Tuesday 6 May 2008

Hazihi Sabili

Allah swt menerangkan dengan jelas perjalanan Nabi Yusuf dalam berda’wah di tengah keterasingan keluarga dan sanak saudara yang membuangnya, nabi Yusuf as tiada henti melakukan manuver-manuver da’wah di setiap ruang dan waktu, sejak difitnah oleh isteri pejabat, masuk ke dalam penjara, dan kedudukan penting yang dijabatnya

Firman Allah :


Artinya: Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci
Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik
.


Seruan ini terdapat dalam surah Yusuf ayat 108, termasuk dalam
golongan surah Makkiyah. Pesan ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw yang
merasa berada dalam kesendirian karena ditinggalkan oleh du bemper da’wahnya
yaitu Abu Thalib pamannya dan Khaijah, isterinya.


Allah swt menerangkan dengan jelas perjalanan Nabi Yusuf dalam
berda’wah di tengah keterasingan keluarga dan sanak saudara yang membuangnya,
nabi Yusuf as tiada henti melakukan manuver-manuver da’wah di setiap ruang dan
waktu, sejak difitnah oleh isteri pejabat, masuk ke dalam penjara, dan kedudukan
penting yang dijabatnya. Kesemuanya memberikan alur da’wah yang istiqamah
dalam satu manhaj rabbani yang tidak pernah bergeser sejengkalpun.


Setelah pemaparan itu Allah swt menjelaskan dengan tegas jalur
da’wah yang harus dilalui oleh setiap pembawa dan penerus jejak risalah.


Kalimat pembuka ayat dinyatakan dengan Qul (katakanlah).
Kalimat ini dengan tagas menjelaskan bahwa tugas da’wah adalah tugas dari
Allah. Para da’i adalah orang yang telah menempatkan dirinya dalam jajaran
pesuruh Allah. Konsep kerja yang dilakukan adalah konsep kerja yang datangnya
dari Allah. Inovasi seorang da’i dalam aktifitas da’wahnya tidak boleh
keluar dari frame yang telah Allah buat.



Hazihi Sabili (Inilah Jalanku) inilah kata pemisah yang
sangat tegas dan jelas. Jalan yang ditempuh Rasulullah dalam berda’wah sebagai
garis batas antara iman dan kufur, jalan pemisah antara Tauhid dan Syirk, jalur
pemisah antara Islam dan jahiliyah, dan ketetapan hukum yang membedakan antara
Al Haq dan Al Bathil.


Inilah posisi seorang da’i yang harus jelas dalam bersikap.
Tampil beda dengan keyakinan tinggi, terpisah dari komunitas yang berbeda dengan
dirinya. Seorang dai tidak cukup hanya menyerukan kebaikan, sementara
kehidupannya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan komunitas
jahiliyah yang dia tentang. Konfrontasi dengan jahiliyah sejak subuh hari da’wah
dikumandangkan telah terjadi dan akan terus berlangsung sampai akhir zaman.
Karena antara Islam dan jahiliyah adalah dua kutub magnet yang selamanya tidak
akan pernah bertemu. Ketidak jelasan sikap seorang dai terhadap nilai-nilai dan
sistem yang ada di luar Islam akan sangat mengganngu orsinalitas risalah yang
disampaikan dalam berda’wah.


Keyakinan dan keteguhan inilah yang akan membentuk sikap seorang
dai sebagai penyeru kepada Dinullah. Ad’u ilallah (Aku Menyeru
kepada Allah).


Kata “da’wah” dan sejenisnya dalam Al Qur’an
selalu dikaitkan dengan Allah. Ada tiga hal penting dalam redaksi ini, yaitu :



Pertama, untuk mempertegas bahwa aktifitas da’wah adalah
mengajak dan mengantarkan umat manusia mengenal dan mematuhi Allah, bukan untuk
mengenal dan mematuhi da’inya.



Kedua, yang harus ditinggikan, dibesarkan dan dilindungi
dalam da’wah adalah Dinullah (agama Allah), bukan kepentingan
dai dan sejenisnya.



Ketiga,untuk menunjukkan bahwa jalan da’wah yang dilalui
oleh para dai adalah jalan hidup yang datangnya dari Allah, bukan buatan manusia.


Jalan Allah yang ditempuh para dai itu adalah Ash Shirat
al Mustaqim
(jalan lurus) yang mengantarkan manusia kepada subulas-salam
(jalan kebahagiaan) hakiki di dunia dan di akhirat.


Dengan penegasan ini da’wah adalah tawaran obyektif dari para
dai kepada umat manusia. Tidak ada kepentingan pribadi da’i di dalamnya.
Penerimaan dan penolakan obyek da’wah bergantung kepada seberapa besar
kesadaran obyek da’wah itu dalam menyerap kebenaran Dinullah.
Dengan demikian keberhasilan dalam da’wah tidak membuat dai merasa bangga diri,
dan kegagalan dalam da’wah tidak membuat dao menjadi frustasi.


Jalan panjang seperti yang diserukan pada ayat di atas difahami
oleh Asysyahid Hasan Al Bana sebagai jalan yang sangat panjang dan berliku,
serta tidak pilihan lain selain jalan ini, yang dapat ditempuh untuk membangun
kejayaan umat. Perhatikanlah perjalanan da’wah Nabi Nuh as, ia berda’wah
siang dan malam tanpa pernah bosan, meskipun kaumnya tetap sombong dan
memusuhinya. Nabi Ibrahim dalam berda’wah harus berkonfrontasi dengan ayah dan
kaumnya. Liku-liku da’wahnya terasa sangat melelahkan dengan berbagai dinamika
yang memerlukan daya tahan prima. Tetapi nabi Ibrahim as menyadari bahwa tidak
ada jalan lain kecuali sabilullah (jalan Allah) maka Ibrahim tetap
istiqomah di jalan da’wah itu meskipun tantangan kuat menghadang. Rasulullah
saw dalam da’wahnya selama di Makkah membuktikan dengan jelas bahwa rute
perjalanan da’wah adalah rute perjalanan yang telah Allah gariskan.
Tawaran-tawaran yang diajukan kaum kafir Quraisy untuk mencoba mengalihkan da’wah
Nabi Muhammad tidak dapat sedikitpun mempengaruhi jalan da’wahnya. Rasulullah
menyadari betul bahwa yang berhak menentukan arah perjalan da’wah hanyalah
Allah swt, bukan dirinya atau permintaan kaum yang terus menerus menentangnya.


Dakwah menuju jalan Allah ini merupakan tugas para rasul dan
seluruh pengikutnya, ana wa manittaba’ani ( aku dan orang-orang
yang mengikutiku) dengan tujuan untuk mengeluarkan umat manusia dari zhulumat
(kegelapan kufur) menuju kepada nur (cahaya Islam). Karakter dasar
orang beriman adalah da’i, penyeru kebaikan untuk diri sendiri dan orang-orang
yang berada dalam otoritasnya. Tidak ada satupun dari umat Islam ini yang dapat
berlepas diri dari tugas dan tanggung jawab da’wah. Firman Allah:


Artinya: Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman
kepada Allah.
QS. 3:110


Sabda Nabi :


Artinya: Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan
bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang wanita adalah pemimpin di ruamh
suaminya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang khadim (pelayan)
adalah pemimpin bagi harta tuannya dan ia akan bertanggung jawab atas
kepemimpinannya
. Hadits Muttafaq alaih.


Seorang da’i dalam aktifitas da’wahnya selalu berdasar
kepada pengetuhan dan keyakinan yang benar, ‘ala bashirah. Da’wah
Islam adalah da’wah ilmiyah, selalu berlandaskan kepada hujjah yang nyata
tidak cukup dengan zhan (asumsi) atau dugaa-dugaan pragmatis. Al
Qur’an menantang orang-orang yang memiliki pemahaman yang tidak sesuai dengan
kebenaran atau kenyataan dengan mengatakan:


Artinya: Katakan : Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu
adalah orang-orang yang benar
. QS. 2: 111


Tradisi da’wah Islam adalah tradisi ilmiah, bukan tradisi
taqlid (mengekor). Al Qur’an sering mengidentikkan budaya taqlid dengan sikap
kaum kafir yang jauh dari hidayah dan kebenaran. Firman Allah:


Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa
yang telah diturunkan Allah” mereka menjawab:”(Tidak), tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. “(Apakah
mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk
. QS. 2: 170


Dari itulah diperlukan kesiapan ilmiah yang cukup bagi setiap
dai dalam aktifitas da’wahnya. Dengan demikian maka da’wah Islam akan
mencerahkan kehidupan umat dengan ilmu pengatahuan. Da’wah Islam akan
mengangkat peradaban umat umat menjadi umat madani dengan karakter ilmiah,
membaca, mengkaji dan memahami persoalan dengan berlandaskan kepada
sumber-sumber ilmiyah yang kuat dan valid.


Orang-orang yang menjadi pengikut da’wah ini akan merasakan
kekaguman karena menemukan izzah (kehormatan) diri. Kekaguman itu mereka
nyatakan dalam ungkapan subhanallah (maha suci Allah). Sisi lain
yang tertangkap dari kalimat ini adalah nuansa kesadaran penuh, terjauh dari
kelalaian. Hal ini terlihat dari penggunaan kalimat tasbih ini untuk
mengingatkan orang lain yang dianggap lupa atau salah.


Kesadaran diri dengan izzah Islam ini membentuk pribadi kuat
yang mampu menyatakan jati dirinya di tengah komunitas lain yang melingkupinya.
Aqidah yang benar mendorongnya untuk berseru wama ana minal musyrikin
( dan aku tidaklah termasuk orang-orang yang musyrik). Pernyataan seperti ini
tidak akan pernah keluar dari seorang pengecut. Menyatakan identitas diri di
tengah komunitas yang berbeda hanya bisa dilakukan oleh orang yang bernyali kuat.


Demikianlah da’wah Islam memproduksi orang-orang
berkepribadian tangguh yang memiliki identitas jelas, berpengetahuan luas,
bertanggung jawab dan produktif dalam menebarkan kebaikan di tengah-tengah
umatnya.


Mustafa Masyhur menjelaskan bahwa “ jalan da’wah adalah
jalan yang satu. Di atas jalan inilah Rasulullah saw dan para sahabatnya
berjalan. Demikian juga kita, para pendukung da’wah berjalan dengan taufiq
(pertolongan) Allah swt. Kita dan mereka berjalan berbekal iman, amal, mahabbah
(kasih sayang), dan ukhuwah (persaudaraan).


Aktifitas da’wah adalah aktifitas terorganisir untuk mencapai
tujuan mulia. Ayat di atas menggambarkan bentuk organisasi primer dalam da’wah
ini. Organisasi da’wah akan efektif jika memiliki tiga kaki pijakan ini, yaitu
:



Pemimpin yang ikhlas



Rasulullah saw menyeru mereka kepada iman dan amal, kemudian
menyatu-padukankan hati mereka di atas dasar cinta dan ukhuwah. Berpadulah
kekuatan iman dan kekuatan aqidah dengan persatuan. Maka jadilah jamaah Nabi ini
menjadi jamaah contoh teladan. Seruannya satu yaitu : seruan tauhid “La ilaha
Illallah, Muhammad rasulullah”.


Rasulullah saw menyadari betul perlunya pemimpin yang
berkualitas untuk memimpin jamaah kaum muslimin. Hal ini dapat kita lihat dari
usaha Nabi mengkader sahabat-sahabat tertentu untuk menjadi calon pengganti
dirinya di kemudian hari. Kedekatan hubungan yang Rasulullah bangun dengan Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali, tidak hanya hubungan persahabatan, atau
kekeluargaan semata. Tetapi lebih jauh dari itu, Rasulullah sering memberikan
kesempatan kepada mereka untuk berlatih dan mempersiapkan diri memimpin umat,
jika suatu saat Rasulullah kembali ke hadirat Allah. Pendelegasian dan sariyah
(ekspedisi pasukan) menjadi salah satu bukti perhatian Rasulullah pada
masalah kaderisasi pemimpin umat ini.


Kepemimpinan dalam organisasi adalah syarat mutlak yang tidak
dapat ditawar lagi. Kualitas pemimpin dalam sebuah jamaah akan sangat
mempengaruhi perjalanan sebuag jamaah. Di sisi lain munculnya seorang pemimpin
dalam sebuah jamaah adalah representasi kualitas jamaah itu sendiri. Ali bin Abi
Thalib ketika menjadi khlaifah pernah ditanya oleh salah seorang rakyatnya.
Mengapa di zaman Abu Bakar menjadi khalifah, dalam waktu singkat ia mampu
menyelesaikan permasalahan negara yang sedang sangat terancam, dan di masa tuan
permasalahan yang jauh lebih kecil dari masalah Abu Bakar, menjadi
berlarut-larut tidak terselesaikan? Ali menjawab: “ Abu Bakar dapat dengan
cepat menyelesaikan problem yang sangat besar karena rakyatnya seperti aku, dan
aku tidak bisa dengan cepat menyelesaikan problem yang tidak begitu besar karena
rakyatnya seperti kamu”.



Pendukung yang beriman/jama’ah ( wamanittaba’ani)



Perjalanan sebuah jamaah dalam melintasi sejarah sangat
ditentukan oleh kualitas pendukung yang menjadi pembelanya, penegak perannya,
menjaga ashalahnya (keasliannya) dan pelindungnya dari
pengaruh-pengaruh lainnya. Organisasi yang kuat selalu didukung oleh para
pengikut yang berkualitas, loyal, solid dan bertanggung jawab penuh.


Allah swt mendorong umat ini untuk bersatu dan mengorgnaisir
diri di bawah bendera Allah. Firman Allah:


Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama0
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai
…. QS. 3;1-3


Al Bukhari meriwayatkan dari Hudzaifah ibnul Yaman, berkata:
Orang-bertanya kepada Rasulullah tentang kebajikan, dan saya menanyakannya
tentang keburukan karena khawatir jika kami menemuinya…lalu saya bertanya: Apa
yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Jawab Nabi: Kamu tetap
dalam Jama’ah kaum Muslimin dan imamnya.


At Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra berkata: Rasulullah
saw bersabda: “Tangan Allah bersama dengan jama’ah”.


Umar bin Khaththab berkata:


“Sesungguhnya Islam tidak akan tegak tanpa jama’ah, dan
tidak ada jama’ah tanpa imarah (pemimpin) dan tidak ada
kepemimpinan tanpa taat (loyalitas)”.


Nabi Isa as pernah menguji loyalitas pengikutnya dengan
mengatakan :


“Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan
agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: Kamilah
penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah
bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. Ya Tuhan kami,
kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti
rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi
saksi (tentang keesaan Allah). QS:3:52-53


Dari ayat di atas dapat ditarik ciri-ciri pendukung da’wah
yang baik adalah :




  • Beriman kepada Allah



  • Berserah diri kepada Allah



  • Beriman kepada kitab Allah



  • Beriman kepada rasulullah



  • Telah menunjukkan jati dirinya



  • Pernyataan kesediaan untuk menjadi pendukung da’wah.




Manhaj yang benar. (‘ala bashirah)



Manhaj yang benar akan menjadi pemandu da’i dalam aktifitas da’wahnya
mencapai cita-cita da’wah yang agung. Hal hal penting yang harus diketahui
oleh setiap da’i dalam memahami manhaj ini adalah:


Memahami ghoyah (tujuan utama) da’wah ini, yaitu
menjadikan Allah swt sebagai puncak semua tujuan aktifitas da’wah. Sehingga
produk dari proses da’wah adalah masyarakat Rabbani yang selalu berorientasi
kepada Allah.


Memahami amaliah (proses) berda’wah dalam
mengantarkan umat manusia agar keluar dari zhulumat jahiliyah menuju kepada
cahaya Islam. Mulai dari pencerahan ilmiah, pembentukan kesadaran, hingga
menjadi aktifitas muslim yang berangkat dari pemahaman yang benar dan kesadaran
penuh. Proses ini dilakukan terus menerus tanpa pernah berhenti madal-hayah
(sepanjang hidup).


Memahami marhalah (fase) da’wah. Ada tiga
marhalah penting dalam da’wah, yaitu: a). marhalah pembentukan opini dan
pencerahan publik, dengan menyebarkan pemikiran-pemikiran yang mencerahkan
kepada seluruh lapisan masyarakat, b). marhalah kaderisasi dan pemilihan
bibit-bibit berkualitas untuk dipersiapkan menjadi junud (prajurit)
da’wah, c). marhalah tanfidz (aksi), yaitu amal produktif dari
pemikiran yang telah difahami.


Memahami materi da’wah. Materi terpenting dalam da’wah
adalah: a). penanaman iman yang kuat/dalam, b). pembentukan kepribadian yang
utuh dan detail.


Dengan demikian ashalah da’wah dan produktifitas
da’wah akan dapat diharapkan berbuah dengan baik dan sempurna. Wallahu a’alm.

No comments: