil terhadap teori kontrak sosial antara pemerintah dan rakyatnya. Bahkan Abu Bakar ra telah meletakkan dasar-dasarnya bahwa kontrak antara rakyat dengan pemerintah adalah sama-sama terikat untuk memelihara kepentingan bersama. Jika ditunaikan dengan sebaik mungkin ia berhak mendapat pahala. Sebaliknya jika tidak, sanksi hukuman telah siap menanti.[13]

Pengertian ini bersesuaian dengan teori perjanjian dalam ilmu negara, yang membahas tentang mengapa manusia bersepakat untuk membuat suatu perjanjian bersama untuk membentuk suatu masyarakat untuk membentuk suatu negara, ada beberapa teori terkait perjanjian ini[14] :

dimulai dari teori yang berasal dari Cicero yang lingkupnya sangat perdata sekali, bahwasannya negara itu dibentuk untuk melakukan hak milik oleh karena itu diadakan perjanjian yang sifatnya timbal balik.
teori Hobbes, bahwasanya perjanjian tersebut dilakukan karena kekhawatiran pada tiap manusia / individu yang mendorong mereka untuk melakukan suatu perjanjian penyerahan kekuasaan (pactum subjectionis) kepada yang lebih dari mereka sehingga rasa takut mereka akan hilang.
Teori dari John Locke dimana perjanjian di lakukan untuk melindungi hak-hak azasi setiap orang dan diperlukan adanya suatu perjanjian penyerahan kekuasaan. Dan badan yang diserahkan kekuasaan tersebut haruslah netral untuk menjamin kepentingan semua orang. Teori John Locke ini membenarkan sistem monarki / kerajaan
Teori dari Rosseau yang dengan perjanjian masyarakat tersebut hendak mencegah atau menghapuskan sama sekali kekuasaan yang mutlak dari raja
Semua teori di atas adalah teori yang dibuat untuk membenarkan penguasa pada zaman mereka, kecuali Rosseau yang justru ingin membatasi. Dalam konsep islam yang murni, tanpa terkontaminasi pemikiran-pemikiran barat di atas. Penyerahan kekuasaan melalui perjanjian (yaitu dengan bai’at) justru telah terjadi dengan nyata / konkrit. Dan terdapat kaidah-kaidah langsung dari syariat yang mengatur bagaimana ketaatan yang seharusnya dilakukan. Hal inilah yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Quranul Azhim ketika menafsirkan ayat 59 Surat An-Nisaa tentang keharusan menaati Allah, menaati rasulNya dan Ulil Amri. Bahwasannya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Khaliq, taat dalam hal yang ma’ruf. Dalam tafsir tersebut Ibnu Katsir menjelaskan asbabun nuzul dari ayat ini terkait dengan Abdullah bin Hudzaifah bin Qais bin Adi tatkala ia diutus oleh Rasulullah SAW dalam suatu pasukan. Dimana pemimpin pasukan tersebut memerintahkan pasukannya untuk mentaati perintahnya untuk masuk ke dalam api yang dibakar di atas kayu bakar. Kemudian pemuda yang berada di pasukan tersebut enggan mentaatinya kecuali setelah menanyakan kepada Rasulullah, maka Rasulullah mengatakan “apabila kalian memasukinya niscaya kalian tidak pernah keluar lagi untuk selama-lamanya, sesungguhnya ketaatan itu hanya mencakup kema’rufan”, hadits tersebut terdapat dalam shahihain.[15]

Pemaparan di atas menjelaskan bahwa terjadinya penyerahan kekuasaan melalui perjanjian (bai’at) dari rakyat kepada penguasa / pemerintah, tidaklah membenarkan kesewenangannya, justru ia terikat oleh tanggung jawab, terhadap pihak yang memberikan bai’at untuk melayani mereka, dan bagi yang telah memberikan urusan dirinya (yang berbai’at) maka ia hanya terikat ketaatan selama hal tersebut tidak melanggar hal-hal yang ma’ruf. Apabila diperintahkan untuk melakukan kerusakan maka boleh untuk tidak taat dan berlepas diri dari hal tersebut. Inilah yang dimaksud oleh Al-Banna sebagai penafsiran yang paling baik terhadap teori kontrak sosial.



2. Kesatuan Ummat

Kemudian yang dimaksud Al-Banna dengan kesatuan ummat adalah bahwasannya pemerintah dalam bertindak dan mengambil kebijakan haruslah menjaga kesatuan ummat. Bukan justru diartikan sebagai semuanya harus mengikuti apapun kata penguasa / elit tanpa reserve. Karena dalam islam justru terdapat praktek memberi nasihat amar ma’ruf nahi munkar. Al-Banna mengutip hadits Rasulullah [16]:

Rasulullah bersabda “Agama itu nasihat” mereka bertanya bagi siapa wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan kalangan umum mereka”
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang berdiri di hadapan pemimpin durjana dengan memerintahnya (berbuat ma’ruf) dan melarangnya (dari perbuatan mungkar), kemudian ia dibunuh”
Dalam penjelasan mengenai kesatuan ummat ini Al-Banna juga menjelaskan mengenai perbedaan, bahwasannya tidak ada perbedaan prinsip / hal yang pokok dalam islam, tetapi dalam hal-hal yang sifatnya cabang (furu’) perbedaan itu diperbolehkan dengan tetap menjaga bingkai persatuan. Al-Banna mengatakan “ Yang ada adalah keharusan risat, kajian, musyawarah, dan saling menasihati. Jika termasuk pada hal yang telah dinashkan maka pintu ijtihad tertutup. Sedangkan bila tidak dinashkan, maka keputusan pemerintah harus menyatukan umat. Namun ketentuan kedua terlaksana setelah ketentuan pertama.”[17]

3. Sikap menghargai aspirasi rakyat

Mengenai menghargai aspirasi rakyat, al-Banna menjelaskan :

“Di antara hak umat Islam adalah mengawasi roda pemerintahan sedetail mungkin dan aktif bermusyawarah berkenaan sesuatu yang dipandang baik. Sedangkan kewajiban pemerintah adalah bermusyawarah dengan rakyat, menghargai aspirasinya, dan mengambil masukan-masukan yang baik. Allah swt. telah memerintahkan kepada pemerintah agar melakukan hal itu “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran : 159). Bahkan, Allah memuji kaum muslimin yang mau bermusyawarah sebagai muslimin yang baik. “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka” (Asy-Syura : 38)

Masalah ini juga ditegaskan Sunnah Rasulullah SAW dan Khaulafur Rasyidin. Di mana ketika muncul suatu masalah, mereka mengumpulkan para ahli dari kaum muslimin, bermusyawarah, dan mengambil pendapat yang benar dari mereka. Lebih dari itu, para khalifah mengajak dan menganjurkan kaum muslimin untuk (berpegang) pada pendapat yang benar tadi. Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Jika kalian melihat aku di atas kebenaran, maka dukunglah (untuk melaksanakannya), dan jika kalian melihatku dalam kebatilan, maka betulkan dan luruskanlah.” Umar bin Khatthab berkata “ Siapa saja yang melihatku menyimpang, maka luruskanlah.” ...



Prinsip di atas sejalan dengan nilai-nilai yang terdapat demokrasi, atau lebih tepat dikatakan bahwa konsep demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang dikatakan oleh Abraham Lincoln, adalah bersesuaian dengan nilai-nilai islam yang mengatur tentang masalah ini. Dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dilaksanakan secara langsung oleh mereka, atau oleh wakil mereka yang terpilih dalam sistem pemilu yang bebas. Karenanya sistem ini, meniadakan kekuasaan yang bersifat autokrasi, otoritarian, zalim, diktator, tirani, totalitarian, monarki, oligarki, plutokrasi, aristokrasi, dan kesultanan[18]. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat ketika menafsirkan kekuasan tertinggi berada di tangan Allah, padahal Islam hanya memberikan hak tasyri’ hanya di tangan Allah semata, bukan di tangan rakyat. Terhadap masalah ini maka kita harus memandang bahwasannya demokrasi haruslah dipandang bukan sebagai konsep yang ideal, bahwasannya memang haram bagi rakyat untuk melakukan perbuatan mengganti syariat. Namun justru konsep bahwasannya pemerintah harus memperhatikan aspirasi dari rakyat adalah suatu hal yang memang diatur dalam islam. Oleh karena itu demokrasi sebenarnya dapat saja berjalan dalam suatu masyarakat islam yang benar dalam artian demokrasi tersebut dijalankan oleh masyarakat yang berhukum dengan hukum Allah, sehingga ketika mereka menyelenggarakan kekuasaan di tangan mereka yang menjadi pijakan adalah hukum Allah / syariat islam. Inilah juga yang menjadi pijakan dalam fatwa Dr.Yusuf Al-Qaradhawi tentang islam dan demokrasi :

“Perlu diingat bahwa kita sedang membicarakan demokrasi dalam masyarakat muslim, yang mayoritas adalah orang-orang yang mengerti dan mengetahui, beriman dan bersyukur. Kita tidak sedang membicarakan masyarakat ateis atau masyarakat yang telah tersesat dari jalan Allah”[19]



Atau dapat juga dikatakan bahwa demokrasi disini adalah demokrasi secara prosedural saja. Yang diutamakan dari prinsip yang terakhir ini adalah bagaimana penguasa wajib memperhatikan aspirasi rakyat, dan rakyat pun berhak untuk meluruskan penguasa. Karena sesungguhnya pemerintahan tirani tidak hanya lahir dari kemauan mereka sendiri melainkan dari kondisi rakyatnya juga yang tunduk kepada mereka dan tidak melakukan fungsi kontrol atas pemerintahan mereka.

Sesungguhnya ketentuan-ketentuan di atas tidak akan terpenuhi juga apabila ummat islam tidak memiliki pemahaman dan penghayatan yang baik mengenai nilai-nilai islam, hal ini terkait dengan keimanan. Oleh karena itu Al-Banna sendiri mengingatkan bahwasannya hal tersebut (ketiga kaidah d atas) tidak dapat terpelihara tanpa kehadiran nurani yang selalu terjada dan perasaan yang tulus akan kesucian akan ajaran ini. Dalam bagian awal risalah Nizhamul Hukam al-Banna telah menegaskan

“Daulah Islamiyah tidak akan tegak kecuali berdiri di atas pondasi dakwah, sehingga ia menjadi negara risalah bukan hanya sekedar bagan struktur dan bukan pula pemerintahan yang materialistis, yang jumud, pasif, tanpa ruh di dalamnya. Demikian Pula dakwah tidak mungkin tegak kecuali jika ada jaminan perlindungan yang akan menjaga, dan mengokohkannya.[20].



Maksud dari perkataan ini adalah bahwasanya ketiga kaidah yang disebutkan di atas haruslah disokong oleh pemahaman dan penghayatan islam yang benar dari tiap individu, sebagaimana sistem yang benar juga akan mendukung setiap individu untuk memahami dan menghayati islam secara benar.

Kaidah-kaidah yang disebutkan oleh Al-Banna sebenarnya makin menegaskan bahwasannya konsep bernegara dalam islam sangat jauh dari kediktatoran. sebaliknya ia justru merupakan sistem yang sangat terbuka yang menghargai aspirasi rakyat, dan pemerintah memiliki tanggung jawabnya sendiri, di dunia maupun di akhirat, atas amanah kepemimpinan tersebut. Hal ini juga menegaskan bahwa islam tidak sejalan dengan sistem Teokrasi dimana raja / penguasa dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi, namun justru mengedepankan prinsip supremasi hukum, dengan hukum Allah sebagai hukum satu-satunya dan yang tertinggi. Sedangkan hukum Allah (yang terdapat dalam al-Quran dan sunnah) itu sendiri melarang penguasa bertindak sewenang-wenang, dan memberikan ruang yang luas bagi partisipasi rakyat mengontrol dan memberi masukan kepada pemerintahan, disamping mewajibkan mereka untuk mendukung hal-hal yang ma’ruf.



Mengutamakan Prinsip Dibandingkan Bentuk

Al-Banna mengatakan dalam Nizhamul Hukam

“Sistem Islam dalam makna ini tidak mementingkan bentuk atau nama. Selama kaidah-kaidah pokok tadi terealisasikan, di mana tidak mungkin suatu hukum akan tegak tanpanya dan selama diterapkan secara tepat hingga dapat menjaga keseimbangan yang masing-masing bagian tidak mendominasi bagian yang lain ....”[21]



Pendapat Al-Banna ini menegaskan bahwasannya yang harus menjadi patokan adalah kaidah-kaidah dalam menjalankan negara / aktivitas pemerintahan, bukanlah bentuk formal dari praktek kenegaraan islam yang pernah dijalankan di masa terdahulu seperti kesultanan, kerajaan, ataupun kekhalifahan. Walaupun sebenarnya Al-Banna menetapkan standar yang berbeda untuk masalah kekhalifahan, bahkan ia menjadikan khilafah adalah sesuatu yang harus diperjuangkan oleh seluruh ummat islam. Hal ini (pandangan al-Banna tentang khilafah) telah dijelaskan sebelumnya dalam tulisan ini.

Majid Khadduri mengatakan dalam tulisannya :

“It is to be noted that in Judaism, Christianity, and Islam God never had been regarded as the immediate ruler of his subjects; only his representatives (vicegerents) on earth were the real executives. Hence the divine law (or a sacred code), regarded as the source of governing authority, was the essential feature in the proccess of control under these systems. The Law, it will be recalled, procedes the state: it provides the basis of the state. It is therefore not God, but God’s law which really governs; and as such, the state should be called nomocracy, not theocracy. The Oxford dictionary defines nomocracy as “a system of government based on a legal code; the rule of law in a community.” Since the Israelite, Christian and Islamic states was based on divine legal orders, it follows that their systems might be called divine nomocracies

Was the Islamic state a national or universal nomocracy ? At the basis of this argument is the issue whether the appeal of Muhammad was to the Arabs alone or to the world at large. While scholars still diffier on this point, it would be seem that since the state was the instrument to enforce God’s new covenant, replacing all others, both Islam and Islamics State, therefore, were necessarily designed for the world and not for the Arabs alone. Some of the quranic injuctions may have emphasized certain Arabs characteristics (and indeed Muhammad’s urgent problem often forced him to compromise with Arab traditions) but the legal prerequisites for a universal state were already recognized in the Qur’an, such as equality of all races before God, and the common allegiance of all believers to one head of the state.[22]



Bila melihat penjelasan Khadduri di atas maka dapat dilihat bahwasannya sistem pemerintahan dalam agama-agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) pada dasarnya menganut sistem Nomokrasi (nomo = norma, krasi =pemerintahan), artinya pemerintahan tersebut berjalan berdasarkan hukum / norma , dalam hal ini hukum / norma tersebut berasal dari Allah. Bukan penguasa yang menjadi otoriter untuk bertindak atas nama tuhan, yang kemudian diterjemahkan sebagai teokrasi, namun penguasa menjalankan negara berdasarkan hukum Allah, yang berisi kaidah-kaidah pokok. Kaidah inipun berlaku bagi setiap manusia dan bangsa, sebagaimana yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an itu sendiri.

Ada beberapa catatan yang harus diberikan terhadap pemikiran Khadduri dan juga Al-Banna (bila hal yang dimaksud dalam pemikiran mereka adalah sama), bahwasannya meskipun kaidah-kaidah syariat dalam Islam memang telah Allah jadikan demikian fleksibel, namun ada beberapa aturan yang memang Allah tetapkan secara pasti, meskipun hal tersebut mungkin bukan termasuk hal yang pokok / terkait dengan akidah. Hal ini terkait dengan ketentuan hudud, karena hudud memang telah ditentukan bagaimana hukuman yang harus diberikan dalam Al-Quran, seperti orang yang berzina harus dicambuk, masalah qishas, dsb. Untuk hal ini maka pemerintahan islam harus menjalankannya dengan tegas, jika tidak maka pemerintahan tersebut adalah zalim. Allah berfirman :

“Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (Al-Maidah : 45)

Ayat ini meskipun menyinggung tentang ahli kitab (kaum Yahudi) , tetapi juga ditujukan kepada kaum muslimin dan seluruh manusia.[23]



Pandangan Terhadap Sistem Pemerintahan Modern dalam Risalah Nizhamul Hukam

Setelah memberikan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam ke tatanegaraan Islam, maka Al-Banna lalu mengalihkan pembahasannya kepada sistem pemerintahan modern yang diterapkan di Mesir. Hal ini merupakan suatu langkah untuk membuat suatu formulasi yang mudah diterima agar konsep-konsep islam tersebut dapat berhadapan dengan realita yang terjadi, sambil memberikan solusi tentang apa yang seharusnya dilakukan. Pendekatan seperti ini adalah pendekatan yang telah diklasifikasikan oleh John L. Esposito sebagai pendekatan revivalis / modernisasi islam sebagaimana telah dibahas di awal tulisan ini. Adapun dalam risalah nizhamul hukam Al-Banna memberikan pandangan terhadap Sistem Pemerintahan Parlementer, Konstitusi / Undang-Undang Dasar (khususnya Undang-Undang Dasar Mesir), Sistem Kepartaian, dan Pemilu. Pandangan al-Banna adalaha sebagai berikut :

Sistem Pemerintahan Parlementer
Dalam pandangannya yang tersebar di beberapa risalah yang ditulisnya Al-Banna memberikan kompromi terhadap berbagai sistem pemerintahan modern asalkan sistem tersebut bersesuaian dengan kaidah-kaidah Islam. Terhadap sistem pemerintahan parlementer ini (yang ketika itu diterapkan di Mesir), dalam risalah nizhamul hukam Al-Banna mengatakan :

“Seorang pakar hukum perundang-undangan mengatakan bahwa sistem parlementer tegak di atas pondasi tanggung jawab pemerintahan, kedaulatan rakyat dan penghargaan terhadap aspirasi mereka. Dalam sistem parlementer, tidak ada yang menghalangi persatuan dan kesatuan umat. Perpecahan dan konflik bukan termasuk prasyarat di dalamnya, kendati sebagian orang mengatakan bahwa salah satu tiang penyangga sistem parlementer adalah sistem kepartaian. Namun walaupun kepartaian telah menjadi tradisi, akan tetapi ia bukan merupakan pondasi bagi tegaknya sistem ini. Sebab sangat mungkin sistem parlemen dipraktikkan tanpa adanya parta, dan tanpa keluar dari kaidah-kaidah aslinya.

Atas dasar ini, tidak ada kaidah-kaidah sistem parlementer yang bertentangan dengan kaidah-kaidah yang digariskan dalam islam dalam menata pemerinthahan. Itu berarti sistem parlemen tidak begitu jauh melenceng dan tidak asing bagi sistem Islam ....”[24]



Dari pemaparan di atas Al-Banna tampak memberikan komprominya terhadap sistem pemerintahan parlementer yang berjalan di Mesir pada saat itu. Namun ia juga memberikan prasyarat yang bersumber dari tiga kaidah yang diberikannya di awal risalahnya, dan mengkritisi sistem kepartaian yang dilaksanakan dalam sistem pemerintahan parlementer / modern, yang mengakibatkan perpecahan.

Mengenai kekuasaan eksekutif, Al-Banna mengatakan kaidah-kaidah kekuasaan eksekutif (kabinet) dalam sistem pemerintahan parlementer juga tidak bertentangan dengan Islam. Bahwasannya Kepala Negara dalam Islam berhak mendelegasikan tugas dan wewenangnya kepada organ / lembaga apapun. Dalam sistem parlementer, Kepala pemerintahan dijalankan oleh perdana menter yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen, di sisi lain parlemen bertanggung jawab kepada Presiden / kepala Negara. Dalam konsep islam di masa lalu pendelegasian ini disebut dengan wizaratut tafwidh, ia juga mengutip penjelasan dari al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah, mengenai sistem pemerintahan parlementer ini yang mendasarkan bolehnye pendelegasian pada firman Allah mengenai permohonan nabi Musa as, “dan jadikanlah untukku seorang pembantu (menteri) dari keluargaku (yaitu) Harun saudaraku. Teguhkanlah dia dengan kekuatanku, dan jadikanlah ia sekutu dalam urusanku”(Thaha : 29-32)[25]



Konstitusi / Undang-Undang Dasar
Demikian pula ketika menanggapi konstitusi / UUD Mesir, maka sikap Al-Banna menjadikan tiga pilar yang telah ia tentukan sebagai patokan untuk menilai baik buruknya. Setelah menilai sistem parlementer ia memberikan penilaian tentang UUD ini :

“Atas premis ini (setelah membahas sistem parlementer) dapat kita katakan dengan mantap bahwa kaidah-kaidah dasar yang menjadi tupuan UUD Mesir tidak bertentangan (dengan islam). Bahkan para tokoh yang menggodok UUD Mesir, walaupun bersandar pada prinsip-prinsip kontemporer dan teori perundang-undangan mutakhir, mereka sangat begitu hati-hati agar tidak da satu butir pun dari undang-undang yang bertentangan dengan kaidah Islam. Ada yang secara tegas tersurat sesuai dengan kaidah Islam seperti butir yang mengaakan “Agama Resmi Negara adalah Islam”. Adapula yang tersirat dan terbuka untuk ditafsirkan, namun dijamin tidak bertentangan dengan kaidah Islam, seperti butir Undang-undang (dasar) yang berbunyi “Kebebasan berkeyakinan itu dijamin undang-undang”.[26]



Di bagian lain dari risalah nizhamul hukam ini al-Banna memberikan kritikannya terhadap UUD Mesir, yang isinya mengenai kontradiksi-kontradiksi isi pasal dengan pasal lain, maupun isi pasal tertentu dengan sistem yang dianut dalam sistem pemerintahan parlementer yang berjalan di Mesir. Terlihat bahwasannya Al-Banna telah selesai dengan pembahasan benar tidaknya sistem konstitusional dalam pandangan Islam, ia justru menyelami, dalam pembahasannya, tentang apa yang harus diperbaiki dari UUD Mesir, yang artinya ia sendiri telah menerima penggunaan UUD.

Bila dilihat dari ilmu perundang-undangan modern maka pandangan Al-Banna ini hampir sejalan dengan teori perundang-undangan modern seperti Stufentheorie dari Hans Kelsen, yang menerangkan bahwa norma hukum itu bertingkat-tingkat, dan dalam tingkatan yang paling atas berhenti pada Gerund Norm. Begitu pula dengan teri dari Hans Nawiasky yang membagi jenjang norma hukum menjadi empat tingkatan yaitu[27] :

Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)

Staatsgrundgezets (Aturan Pokok Negara)

Formal Gesetz (Undang-undang formal)

Verordnung & Autonomr Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom)

Dimana kedua teori tersebut menjadikan norma dasar / gerundnorm atau norma fundamental negara / staatsfundamental norm sebagai sebuah norma tertinggi yang memang sudah ditetapkan oleh masyarakat sebagai norma yang menjadi dasar bagi norma-norma dibawahnya. Hanya saja keduanya mengasumsikan nilai ini sebagai hasil dari pemikiran masyarakat, bahkan Nawiasky mengatakan nilai-nilai ini dapat berubah karena peristiwa tertentu[28].

Apa bila dilihat dari kajian kemasyarakatan memang demikian adanya bahwasannya suatu norma yang berlaku di masyarakat tergantung dari pemikiran masyarakat itu sendiri. Hal ini sebenarnya tidak bertentangan dengan sunatullah yang telah Allah tetapkan, oleh karena itu manusia diberikan pilihan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapa yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”(Al-Maidah : 50). Dan bagi setiap mukmin dikenai kewajiban fardhu kifayah untuk berdakwah menyebarkan konsep islam. Dalam masyarakat Islam, apabila mereka memahami islam dengan benar sudah jelas bahwa Gerundnorm ataupun staatsfundamental norm dalam negara islam adalah syariat itu sendiri.

Kembali kepada pemikiran Al-Banna, pada dasarnya bila dibandingkan dengan dua teori perundang-undangan modern di atas maka Al-Banna menempatkan syariat islam / islam sebagai norma dasar bahkan mencapai tingkat yang lebih rendah yaitu aturan pokok negara, sebagaimana kaidah-kaidah di UUD Mesir yang disinggungnya.



Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian adalah sistem yang paling ditentang Al-Banna dalam pemikiran-pemikirannya hal ini karena ia beranggapan dengan adanya sistem kepartaian, terutama yang membuka kesempatan bagi banyak partai untuk muncul, hanya akan memunculkan pertentangan dan perpecahan di masyarakat. Al-Banna justru mengambil contoh dari sistem kepartaian di Amerika yang membatasi hanya dua partai di pemilu (yaitu demokrat dan republik), ia mengatakan :

“Di Amerika Serikat pun demikian, hanya ada dua partai yang gaungnya tidak kita dengar kecuali saat musim pemilu, tidak ada fanatisme partai atau perpecahan karena partai. Sejarah membuktikan, di negara-negara yang iklim kepartaiannya terlalu ekspansif dan selalu berambisi membentuk partai baru, selalu mengalami suasana perang dan damai yang datang berganti. Perancis (pada masanya, pen) adalah contoh yang paling tepat.”[29]



Al-Banna lalu mengkritik partai-partai di Mesir yang dalam pandangannya hanya berorientasi kepada kekuasaan tapi tidak memberikan platform yang jelas mengenai Mesir. Poin inilah yang dikritik al-Banna. Tampak bahwa yang dimaksud beliau adalah sistem kepartaian yang terjadi di Mesir pada saat itu. Dalam risalah yang sama ia mengatakan :

“Pada kenyataannya partai-partai di Mesir bukanlah partai sebagaimana yang dikenal berbagai negara di dunia. Ia tidak lebih dari sekedar rentetan konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan pendapat individual di tengah umat ini, yang pada suatu ketika mereka terkondisi untuk berbicara atas nama partai dan menuntut hak-haknya dengan mengatas namakan nasionalisme.”[30].



Miriam Budiharjo memberikan definisi yang ideal tentan partai politik yaitu “Suatu kelompok yang terorganisisr yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusionil – untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka”.[31]

Definisi di atas yang tidak tampak dalam analisa al-Banna, hal ini mungkin karena sistem kepartaian pada saat itu justru tidak mengakomodir aspirasi dari masyarakat Mesir, malah justru memecah belah masyarakat untuk mengikuti kemauan partai-partai yang ada, dan menimbulkan konflik kepentingan.



Pemilu
Mengenai Pemilu, Al-Banna menganalogikan sistem pemilu sebagai sebuah cara untuk memilih wakil rakyat, dan merupakan salah satu bentuk dari penghargaan atas aspirasi rakyat. Dalam hal ini ia menyamakan bahwasannya kedudukan wakil rakyat ini sebagai ahlu halli wal ‘aqdi, hanya saja untuk keperluan memilih ahlu halli wal ‘aqdi maka harus memiliki kriteria-kriteria tertentu. Diantaranya[32] :

Ahli fiqih dengan standar mujtahid di mana pendapat-pendapat mereka dalam fatwa dan istinbath hukum diperhitungkan umat
Pemilik skill, pengalaman, pakar dan kemampuan dalam urusan publik
Para tokoh kharismatik yang memiliki komando dan kepemimpinan di tengah masyarakat, seperti tetua suku, tokoh masyarakat, dan pemimpin organisasi
Permasalahan ini sebenarnya permasalah yang banyak dibahas dalam permasalahan pemilu kontemporer yaitu diperlukannya kriteria-kriteria untuk calon wakil rakyat yang akan dipilih di pemilu. Al-Banna pun mengkritik sistem pemilu di Mesir, mulai dari kualitas kerja KPU Mesir, hingga amandemen UU Pemilu mesir untuk membuat kriteria calon yang pantas, aturan main dan rambu-rambu kampanye yang jelas, pelaksanaan yang baik, sanksi yang berat bagi setiap pelanggaran. Hanya saja Al-Banna justru menyarankan agar pemilihan calon dengan menggunakan gambar (partai) bukan memilih orang, maksud Al-Banna adalah agar ketika mereka berhadapan dengan konstituen yang mereka perjuangkan bukanlah kepentingan pribadi mereka, namun kepentingan umum yang diartikulasikan melalui program partai politik mereka ataupun kelompok mereka. Bila melihat pada maksud Al-Banna ini maka mengarah pada pengertian ideal menganai partai politik yang diberikan oleh Miriam Budiharjo.[33]



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Jumah Amin Abdul Aziz, Tarikh Al-Ikhwan Al-Muslimun 1: Masa Pertumbuhan dan Profil sang Pendiri, Era Intermedia, hal 34

[2] ibid, hal 48-49

[3] ibid, hal 51

[4] John L Esposito, Islam Warna-Warni, bab 4, hal 157-158

[5] ibid, hal 166

[6] Hassan Al-Banna, Kumpulan Risalah Dakwah Hassan Al-Banna jilid 1 , I’tishom Cahaya Ummat ,cetakan 1 tahun 2005, Bab Risalah Ta’lim, hal 291

[7] Prof Muhammad Daud Ali, S.H., Hukum Islam, Rajawali Press, Cet 9, hal 31

[8] Hassan Al-Banna, Kumpulan Risalah Dakwah Hassan Al-Banna jilid 2, I’tishom Cahaya Ummat, cet 1, Bab Risalah Nizhmul Hukam, hal 69-70

[9] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Kumpulan Fatwa Ibnu Taimiyah (terjemah majmu’ah fatawa), Darul Haq, cetakan 1 tahun 2005, Bagian kedua : Siyasah Syar’iyyah bab 24 hal 459

[10] Majid Khadduri, “Theory of The State”, Peace and Conflict Resolution in Islam, Precept and Practice, University Press of America, 2001, hal 31

[11] Prof Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka, cet ke dua puluh tujuh, juni 2005, hal 39

[12] Hassan Al-Banna, op cit, jilid 1, hal 237

[13] Hassan Al Banna, op cit , jilid 2, hal 71-72

[14] Ilmu Negara, kuliah-kuliah Padmo Wahjono, SH, Ind Hill Co, hal 82-88

[15] Muhammad Nasib Ar-Rifai’, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1, Gema Insani Press , hal 739

[16] Hassan Al Banna op.cit jilid 2, bab Nizhamul Hukam, hal 74

[17] Hassan Al Banna op.cit jilid 2, bab Nizhamul Hukam, hal 74

[18] Nashir Fahmi, Menegakkan Syariat Islam Ala PKS, Era Intermedia, hal 29

[19] Dr. Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2, Gema Insani Press, hal 934

[20] Hassan Al Banna op.cit jilid 2, bab Nizhamul Hukam, hal 70

[21] ibid, hal 70

[22] Majid Khadduri, lop cit, hal 37

[23] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, op cit, jilid 2, hal 98

[24] Hassan Al-Banna, op cit, jilid 2, hal 82

[25] Hassan Al-Banna, lop cit, jilid 2 hal 84

[26] Hassan Al-Banna, lop cit, jilid 2, hal 82-83

[27] Maria Farida Indrawati, jilid 1 Ilmu Perundang-undangan, , cet 1 tahun 2007, penerbit kanisius, hal 41-45.

[28] ibid

[29] Hassan Al-Banna, op cit, jilid 2, bab Nizhamul Hukam , hal 92

[30] Hassan Al-Banna, op cit, jilid 2 , bab Nizhamul Hukam , hal 93

[31] Prof Abdul Bari Azed SH MH dan Makmur Amir SH MH, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, hal 32-33

[32] Hassan Al-Banna, op cit, jilid 2, bab Nizhamul Hukam, hal 97-98

[33] Lihat detailnya pada Nizhamul Hukam pada hal 87-103 Risalah Dakwah Hassan Al-Banna jilid 2

Sumber: 3Ramadhan1405

Saturday, 10 May 2008

Pembinaan Diri, Syukur Terhadap Ni’mat Allah

Ustadz Drs. H. Mahfud Siddiq, M.Si,


Banyak ni’mat yg harus kita syukuri yang Allah berikan kepada kita: ni’mat sbg hamba-Nya, ni’mat sebagai manusia, bukan hanya dalam konteks kita sebagai pribadi (individu) namun juga dlm konteks kita sebagai bagian dari ummat. Keberadaan seorang muslim sebagai makhluq ciptaan Allah mengemban tanggungjawab sosial, dimana dalam hal ini seorang muslim selain secara khusus sebagai bagian dari ‘umat Islam’ juga secara umum sebagai bagian dari manusia. Konteks secara umum ini penting untuk kita sadari karena ni’mat yg Allah limpahkan kepada kita nantinya akan dimintakan pertanggungjawabannya di yaumil hisab (hari pembalasan), baik dalam konteks pertanggungjawaban pribadi maupun pertanggungjawaban sosial.
Oleh karena itu tujuan dari taujih kali ini adalah dalam rangka upaya penyegaran, peningkatan, pengokohan, dan pemeliharaan iman untuk mensyukuri ni’mat Allah sebaik-baiknya.

Pada saat penciptaan manusia - yang mana kemudian Allah memberikan manusia itu beragam ni’mat, termasuk dlm hal ini adalah ni’mat hidayah - lalu Allah menjelaskan bahwa pada akhirnya hanya ada 2 golongan manusia, dimana setiap dari kita hanya akan masuk di dalam salah satu golongan tersebut. Tidak ada golongan ke-3, dan juga tidak ada golongan yg duduk di antara keduanya. Dua golongan itu adalah:

1. Orang2 yg ‘syakiran’ (org2 yg mampu bersyukur)
2. Orang2 yg ‘kafuran’ (org2 yg kufur, terutama atas ni’mat Allah)

Setiap perbuatan (amal) yang kita lakukan, akan menggiring kita masuk kepada salah satu dari dua golongan (kondisi) ini. Di yaumil hisab nanti, orang-orang yg syakiran akan disempurnakan ni’matnya dgn mendapat balasan ‘jannatul na’im’ (surga yg penuh ni’mat). Sementara itu orang yg kafuran mendapat balasan ‘naaru jahannam’ (neraka jahannam) – QS 14: 28-29.

Allah Swt menjelaskan di dalam salah satu ayat Al Qur’an bhw sesudah manusia itu diciptakan, maka Allah akan menyempurnakan ni’mat kepada manusia itu berupa penciptaan yg selengkap-lengkapnya. Hal ini menunjukkan begitu besarnya ni’mat Allah. Dan Allah telah mengatakan bahwa jika manusia berusaha utk menghitung ni’mat Allah tsb, maka niscaya manusia tidak akan sanggup menghitungnya (QS 14:34). Salah satu contoh kecil dari ni’mat Allah ini adalah ni’mat kesehatan. Bagaimana menderitanya seorang manusia jika dia tidak bisa ‘buang angin’. Berapa yang harus kita bayar selama hidup kita, jika ternyata kita harus membayar ni’mat semacam itu. ‘Buang angin’ adalah salah satu ni’mat dari Allah yg kebanyakan manusia tidak suka ketika kita menggunakannya, namun ternyata sangat penting dalam hidup kita.

Bagi orang-orang yg beriman, dan orang-orang yang meyakini keluasan rizqi Allah, maka mereka tidak akan pernah sedetikpun mengeluh akan kekurangan ni’mat Allah, karena mereka meyakini bahwa ni’mat Allah sangat besar, luas dan banyak.
Sikap kita sebagai muslim dalam konteks pribadi adalah bagaimana ni’mat yg tlh Allah berikan kpd kita, bisa kita terima, kelola dan dayagunakan sebaik-baiknya untuk kebaikan dan ketinggian derajat kita di sisi Allah dan juga di sisi manusia.

Allah mempersilakan kepada manusia untuk mengambil apa saja ni’mat dari Allah itu sebanyak-banyaknya. Adapun ni’mat Allah yang dikaruniakan kepada manusia terbagi atas 3, yaitu:

1. Ni’matil Wujud (ni’mat existensi/hidup). QS Al Insan (1-4) menceritakan fase-fase kehidupan manusia, dari ada menjadi tidak ada. Manusia tidak pernah meminta ni’mat ini, tapi Allah memberikannya kepada kita ‘free of charge’ (secara cuma-cuma). Dan ternyata manusia sangat mencintai ‘ni’matil wujud’ ini. Adakah di antara kita yg menyesal bahwa Allah telah menciptakn kita di muka bumi ini? Adakah di antara kita yg pernah berfikir bahwa lebih baik saya tidak ada di muka bumi ini? Bukan hanya orang2 yg beriman yang mencintai ni’matil wujud ini, tapi juga org2 yang tdk beriman mencintai ni’matil wujud ini, bahkan ada yg ingin hidup 1000 tahun lagi. Orang yg sengaja bunuh diri adalah orang yg sesungguhnya cinta dunia, karena mereka tidak tahan (putus asa dan frustasi) menghadapi tekanan berat kehidupan dunia.
2. Ni’matul Insan (ni’mat sebagai manusia). Merupakan ni’mat yg setingkat lebih tinggi dari ni’matil wujud. Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS At Tiin:4). Bahkan monyet yang paling baguspun masih kalah tampan dan ganteng dibandingkan manusia yg berperawakan buruk sekalipun. Manusia merupakan mahluq yg terbaik dan sempurna dibandingkan ciptaan Allah yg lain (termasuk Malaikat dan jin). Manusia dipilih oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi – QS 2:30 (sejak penciptaan Adam). Dan ini memicu kecemburuan mahluq Allah yg lain yg bernama bangsa jin (yg diwakili oleh iblis) yang merasa lebih tinggi statusnya dari manusia karena diciptakan dari api sdgkan manusia hanya dari tanah (QS 7: 12, dan 15 : 31-33). Dan sudah menjadi komitmen jin utk senantiasa memusuhi dan menjerumukan anak Adam (manusia) ke dalam jurang kesesatan (QS 7:16-17, dan 15: 39). Dengan kecenderungan, watak dan syahwatnya manusia digoda setan untuk menjauh dari ajaran Allah dan lupa akan ni’mat Allah. Dan banyak dari manusia yg justru menghancurkan potensi kemanusiaan (fitrah insaniyah) yg ada dalam dirinya, dan mensublimasinya menjadi lebih rendah (derajatnya) dibandingkan makhluq Allah yg lain. Banyak muslim yg melepaskan pakaian insaniyahnya, seperti kisah Nabi Adam dan Hawa yg ditanggalkan pakaian (ketaqwaan)nya oleh setan (QS 7: 26-27). Ada org yg makan, mencari nafkah dan melampiaskan kebutuhan biologisnya sudah seperti binatang. Dan oleh Allah dikatakan mereka telah sesat dan menyesatkan dirinya sehingga mereka dikatakan oleh Allah sudah seperti hewan atau binatang ternak bahkan lebih sesat dari hewan-hewan itu (QS 7: 179). Banyak sebagian dari manusia yg tidak bisa mempertahankan statusnya dibandingkan makhluq Allah yang lain. Seekor burung tidak pernah resah atau takut akan kekurangan rizqi Allah, dan mereka senantiasa berupaya setiap hari untuk bisa survive. Jadi sangat tidak patut jika ada manusia yg sesungguhnya lebih tinggi derajatnya dari binatang, merasa resah dan takut akan kemiskinan, bahkan sampai membunuh anak-anak mereka.
3. Ni’matul Islam (ni’mat diturunkannya Islam). Allah menyempurnakan ni’mat-ni’mat yang lain dengan mengaruniakan ni’matul Islam. Ni’mat ke-Islaman dikokohkan oleh Allah melalui ajaran (agama) yg dibawa oleh para anbiya-’ulmursalin, bukan yg dibawa oleh manusia biasa atau oleh iblis. Dan Allah telah menjamin bahwa agama (dien) yang diterima di sisi Allah adalah Islam (3:19). Adapun status manusia sejak dilahirkan telah membawa fitrah ke-Islaman (QS 30:30). Orangtua dan lingkunganlah yg berperan mengubah fitrah Islam pada diri seorang anak – apakah tetap menjadi Islam ataukah berpaling ke agama lain yg tdk diterima Allah.

Apakah kita sudah mensyukuri ni’mat dari Allah tersebut? Wujud dari rasa syukur kita atas ni’mat Allah di refleksikan dari gerak pola pikir, tingkah laku, cara bekerja kita senantiasa diorientasikan utk mendapat rahmat Allah (hidup secara Islami). Kita dituntut utk menyempurnakan syakhsiyah Islamiyah kita.

Adapun terkait dengan misi seorang muslim atas ni’mat Allah ini dan juga sebagai tanggungjawab sosialnya (2:177), maka tidaklah patut seorang muslim mempunyai misi hanya utk mewujudkan kepentingan pribadi. Tapi sebaliknya kita dituntut utk mengemban misi yg lbh luas yaitu utk memberikan kebaikan kepada seluruh umat manusia yang lain, menyebarkan kebaikan bagi semesta alam. Hal ini berdasarkan acuan bahwa Rasul sendiri ditugaskan untuk menyebarkan Tauhidullah dan rahmat bagi semesta alam (21:107), dan kita sebagai org yg mengaku beriman kepada Allah dan meneruskan risalah Islam, mempunyai tanggungjawab memelihara risalah itu dgn turut menyebarkan kebaikan. ‘Sebaik-baik manusia adalah yang bisa mendatangkan kebaikan bagi orang yang lain’ (Hadits) Seorang muslim adalah produsen dan distributor kebaikan. Jangan hanya menjadi konsumen kebaikan, apalagi menjadi produsen dan distributor keburukan. Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Allah memerintahkan Nabi untuk menyerukan manusia agar menjadi orang rabbani yaitu orang yang mengajarkan Al Kitab dan mempelajarinya (QS 3:79).

Bila kita senantiasa mewujudkan peran kita sebagai produsen dan distributor kebaikan, dan kebaikan kita menyebar kepada seluruh umat, umatpun dibangkitkan utk senantiasa berbuat kebaikan. Utk menjadi produsen dan distributor kebaikan ini kita hrs kembali kepada Islam, dimana segala tindak tanduk dan dasar perbuatan kita senantiasa berlandaskan dan sesuai syariat yang telah diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Bila umat ini telah bangkit kembali dan bersama-sama melaksanakan risalah-Nya, maka janji Allah bahwa kita adalah umat terbaik (Khaira Ummah) – QS 3 : 110, Insya Allah akan terwujud.

* * * * * * * * *

Sesi Pertanyaan:

1. Penanya: Asep Setiawan (London)
Islam adalah nikmat Allah tetapi mengapa ada muslim yang masih ragu-ragu bahwa syariat Islam akan membawa kebaikan kepada manusia seluruhnya?

Jawab:

Pertanyaan ini mencerminkan kondisi sebagian ummat Islam saat ini. Kemunduran ummat ini adalah karena mereka masih menjadi orang-orang yg ragu akan kebenaran agamanya sendiri.
Itulah sebabnya ketika Allah Swt menemukan bahwa Rasulullah Saw dihadapkan pada kenyataan bahwa seorang Arab Badui yang mengaku telah ber-Islam dan beriman, tapi pada kenyataan tidak mempunyai ilmu tentang Islam, dan Rasulullah tidak bisa memberikan pembenaran tentang ‘claim’ dari orang Badui tersebut, maka Allah memberikan jawabannya sesuai dengan kondisi yg ada pada orang Badui tersebut di dalam surat Al Hujurat : 14. Di dalam surat ini Allah menukilkan tentang peristiwa orang Badui yg mengatakan bhw ‘Kami telah beriman’ dan Rasulullah terdiam, maka Allah memerintahkan kpd Rasulullah untuk mengatakan kepada mereka (org Badui) bahwa ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’ (baru menerima Islam), karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.’ Dan pada ayat selanjutnya (15), Allah menjelaskan siapa yg baru bisa dikatakan beriman itu adalah orang-orang yg tidak ragu lagi beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Orang-orang yg masih ragu tentang Islam itu karena adanya sifat ‘al-jahlu’ (kebodohan) dalam diri mereka. Mereka mengaku ber-Islam, tapi pada kenyataannya mereka memiliki ilmu yg sedikit tentang Islam. Bahkan pada ilmu2 yg berkaitan dengan Islam, mereka dapatkan ilmu tersebut dari orang-orang yg ingin merusak Islam. Banyak orang yg telah merasa beriman kepada Allah dan merasa layak untuk mengeluarkan pernyataan tentang Islam, tapi padahal apa yang diungkapkan oleh mereka itu menyimpang dan menciptakan keraguan di kalangan umat.
Sifat yg lain yg berkaitan dgn penyebab keraguan pada diri ummat Islam adalah adanya dorongan2 ‘syahwat’ (keinginan-keinginan diri/nafsu yang dapat mengarahkan kepada kecenderungan2 keburukan (ke-fujur-an) dan mengalahkan kecenderungan2 kebaikan). Cth: Ketika azan shubuh banyak muslim yg meneruskan syahwatnya untuk terus tidur. Selain itu lingkungan juga sangat mempengaruhi terbentuknya karakter kebaikan seseorang.

Oleh karena itu solusinya adalah kita harus terus mempelajari Islam secara utuh dan benar (tanpa putus) dan terus melakukan tazkiyatun-nafs, dengan cara antara lain senantiasa berkumpul dengan orang-orang baik seperti hadir dalam majlis-majlis ilmu (pengajian-pengajian).

2. Penanya: Supriyono (London)
Nikmat Islam ternyata mulai dirusak dengan ide2 pluralisme, bahkan itu berasal dari golongan yang mengaku dirinya Islam, bahkan kyai dengan pernyataan menentang fatwa MUI. Bagaimana sebenarnya kita harus merespon pernyataan2 tersebut? Bagaimana kita juga harus bersikap terhadap fatwa MUI?

Jawab:

Allah Swt telah mengemukakan sbh hukum/sikap/kaidah kepada kita bahwa orang-orang yg kafir dan org2 yg mengingkari ni’mat Allah (termasuk ni’mat Islam), baik orang-orang yg mengaku dirinya sebagai muslim ataupun orang2 yg keluar dari Islam, mereka tidak akan berdiam diri dan akan terus berupaya merusak agama Allah, dan memadamkan cahaya agama Allah dengan berbagai cara (lisan, tulisan, dsb). Sepanjang sejarah Islam, sejak zaman Rasulullah Saw selalu muncul orang-orang yg karena kebodohannya kepada Islam dan kedengkiannya kepada Islam justru menjadi ‘anashir’ (unsur) perusak Islam. Pikiran/pandangan/pemahaman yg mereka lontarkan bukanlah sesuatu yg orisinil dari pandangan2 mereka, tapi pandangan2 tsb ternyata pengulangan pandangan2 lama yg pernah dimunculkan sejak nabi2 sebelum nabi Muhammad Saw. Allah menceritakan kisah Nabi Isa, yang menemukan sebagian orang yg merusak agamanya. Allah mengatakan mereka itu adalah orang-orang yg rugi, dan mereka (org2 Nasrani yg merusak agama mereka) mengikuti ucapan-ucapan orang kafir sebelum mereka (yaitu mantan pengikut Nabi Musa yg kufur terhadap ajaran yg dibawa oleh Nabi Musa A.S).
Pemikiran2 Islam yg muncul saat ini dan bertentangan dengan ajaran Islam (cth: liberalism), bukanlah pemikiran2 yg original, dan sebenarnya hanya mengulangi, mengadopsi pemikiran2 orang2 kafir sebelum mereka.

Yg harus kita lakukan adalah:

a) Kita menyadari bahwa phenomena ini merupakan sebuah sunnah Allah dalam kehidupan beragama dan akan terus ada, sehingga kita tidak perlu terus gelisah dan putus asa.

b) Cara kita menyikapi dengan belajar bagaimana Islam, melalui Rasulullah menyikapinya. Pertama, ajak mereka berargumentasi dengan cara yg baik. Barangkali kalau kita berargumentasi dengan baik maka mereka akan kembali kepada kebenaran. Tapi jikalau sesudah berargumentasi mereka menolak apa yg kita sampaikan, maka tdk ada tugas (kewajiban) bagi kita kecuali hanya sekedar menyampaikan. Kita tidak perlu berbuat anarkis, membunuh mereka atau menyiksa mereka, karena itu hanya akan mengundang simpati buat mereka. Itulah sebabnya Rasulullah tidak pernah menghukum orang-orang munafiq atau orang2 yg kafir, karena sesuai anjuran Rasulullah, kalau kita menghukum orang2 semacam ini maka orang-orang munafiq akan mengatakan: ‘Hai lihatlah, ternyata Muhammad berlaku keras terhadap golongannya sendiri.’ Oleh karena itu sesuai sabda Rasulullah, jika kamu menemukan kemungkaran maka ubahlah dengan tanganmu (kekuasaan melalui kebijakan2), tapi bukan dengan cara anarkis.

3. Penanya: Indriane (Huddersfield)
Mohon tip2nya Ustadz, bagaimana mengembangkan diri dari sholih menjadi mushlih, juga dalam mengajak orang-orang di sekitar dari sholih menjadi mushlih?

Jawab:

Banyak cara yg bisa ditempuh untuk mengembangkan diri kita dari shalih menjadi mushlih, dan disesuaikan dengan kondisi. Namun di antara cara-cara tersebut, yang paling efektif adalah ketika kita juga mengajak orang lain untuk berbuat kebajikan. Ketika kita menyampaikan satu ayat yg kita pahami kepada orang lain, percayalah bahwa hal itu juga menambah keyakinan dan pemahaman (juga produktivitas da’wah) tentang ayat yang sdg kita sampaikan kepada orang lain tsb. Bahkan keragu-raguan itu seringkali datang ketika kita memahami satu ayat dan kita hanya menyimpan ayat tsb untuk diri kita. Jika setan datang dan membisikkan keragu-raguan kepada kita, kita menjadi mudah terpengaruh. Seorang salesman yg sering memasarkan produknya kepada konsumennya akan menambah keyakinannya thd produk yg dipasarkannya. Selain itu ada sebuah contoh pengalaman pribadi, yaitu ketika kondisi keimanan kita sedang rendah atau kualitas ruhaniyah kita sdg turun, maka justru kita mendatangi majlis ilmu, atau kita semakin menyebarkan da’wah, karena hal ini dapat memompa semangat ruhani kita lagi untuk senantiasa menjaga keimanan. Janganlah kamu mengajak orang kepada kebaikan sementara kamu meninggalkan kebaikan tersebut padahal kamu mengentahuinya. Seorang guru yg cerdas adalah pada saat dia mengajar, dia juga sdg belajar.
Selain itu kita juga harus memahami, bahwa distribusi kebaikan itu bukan hanya melalui pengajaran2 secara lisan. Apapun bentuk kebaikan itu, kalau bisa membawa manfaat (kebaikan) bagi orang lain juga bernilai da’wah. Cth: memelihara kebersihan, merapikan rumah, membuang duri di jalan dsb. Simpati adalah kunci penerimaan da’wah.

4. Penanya: Tommy Firmansyah (Bedford)
Mohon penjelasan secara garis besar kebijakan DPP tentang kaderisasi dan dakwah hasil dari Munas yang baru lalu. Kemudian apakah ustad masih membawahi bidang kaderisasi?

Jawab:

Dalam Munas Agustus yg baru lalu, PKS telah mengeluarkan keputusan2 penting bagi agenda-agenda da’wah maupun perbaikan kondisi bangsa 5 thn ke depannya. Di antara visi besar yg ingin dibangun adalah dengan mengokohkan eksistensi dan peran/kekuatan partai da’wah ini yg didukung oleh berbagai kalangan segment kekuatan bangsa untuk terus melayani masyarakat, membantu mereka untuk bisa keluar dari jerat-jerat krisis ekonomi, budaya, hukum, politik, sosial dsb. Juga arahan kebijakan untuk 5 tahun ke depannya bisa mendapatkan kursi kepemimpinan bangsa shg kita bisa melahirkan kebijakan2 yg berlandaskan pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Ini merupakan tantangan besar, termasuk memperluas jaringan da’wah di berbagai tempat dan kesempatan. Yang terpenting juga adalah memperkuat asset manusia, termasuk memperkuat sisi moral bangsa. Cth: banyak orang yg pintar tapi ternyata terjerumus kepada korupsi karena kurang kuat pondasi mentalnya. PKS harus bisa melahirkan kader-kader unggul yang bisa menjadi perubah ke arah yg lebih baik.

5. Penanya: Subchan (Swindon)
Bagaimana menjaga agar iman kita tetap stabil, dan kalau mungkin
naik?

Jawab:

- Jawaban mirip dengan yg disampaikan untuk pertanyaan nomor 3.

6. Penanya: Dimas Rahim (Glasgow)
Bagaimana memproduksi kebaikan (spt yg ustad sampaikan tadi) di tengah fitnah stempel 'terorisme, fundamentalisme, dsb' yang ditujukan kepada Islam akhir-akhir ini?

Jawab:

Dalam sejarah da’wah Rasulullah saw, Rasulullah juga mengalami stigma-stigma yg sama, bukan hanya dicap terrorism, tapi juga di cap sebagai a.l. penyihir, orang bakhil, org gila, org yg memisahkan orangtua dan anak, suami dan istri dsb. Cobaan2 yg dialami oleh Rasulullah lebih dahsyat, ketimbang ancaman yg dialami oleh kita karena dicap sebagai teroris. Oleh karena itu labelisasi ini jgn membuat kita berkecil hati, krn ini merupakan bagian dari sunnah da’wah. Justru kita harus mengevaluasi jika ternyata dalam ber-Islam kita tdk menghadapai tantangan, ancaman, tuduhan, fitnah dsb., jangan-jangan justru Islam kita adalah Islam yg disenangi oleh org2 kafir atau oleh musuh-musuh Islam. Oleh sebab itu, bila kita dalam ber-Islam ternyata mendapatkan tantangan, fitnah dan hambatan dari musuh-musuh Islam, bisa jadi justru kita sebenarnya sdg menjalankan Islam yg benar. Yang harus kita lakukan adalah pertama bersabar. Allah meneguhkan hati org-org mu’min utk bersabar atas berbagai fitnah melalui QS 3: 146. Kedua, tunjukanlah dan sebarkanlah kebaikan kepada orang lain, termasuk org-org yg benci kepada kita, misalnya kita membagikan Al Qur’an kepada org yg belum memahami Islam.

7. Penanya: Supriyono (London)
Utk menjadi lebih bermanfaat kpd orang lain, saya kira menjadi anggota DPR atau terlibat di pemerintahan punya kesempatan yang lebih besar, karena secara langsung harus memikirkan kesejahteraan rakyat. Tapi menurut saya ternyata mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan. Sebagai anggota DPR bagaimana menanggapi pernyataan saya tersebut, terutama ttg kondisi naiknya harga BBM yg menelantarkan rakyat?

Jawab:

Pertama, secara individu (personal) berlaku kaidah ‘innamal a’malu bin niyat,’ segala amal bergantung kepada niat. Oleh karena itu sebagai anggota DPR maupun eksekutif (birokrasi) juga ditentukan apa niat awal org tersebut. Apa tindakan performasi dan orientasi orang tsb sangat ditentukan oleh niatnya. Yang kedua, DPR maupun lembaga eksekutif sesungguhnya merupakan sarana-sarana perjuangan bagi kepentingan masyarakat dan bukan kepentingan individu atau kelompok. Oleh karena menjadi sarana perjuangan masyarakat, sehingga tidak pernah akan bisa berhasil bila hanya dilakukan sendirian. Orang yg awalnya punya idealisme, kalau dia berada sendirian di DPR, sangat mungkin tidak akan mampu merubah atau mempertahankan idealismenya. Oleh karena itu individu-individu dari PKS (sebagai kekuatan da’wah) yg kebetulan duduk di legislative dan exekutif bukan hanya mendasari niatnya secara individu sebagai bagian dari ibadah kepada Allah, tapi juga secara kolektif (sbg sbh organisasi/jama’ah) mempunyai bangunan konsepsi/cara/pedoman kokoh yang terkontrol. Cth: ketika sebagian petani mengalami penderitaan krn gagal panen, serangan hama wereng, busung lapar, serangan demam berdarah dsb, maka anggota dewan dari pks secara kolektif menolak kenaikan gaji. Ini merupakan komitmen dari PKS, karena kita berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat), bukan fastabiqul syai’an (berlomba-lomba dalam keburukan). Kalau orang lain mungkin saja berbeda, karena pada dasarnya ada manusia baik, ada manusia jahat; ada nabi ada setan. Dan setan juga menjadi tipologi manusia.
Mengenai kasus BBM kita juga harus menilainya secara obyektif, krn ada hal-hal yg tidak bisa kita control, misalnya melambungnya harga minyak dunia, dan kondisi keuangan bangsa yg tdk mungkin bisa menutupinya. Pada kenyataannya Indonesia memang menjadi korban permainan bangsa-bangsa besar. Maka dicarikan jalan tengahnya, di tengah kekuatan global. Oleh krn itu ke depannya kita memerlukan pemimpin-pemimpin yg punya originalitas pemikiran/visi perbaikan bangsa dan kekuatan untuk bisa keluar dari jerat-jerat ‘penjajahan’ peradaban materialism global.

Bulan Ramadhan: Stasiun Besar Musafir Iman

Oleh : Ust. Rahmat Abdullah (Alm)

PKS Online: Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH
ciptakan untuknya, mencari dataran rendah, menjadi
semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa
kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu
mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin
pun berhembus. Edaran yang pasti pada keluarga
galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur
waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan
penanggalan.

Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun
– dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH – menerobos
kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat
tarikan gravitasi ‘bumi jasad’ memberatkan
penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala.
Kini – di bulan ini – ia jadi begitu ringan,
menjelajah ‘langit ruhani’. Carilah bulan – diluar
Ramadlan – saat orang dapat mengkhatamkan tilawah
satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan.
Carilah momentum saat orang berdiri lama di malam hari
menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat.
Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya
melepaskan ‘ular harta’
yang membelitnya. Inilah momen yang membuka
seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan
mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.

Marhaban ya Syahra Ramadlan Marhaban Syahra’ Shiyami
Marhaban ya Syahra Ramadlan Marhaban Syahra’l Qiyami

Keqariban di Tengah Keghariban

Ahli zaman kini mungkin leluasa menertawakan muslim
badui yang bersahaja, saat ia bertanya: "Ya Rasul
ALLAH, dekatkah Tuhan kita, sehingga saya cukup
berbisik saja atau jauhkah Ia sehingga saya harus
berseru kepada-Nya?" Sebagian kita telah begitu
‘canggih’ memperkatakan Tuhan. Yang lain merasa bebas
ketika ‘beban-beban orang bertuhan’ telah mereka
persetankan. Bagaimana rupa hati yang Ia tiada
bertahta disana? Betapa miskinnya anak-anak zaman,
saat mereka saling benci dan bantai. Betapa
sengsaranya mereka saat menikmati kebebasan semu;
makan, minum, seks, riba, suap, syahwat, dan
seterusnya. padahal mereka masih berpijak di
bumi-Nya.

Betapa menyedihkan, kader yang grogi menghadapi
kehidupan dan persoalan, padahal Ia yang memberinya
titah untuk menuturkan pesan suci-Nya. Betapa bodohnya
masinis yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah
kawasan rawan, mesin kereta yang luar biasa tangguh
dan rambu-rambu yang sempurna, lalu masih membawa
keluar lokonya dari rel, untuk kemudian
menangis-nangis lagi di stasiun berikut, meratapi
kekeliruannya. Begitulah berulang seterusnya.

Semua ayat dari 183-187 surat Al-Baqarah bicara secara
tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat yang tidak
menyentuhnya secara tekstual, namun sulit untuk
mengeluarkannya dari inti hikmah puasa. "Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
katakanlah): ‘Sesungguhnya Aku ini dekat…" (Qs. 2
:185).

Apa yang terjadi pada manusia dengan dada hampa
kekariban ini? Mereka jadi pandai tampil dengan wajah
tanpa dosa didepan publik, padahal beberapa menit
sebelum atau sesudah tampilan ini mereka menjadi
drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi menjadi
nyamuk yang zuhud. Mereka menjadi lalat yang terjun
langsung ke bangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang
tak bermalu, atau kera, tukang tiru yang rakus.

Bagaimana mereka menyelesaikan masalah antar mereka?
Bakar rumah, tebang pohon bermil-mil, hancurkan hutan
demi kepentingan pribadi dan keluarga, tawuran antar
warga atau anggota lembaga tinggi negara, bisniskan
hukum, jual bangsa kepada bangsa asing dan rentenir
dunia. Berjuta pil pembunuh mengisi kekosongan hati
ini. Berapa lagi bayi lahir tanpa status bapak yang
syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi keledai
tunggangan para politisi bandit?

Berapa banyak lagi ayat-ayat dan pesan dibacakan
sementara hati tetap membatu? Berapa banyak kurban
berjatuhan sementara sesama saudara saling tidak
peduli?

Nuzul Qur'an di Hira, Nuzul di Hati

Ketika pertama kali Alqur-an diturunkan, ia telah
menjadi petunjuk untuk seluruh manusia. Ia menjadi
petunjuk yang sesungguhnya bagi mereka yang
menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan
larangan-Nya. Ia benar-benar berguna bagi kaum beriman
dan menjadi kerugian bagi kaum yang zalim. Kelak
saatnya orang menyalahkan rambu-rambu, padahal tanpa
rambu-rambu kehidupan menjadi kacau. Ada juga orang
berfikir, malam qadar itu selesai sudah, karena ALLAH
menyatakannya dengan Anzalna-hu (kami telah
menurunkannya), tanpa melihat tajam-tajam pada kata
tanazzalu’l Ma-laikatu wa’l Ruhu (pada malam itu turun
menurunlah Malaikat dan Ruh), dengan kata kerja
permanen. Bila malam adalah malam, saat matahari
terbenam, siapa warga negeri yang tak menemukan malam;
kafirnya dan mukminnya, fasiqnya dan shalihnya,
munafiqnya dan shiddiqnya, Yahudinya dan Nasraninya?
Jadi apakah malam itu malam fisika yang meliput semua
orang di kawasan?

Jadi ketika Ramadlan di gua Hira itu malamnya disebut
malam qadar, saat turun sebuah pedoman hidup yang
terbaca dan terjaga, maka betapa bahagianya setiap
mukmin yang sadar dengan Nuzulnya Al Quran di hati
pada malam qadarnya masing-masing, saat jiwa menemukan
jati dirinya yang selalu merindu dan mencari sang
Pencipta. Yang tetap terbelenggu selama hayat
dikandung badan, seperti badan pun tak dapat
melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada
keterbatasan bagi setiap kesenangan. Batas makanan dan
minuman yang lezat adalah kterbatasan perut dan segala
yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan
libido ialah menghilangnya
kegembiraan di puncak kesenangan. Batas nikmatnya
dunia ialah ketika ajal tiba-tiba menemukan
rambu-rambu: Stop!

Al-Qur'an dulu, baru yang lain

Bacalah Al Quran, ruh yang menghidupkan, sinari
pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan dengan
sirah, niscaya Islam itu terasa ni’mat, harmoni,
mudah, lapang dan serasi. Al-Qur'an membentuk frame
berfikir. Al Qur'an mainstream perjuangan.
Nilai-nilainya menjadi tolok ukur keadilan, kewajaran
dan kesesuaian dengan karakter, fitrah dan watak
manusia. Penguasaan outline-nya menghindarkan
pandangan parsial juz-i. Penda’wahannya dengan
kelengkapan sunnah yang sederhana, menyentuh dan
aksiomatis, akan memudahkan orang memahami Islam,
menjauhkan perselisihan dan menghemat energi ummat.

Betapa da’wah Al Qur'an dengan madrasah tahsin, tahfiz
dan tafhimnya telah membangkitkan kembali semangat
keislaman, bahkan di jantung tempat kelahirannya
sendiri. Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad di garis
depan, jauh sejak awal sejarah ummat ini bermula. Bila
Rasulullah meminta orang menurunkan jenazah dimintanya
yang paling banyak penguasaan Qur'annya. Bila menyusun
komposisi pasukan, diletakkannya pasukan yang lebih
banyak hafalannya. Bahkan di masa awal sekali, ‘unjuk
rasa’ pertama digelar dengan pertanyaan ‘Siapa yang
berani membacakan surat Arrahman di Ka’bah?’. Dan Ibnu
Mas’ud tampil dengan berani dan tak menyesal atau jera
walaupun pingsan dipukuli musyrikin kota Makkah.


Puasa: Da’wah, tarbiah, jihad dan disiplin

Orang yang tertempa makan (sahur) di saat enaknya
orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari
dalam shalat qiyam Ramadlan setelah siangnya
berlapar-haus, atau menahan semua pembatal
lahir-batin, sudah sepantasnya mampu mengatasi
masalah-masalah da’wah dan kehidupannya, tanpa
keluhan, keputusasaan atau kepanikan. Musuh-musuh
ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang
dilahirkan di tengah badai takkan gentar menghadapi
deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam
dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang
dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik
siang.

Mereka terbiasa memburu dan menunggu target
perjuangan, jauh sampai ke akhirat negeri keabadian,
dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar
menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar
orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya
sendiri? "Faqidu’s Syai’ la Yu’thihi" (Yang tak punya
apa-apa tak akan mampu memberi apa-apa).

Wahyu pertama turun di bulan Ramadlan, pertempuran dan
mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan
Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan
Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah
Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan
yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib
zaman.

Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan
hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat
yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yg
menunggu jawaban serius.

KEMATIAN HATI

Oleh: KH Rahmat Abdullah, Ketua Yayasan Iqro', Bekasi

Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya.
Banyak orang cepat datang ke shaf shalat laiknya orang yang amat merindukan
kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera
pergi. Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang
datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa,
tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.

Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya
pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu
alangkah be-sar kemurkaan ALLAH atasmu. Tersanjungkah engkau yang pandai
bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air
wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam
rakaat-rakaat panjang. Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur,
sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian
masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah
seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa
ngeri.

Asshiddiq Abu Bakar Ra. Selalu gemetar saat dipuji orang. "Ya ALLAH, jadikan
diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku
karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidak tahuan mereka",
ucapnya lirih.

Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana,
lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang
beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian
menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat
banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa
banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau
ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah
dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan
kata. Dimana kau letakkan dirimu ?

Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu
kerap engkau bergetar dan takut. Sesudah pengalaman dan ilmu makin
bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa
gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.

Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga
getarannya tak terasa lagi saat ma'siat menggodamu dan engkau meni'matinya ?
Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia
berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada
ALLAH, dimana kau kubur dia ?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka
lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini
potret negerimu : 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia
SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja
berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan.

Mungkin engkau mulai berfikir "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis
perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau
berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu
yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh"
Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu. Kemana getarannya yang
gelisah dan terluka dulu, saat "TV Thaghut" menyiarkan segala "kesombongan
jahiliyah dan maksiat" ? Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci)
berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan "
Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian
laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat ?"

Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling
lantang "Ini tidak islami" berarti ia paling islami, sesudah itu urusan
tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana ?

Sekarang kau telah jadi kader hebat. Tidak lagi malu-malu tampil. Justeru
engkau akan dihadang tantangan : sangat malu untuk menahan tanganmu dari
jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang
berbunga-bunga didepan ribuan massa. Semua gerak harus ditakar dan jadilah
pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus
mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah engkau, jika bidikanmu
ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak
melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam,
sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu. Siapa
yang mau menghormati ummat yang "kiayi"nya membayar beberapa ratus ribu
kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di
sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan "Itu maharku,
ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku" dan sesudah itu segalanya selesai,
berlalu tanpa rasa bersalah? Siapa yang akan memandang ummat yang da'inya
berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan
"Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih
dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua" Akankah engkau juga menambah
barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai 'alimullisan (alim di
lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari
kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim
yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da'wahnya? Akankah kau andalkan
penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka
yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir ? Bila demikian,
koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi
dengan anak remaja mereka. Tengoklah langkah mereka di mal. Betapa besar
sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk
junk food, semata-mata karena nuansa "westernnya". Engkau akan menjadi faqih
pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan
"lihatlah, betapa Amerikanya aku". Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan
Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri. Mahatma Ghandi memimpin
perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri atau terompah lokal yang
tak bermerk. Namun setiap ia menoleh ke kanan, maka 300 juta rakyat India
menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta api, maka 300 juta rakyat
India akan ikut tidur disana.

Kini datang "pemimpin" ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat
dengan pameran mobil, rumah mewah, "toko emas berjalan" dan segudang
asesori. Saat fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam
berita tentang hiruk pikuk pesta dunia yang engkau ikut mabuk disana.
"Engkau adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah.
Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi
selera-ku"

Militansi

Oleh: KH Rahmat Abdullah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ba’da tahmid wa shalawat.

Ikhwah rahimakumullah,

Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an Surat 19 Ayat 12 : Ya Yahya hudzil kitaaba bi quwwah ..”.

Tatkala Allah SWT memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas, Ia tak hanya menyuruh mereka untuk taat melaksanakannya melainkan juga harus mengambilnya dengan quwwah yang bermakna jiddiyah, kesungguhan-sungguhan.

Sejarah telah diwarnai, dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang sungguh-sungguh. Bukan oleh orang-orang yang santai, berleha-leha dan berangan-angan. Dunia diisi dan dimenangkan oleh orang-orang yang merealisir cita-cita, harapan dan angan-angan mereka dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dan kekuatan tekad.

Namun kebatilan pun dibela dengan sungguh-sungguh oleh para pendukungnya, oleh karena itulah Ali bin Abi Thalib ra menyatakan : “Al-haq yang tidak ditata dengan baik akan dikalahkan oleh Al-bathil yang tertata dengan baik”.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah,

Allah memberikan ganjaran yang sebesar-besarnya dan derajat yang setinggi-tingginya bagi mereka yang sabar dan lulus dalam ujian kehidupan di jalan dakwah. Jika ujian, cobaan yang diberikan Allah hanya yang mudah-mudah saja tentu mereka tidak akan memperoleh ganjaran yang hebat.

Di situlah letak hikmahnya yakni bahwa seorang da’i harus sungguh-sungguh dan sabar dalam meniti jalan dakwah ini. Perjuangan ini tidak bisa dijalani dengan ketidaksungguhan, azam yang lemah dan pengorbanan yang sedikit.

Ali sempat mengeluh ketika melihat semangat juang pasukannya mulai melemah, sementara para pemberontak sudah demikian destruktif, berbuat dan berlaku seenak-enaknya. Para pengikut Ali saat itu malah menjadi ragu-ragu dan gamang, sehingga Ali perlu mengingatkan mereka dengan kalimatnya yang terkenal tersebut.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah,

Ketika Allah menyuruh Nabi Musa as mengikuti petunjuk-Nya, tersirat di dalamnya sebuah pesan abadi, pelajaran yang mahal dan kesan yang mendalam: “Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): “Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang teguh kepada perintah-perintahnya dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasiq”.(QS. Al-A’raaf (7):145)

Demikian juga perintah-Nya terhadap Yahya, dalam surat Maryam ayat 12: “Hudzil kitaab bi quwwah” (Ambil kitab ini dengan quwwah). Yahya juga diperintahkan oleh Allah untuk mengemban amanah-Nya dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan). Jiddiyah ini juga nampak pada diri Ulul Azmi (lima orang Nabi yakni Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad yang dianggap memiliki azam terkuat).

Dakwah berkembang di tangan orang-orang yang memiliki militansi, semangat juang yang tak pernah pudar. Ajaran yang mereka bawa bertahan melebihi usia mereka. Boleh jadi usia para mujahid pembawa misi dakwah tersebut tidak panjang, tetapi cita-cita, semangat dan ajaran yang mereka bawa tetap hidup sepeninggal mereka.

Apa artinya usia panjang namun tanpa isi, sehingga boleh jadi biografi kita kelak hanya berupa 3 baris kata yang dipahatkan di nisan kita : “Si Fulan lahir tanggal sekian-sekian, wafat tanggal sekian-sekian”.

Hendaknya kita melihat bagaimana kisah kehidupan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Usia mereka hanya sekitar 60-an tahun. Satu rentang usia yang tidak terlalu panjang, namun sejarah mereka seakan tidak pernah habis-habisnya dikaji dari berbagai segi dan sudut pandang. Misalnya dari segi strategi militernya, dari visi kenegarawanannya, dari segi sosok kebapakannya dan lain sebagainya.

Seharusnyalah kisah-kisah tersebut menjadi ibrah bagi kita dan semakin meneguhkan hati kita. Seperti digambarkan dalam QS. 11:120, orang-orang yang beristiqomah di jalan Allah akan mendapatkan buah yang pasti berupa keteguhan hati. Bila kita tidak kunjung dapat menarik ibrah dan tidak semakin bertambah teguh, besar kemungkinannya ada yang salah dalam diri kita. Seringkali kurangnya jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dalam diri kita membuat kita mudah berkata hal-hal yang membatalkan keteladanan mereka atas diri kita. Misalnya: “Ah itu kan Nabi, kita bukan Nabi. Ah itu kan istri Nabi, kita kan bukan istri Nabi”. Padahal memang tanpa jiddiyah sulit bagi kita untuk menarik ibrah dari keteladanan para Nabi, Rasul dan pengikut-pengikutnya.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah,

Di antara sekian jenis kemiskinan, yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azam, tekad dan bukannya kemiskinan harta.

Misalnya anak yang mendapatkan warisan berlimpah dari orangtuanya dan kemudian dihabiskannya untuk berfoya-foya karena merasa semua itu didapatkannya dengan mudah, bukan dari tetes keringatnya sendiri.

Boleh jadi dengan kemiskinan azam yang ada padanya akan membawanya pula pada kebangkrutan dari segi harta. Sebaliknya anak yang lahir di keluarga sederhana, namun memiliki azam dan kemauan yang kuat kelak akan menjadi orang yang berilmu, kaya dan seterusnya.

Demikian pula dalam kaitannya dengan masalah ukhrawi berupa ketinggian derajat di sisi Allah. Tidak mungkin seseorang bisa keluar dari kejahiliyahan dan memperoleh derajat tinggi di sisi Allah tanpa tekad, kemauan dan kerja keras.

Kita dapat melihatnya dalam kisah Nabi Musa as. Kita melihat bagaimana kesabaran, keuletan, ketangguhan dan kedekatan hubungannya dengan Allah membuat Nabi Musa as berhasil membawa umatnya terbebas dari belenggu tirani dan kejahatan Fir’aun.

Berkat do’a Nabi Musa as dan pertolongan Allah melalui cara penyelamatan yang spektakuler, selamatlah Nabi Musa dan para pengikutnya menyeberangi Laut Merah yang dengan izin Allah terbelah menyerupai jalan dan tenggelamlah Fir’aun beserta bala tentaranya.

Namun apa yang terjadi? Sesampainya di seberang dan melihat suatu kaum yang tengah menyembah berhala, mereka malah meminta dibuatkan berhala yang serupa untuk disembah. Padahal sewajarnya mereka yang telah lama menderita di bawah kezaliman Fir’aun dan kemudian diselamatkan Allah, tentunya merasa sangat bersyukur kepada Allah dan berusaha mengabdi kepada-Nya dengan sebaik-baiknya. Kurangnya iman, pemahaman dan kesungguh-sungguhan membuat mereka terjerumus kepada kejahiliyahan.

Sekali lagi marilah kita menengok kekayaan sejarah dan mencoba bercermin pada sejarah. Kembali kita akan menarik ibrah dari kisah Nabi Musa as dan kaumnya.

Dalam QS. Al-Maidah (5) ayat 20-26 :

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu, ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun di antara umat-umat yang lain”.

“Hai, kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi”.

“Mereka berkata: “Hai Musa, sesungguhnya dalam negri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar dari negri itu. Jika mereka keluar dari negri itu, pasti kami akan memasukinya”.

“Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.

“Mereka berkata: “Hai Musa kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”.

“Berkata Musa: “Ya Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasiq itu”.

“Allah berfirman: “(Jika demikian), maka sesungguhnya negri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasiq itu”.

Rangkaian ayat-ayat tersebut memberikan pelajaran yang mahal dan sangat berharga bagi kita, yakni bahwa manusia adalah anak lingkungannya. Ia juga makhluk kebiasaan yang sangat terpengaruh oleh lingkungannya dan perubahan besar baru akan terjadi jika mereka mau berusaha seperti tertera dalam QS. Ar-Ra’du (13):11, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai mereka berusaha merubahnya sendiri”.

Nabi Musa as adalah pemimpin yang dipilihkan Allah untuk mereka, seharusnyalah mereka tsiqqah pada Nabi Musa. Apalagi telah terbukti ketika mereka berputus asa dari pengejaran dan pengepungan Fir’aun beserta bala tentaranya yang terkenal ganas, Allah SWT berkenan mengijabahi do’a dan keyakinan Nabi Musa as sehingga menjawab segala kecemasan, keraguan dan kegalauan mereka seperti tercantum dalam QS. Asy-Syu’ara (26):61-62, “Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku bersamaku, kelak Dia pasti akan memberi petunjuk kepadaku”.

Semestinya kaum Nabi Musa melihat dan mau menarik ibrah (pelajaran) bahwa apa-apa yang diridhai Allah pasti akan dimudahkan oleh Allah dan mendapatkan keberhasilan karena jaminan kesuksesan yang diberikan Allah pada orang-orang beriman. Allah pasti akan bersama al-haq dan para pendukung kebenaran. Namun kaum Nabi Musa hanya melihat laut, musuh dan kesulitan-kesulitan tanpa adanya tekad untuk mengatasi semua itu sambil di sisi lain bermimpi tentang kesuksesan. Hal itu sungguh merupakan opium, candu yang berbahaya.

Mereka menginginkan hasil tanpa kerja keras dan kesungguh-sungguhan. Mereka adalah “qaumun jabbarun” yang rendah, santai dan materialistik. Seharusnya mereka melihat bagaimana kesudahan nasib Fir’aun yang dikaramkan Allah di laut Merah.

Seandainya mereka yakin akan pertolongan Allah dan yakin akan dimenangkan Allah, mereka tentu tsiqqah pada kepemimpinan Nabi Musa dan yakin pula bahwa mereka dijamin Allah akan memasuki Palestina dengan selamat. Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam QS. 47:7, “In tanshurullah yanshurkum wayutsabbit bihil aqdaam” (Jika engkau menolong Allah, Allah akan menolongmu dan meneguhkan pendirianmu).

Hendaknya jangan sampai kita seperti Bani Israil yang bukannya tsiqqah dan taat kepada Nabi-Nya, mereka dengan segala kedegilannya malah menyuruh Nabi Musa as untuk berjuang sendiri. “Pergilah engkau dengan Tuhanmu”. Hal itu sungguh merupakan kerendahan akhlak dan militansi, sehingga Allah mengharamkan bagi mereka untuk memasuki negri itu. Maka selama 40 tahun mereka berputar-putar tanpa pernah bisa memasuki negri itu.

Namun demikian, Allah yang Rahman dan Rahim tetap memberi mereka rizqi berupa ghomama, manna dan salwa, padahal mereka dalam kondisi sedang dihukum.

Tetapi tetap saja kedegilan mereka tampak dengan nyata ketika dengan tidak tahu dirinya mereka mengatakan kepada Nabi Musa tidak tahan bila hanya mendapat satu jenis makanan.

Orientasi keduniawian yang begitu dominan pada diri mereka membuat mereka begitu kurang ajar dan tidak beradab dalam bersikap terhadap pemimpin. Mereka berkata: “Ud’uulanaa robbaka” (Mintakan bagi kami pada Tuhanmu). Seyogyanya mereka berkata: “Pimpinlah kami untuk berdo’a pada Tuhan kita”.

Kebodohan seperti itu pun kini sudah mentradisi di masyarakat. Banyak keluarga yang berstatus Muslim, tidak pernah ke masjid tapi mampu membayar sehingga banyak orang di masjid yang menyalatkan jenazah salah seorang keluarga mereka, sementara mereka duduk-duduk atau berdiri menonton saja.

Rasulullah saw memang telah memberikan nubuwat atau prediksi beliau: “Kelak kalian pasti akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian selangkah demi selangkah, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta dan sedepa demi sedepa”. Sahabat bertanya: “Yahudi dan Nasrani ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Siapa lagi?”.

Kebodohan dalam meneladani Rasulullah juga bisa terjadi di kalangan para pemikul dakwah sebagai warasatul anbiya (pewaris nabi).

Mereka mengambil keteladanan dari beliau secara tidak tepat. Banyak ulama atau kiai yang suka disambut, dielu-elukan dan dilayani padahal Rasulullah tidak suka dilayani, dielu-elukan apalagi didewakan. Sebaliknya mereka enggan untuk mewarisi kepahitan, pengorbanan dan perjuangan Rasulullah. Hal itu menunjukkan merosotnya militansi di kalangan ulama-ulama amilin.

Mengapa hal itu juga terjadi di kalangan ulama, orang-orang yang notabene sudah sangat faham. Hal itu kiranya lebih disebabkan adanya pergeseran dalam hal cinta dan loyalitas, cinta kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya telah digantikan dengan cinta kepada dunia.

Mentalitas Bal’am, ulama di zaman Fir’aun adalah mentalitas anjing sebagaimana digambarkan di Al-Qur’an. Dihalau dia menjulurkan lidah, didiamkan pun tetap menjulurkan lidah. Bal’am bukannya memihak pada Musa, malah memihak pada Fir’aun. Karena ia menyimpang dari jalur kebenaran, maka ia selalu dibayang-bayangi, didampingi syaithan. Ulama jenis Bal’am tidak mau berpihak dan menyuarakan kebenaran karena lebih suka menuruti hawa nafsu dan tarikan-tarikan duniawi yang rendah.

Kader yang tulus dan bersemangat tinggi pasti akan memiliki wawasan berfikir yang luas dan mulia. Misalnya, manusia yang memang memiliki akal akan bisa mengerti tentang berharganya cincin berlian, mereka mau berkelahi untuk memperebutkannya. Tetapi anjing yang ada di dekat cincin berlian tidak akan pernah bisa mengapresiasi cincin berlian.

Ia baru akan berlari mengejar tulang, lalu mencari tempat untuk memuaskan kerakusannya. Sampailah anjing tersebut di tepi telaga yang bening dan ia serasa melihat musuh di permukaan telaga yang dianggapnya akan merebut tulang darinya. Karena kebodohannya ia tak tahu bahwa itu adalah bayangan dirinya. Ia menerkam bayangan dirinya tersebut di telaga, hingga ia tenggelam dan mati.

Kebahagiaan sejati akan diperoleh manusia bila ia tidak bertumpu pada sesuatu yang fana dan rapuh, dan sebaliknya justru berorientasi pada keabadian.

Nabi Yusuf as sebuah contoh keistiqomahan, ia memilih di penjara daripada harus menuruti hawa nafsu rendah manusia. Ia yang benar di penjara, sementara yang salah malah bebas.
Ada satu hal lagi yang bisa kita petik dari kisah Nabi Yusuf as. Wanita-wanita yang mempergunjingkan Zulaikha diundang ke istana untuk melihat Nabi Yusuf. Mereka mengiris-iris jari-jari tangan mereka karena terpesona melihat Nabi Yusuf. “Demi Allah, ini pasti bukan manusia”. Kekaguman dan keterpesonaan mereka pada seraut wajah tampan milik Nabi Yusuf membuat mereka tidak merasakan sakitnya teriris-iris.

Hal yang demikian bisa pula terjadi pada orang-orang yang punya cita-cita mulia ingin bersama para nabi dan rasul, shidiqin, syuhada dan shalihin. Mereka tentunya akan sanggup melupakan sakitnya penderitaan dan kepahitan perjuangan karena keterpesonaan mereka pada surga dengan segala kenikmatannya yang dijanjikan.

Itulah ibrah yang harus dijadikan pusat perhatian para da’i. Apalagi berkurban di jalan Allah adalah sekedar mengembalikan sesuatu yang berasal dari Allah jua. Kadang kita berat berinfaq, padahal harta kita dari-Nya. Kita terlalu perhitungan dengan tenaga dan waktu untuk berbuat sesuatu di jalan Allah padahal semua yang kita miliki berupa ilmu dan kemuliaan keseluruhannya juga berasal dari Allah.

Semoga kita terhindar dari penyimpangan-penyimpangan seperti itu dan tetap memiliki jiddiyah, militansi untuk senantiasa berjuang di jalan-Nya. Amin.

Wallahu a’lam bis shawab