Tuesday, 6 May 2008

Agenda Tarbiyah di Era Jahriyah-Jamahiriyah: Perbesar Kualitas, Perbanyak Kuantitas!

Kebijakan umum kaderisasi di era jahriyah-jamahiriyah ini adalah penumbuhan jumlah dan peningkatan kualitas kader. Ini membuat agenda tarbiyah menjadi lebih besar dan berat. Namun bukan berarti tidak mungkin.

Selama ikhtiar
da’awi kita selaras dengan sunnah syar’iyyah dan sunnah kauniyah,
hal-hal yang berat dalam pandangan sebagian manusia menjadi ringan karena
pertolongan Allah SWT. Kualitas tentu saja harus mendahului kuantitas. Numu
nau’iyah nuqaddam ‘ala numu kammiyah
. Ketika kualitas kader baik, maka
mudah untuk memompa kuantitas.


Harakah Nukhbawiyah


Perlu dipahami kembali bahwa da’wah kita adalah harakah
nukhbawiyah
. Artinya da’wah yang menempatkan kader sebagai aset utama
gerakan dan sebagai ujung tombak terdepan seluruh aktifitas da’wah.


Ketika da’wah harus mampu menjangkau dan menggerakkan seluruh
unsur masyarakat, maka pembesaran jumlah kader sebagai anashir da’wah menjadi
mutlak diperlukan. Dan ketika misi da’wah juga harus mampu menghasilkan
perubahan-perubahan besar di berbagai aspek kehidupan, maka peningkatan kualitas
kader menjadi suatu keniscayaan.


Perpaduan antara aspek kuantitas dan kualitas inilah yang
digambarkan Allah SWT dalam ayat: “Dan berapa banyaknya nabi yang berperang
bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikutnya yang bertaqwa (rabbaniyyin).
Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah,
dan tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh. Allah menyukai orang-orang
yang sabar.”
(QS. Ali Imran: 146).


Urgensi Kualitas dan Akibat Mengabaikannya


Kualitas kader dalam kehidupan da’wah harus senantiasa
mengikuti kebutuhan marhaliyah dan mihwar da’wah. Semakin meningkat marhalah
dan semakin meluas mihwar da’wah, maka kualitas kader pun dituntut untuk
semakin berkembang. Bila yang terjadi sebaliknya, maka akan muncul bencana bagi
da’wah. Apa bentuk bencana itu?


Pertama, akan muncul kader-kader yang tidak mampu istiqamah di
dalam mengikuti irama perjalanan da’wah yang dinamis. Ia akan tersibukkan oleh
problem-problem personal dan terjauhkan dari aktifitas da’wah. Ingatlah, ayat
yang membuat rambut nabi Muhammad SAW beruban adalah: “Maka istiqamahlah
kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga)
orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlak kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
(QS. 11:112 ).
Kesabaran untuk menggapai janji-janji Allah adalah kunci rahasianya. “Dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi
dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”

(QS. 18:28).


Kedua, munculnya sebagian kader yang menginginkan kehidupan da’wah
sebagai sesuatu yang ringan dan menyenangkan secara duniawi. Mereka menjadi
enggan ketika perjalanan da’wah ini begitu panjang dan membutuhkan pengorbanan
yang banyak. Mereka cenderung menjadi orang yang ingin “hidup dari da’wah”
dan bukan “menghidupi da’wah”. Perhatikan peringatan Allah SWT: “Kalau
yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan
perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu. Tetapi tempat
yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka bersumpah dengan (nama)
Allah: “Jikalau kami sanggup, tetulah kami berangkat bersamamu”. Mereka
membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa mereka sesungguhnya
benar-benar orang yang berdusta.”
(QS. 9:42).


Ketiga, munculnya ketidakmampuan di dalam menjalankan misi da’wah
di tengah-tengah masyarakat. Ini karena daya dukung dan daya topang yang
dimiliki kader semacam ini, tidak seimbang dengan kebutuhan dan tuntutan da’wah
yang semakin terbuka. Allah SWT mengarahkan Rasulullah SAW untuk menyiapkan diri
sedemikian rupa agar mampu mengemban misi da’wah yang besar dan berat. “Hai
orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu
agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan
janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”
(QS. 74: 1-7).


Keempat, akibat dari ketiga hal ini, da’wah menjadi disibukkan
oleh problematika internal yang menguras energi da’wah, sehingga tidak mampu
menjalankan misi-misi perubahan secara efektif. Padahal misi utama da’wah
adalah melakukan perubahan dan perbaikan secara nyata. “... Dan aku tidak
bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan
tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah
aku bertawakal dan hanya kepada-Nya lah aku kembali.”
(QS. 11:88).


Kelima, akibat ketidakmampuan ini, timbul kesenjangan antara
harapan besar masyarakat dengan apa yang bisa diberikan oleh da’wah. Lalu
terjadi krisis kredibilitas dan krisis legitimasi. Krisis ini bisa jadi akan
diperamai oleh sejumlah kasus-kasus negatif yang muncul ke permukaan. Perhatikan
peringatan Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”
(QS. 61:2-3).


Terakhir, pada saat semacam itulah, akan muncul pikiran di
sebagian kader yang lemah, untuk menarik kembali da’wah ke belakang. Mereka
merasa lebih nyaman ketika da’wah ini belum berhadapan langsung dengan
masyarakat secara terbuka. Cukuplah pelajaran dari kisah perang Uhud berikut ini:
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira
dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Dan mereka berkata: “Janganlah
kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini”. Katakanlah: “Api
neraka Jahannam itu lebih sangat panas”, jikalau mereka mengetahui.”

(QS. 9:81). Inilah bencana yang bisa terjadi pada da’wah manakala aspek
kualitas diabaikan.


Perluasan Da’wah Berdampak Penurunan Kualitas?


Ketika tuntutan da’wah mengarahkan kerja kita pada perluasan
wilayah da’wah dengan peningkatan rekrutmen kader, muncul penilaian di
sementara kalangan bahwa kualitas kader-kader baru semakin menurun. Benarkah ini?
Bagaimana kita memandang persoalannya?


Bila dilihat secara permukaan, sangat mungkin penilaian itu
benar. Tetapi dengan cara pandang yang utuh, kita bisa menguji kembali keabsahan
penilaian itu. Ada hal-hal prinsip yang harus dipahami.


Pertama, perluasan da’wah berarti memperluas wilayah interaksi
da’wah ke berbagai unsur dan segmen masyarakat yang sangat beragam.
Keberagaman sosio-demografis, tentu saja berpengaruh kepada keberagaman standar
kualitas penerimaan da’wah. Dalam sunnah da’wah, as-sabiqunal awwalun
selalu memiliki standar kualitas lebih tinggi dari generasi berikutnya. Sampai
kemudian terjadi upaya tajdid (pembaharuan) atas kualitas generasi
berikutnya. “Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada
dalam surga keni’matan. Segolongan besar dari orang-orang terdahulu, dan
segolongan kecil dari orang-orang kemudian.”
(QS. 56:11-14).


Generasi awal da’wah ini direkrut dari unsur pemuda terdidik
yang memiliki kesiapan optimal untuk menjadi anashir da’wah yang muntij
(produktif). “Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman
kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk. Dan Kami telah
meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata: “Tuhan
kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain
Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh
dari kebenaran.”
(QS. 18:13-14).


Sekarang ini, perluasan da’wah menghasilkan rekrutmen dari
beragam segmen (misalnya: kaum pekerja, ibu rumah-tangga, buruh, dan lain
sebagainya) dengan keberagaman tingkat penerimaan Islam dan keberagaman tingkat
interaksi da’wahnya. Sehingga sangat mungkin di antara mereka ada orang-orang
seperti digambarkan dalam ayat: “Orang-orang Arab Badwi itu berkata: “Kami
telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah “Kami
telah tunduk”. Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu ta’at
kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun (pahala)
amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS.
49:14).


Kedua, perluasan wilayah da’wah juga menuntut pengembangan
pada uslub (metode), wasilah (sarana) dan ijro’at (mekanisme)
rekrutmen dan pembinaan. Pada generasi awal da’wah, ada kebutuhan percepatan
proses pembinaan ke arah takwin. Sehingga dalam waktu relatif singkat,
terbangun komitmen Islam dan komitmen da’wah yang kuat. Lalu semakin
dimatangkan dengan interaksi da’wah secara langsung. “Dan hendaklah ada
di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang
beruntung.”
(QS. 3:104).


Ketika terjadi perluasan da’wah, proses pengkondisian dan
seleksi da’wah berjalan lebih panjang. Ini penting, untuk mengukur tingkat
kesiapan penerimaan da’wah sehingga kita tidak memberikan beban melampaui
kadar kemampuan obyek da’wah. Metode, sarana dan mekanisme rekrutmen serta
pembinaan pun dikembangkan sedemikian rupa, sehingga bisa menjangkau dan
menampung obyek da’wah secara lebih masal. “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Dan
berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
(QS.
5:35).


Bila kita amati perkembangan da’wah ‘ammah dalam 5 sampai 10
tahun terakhir, ada banyak ijtihad dalam pola rekrutmen dan pembinaan da’wah.
Ini hal yang baik dan dimungkinkan, karena ada dalam wilayah mutaghayyirat
(hal-hal yang dinamis).


Ketiga, da’wah Islam sesungguhnya membutuhkan sangat banyak anashir
dengan beragam kondisi dan kemampuannya. Di antara mereka ada yang dijadikan qaidah
siyasiyah
(basis kepemimpinan), qaidah fikriyah (basis pemikiran), qaidah
harakiyah
(basis gerak) dan juga qaidah ijtima’iyah (basis sosial).
Bahkan dalam sunnah da’wah, qaidah ijtima’iyah harus jauh lebih besar dari
basis-basis da’wah lainnya. Perbedaan setiap qaidah tentu saja mengarah kepada
perbedaan standar kualitas yang dimiliki. Sehingga yang dibutuhkan dalam melihat
keberagaman standar kualitas adalah pada siasat untuk menempatkan dan
mendayagunakan anashir tersebut dalam bangunan amal jama’i da’wah.
Perhatikan firman Allah SWT: “Katakanlah: Hai kaumku, bekerjalah kamu
sesuai dengan keadaanmu. Sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu
akan mengetahui...”
(QS. 39:39).


Terakhir, tentu saja Allah SWT telah meletakkan miqyar ‘aam
(standar umum) dalam menilai keimanan dan keshalehan seseorang. Parameternya
disebutkan dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga bingkai besar kita dalam
menilai dan menimbang kualitas kader adalah pada timbangan Islam itu sendiri.
Tidak lebih dan tidak kurang. Firman Allah SWT: “Dan Allah telah
meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan
melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil
dan janganlah kami mengurangi neraca itu.”
(QS. 55:7-9). Jadi selama
aspek-aspek kualitas kader da’wah tidak keluar dari bingkai umum ajaran Islam,
maka mereka adalah kader yang berkualitas.


Mensikapi “Kesalahan” Kader


Dari keempat prinsip ini, kita akan mampu melihat masalah ini
secara lebih utuh dan obyektif. Akan tetapi, barangkali ada yang menyoroti
menurunnya kualitas dari sisi terjadinya kasus-kasus pelanggaraan syari’at
dalam beberapa aspek kehidupan. Baik dalam urusan mu’amalah ataupun da’wah.
Bagaimana ini?


Bila ini terjadi, memang hal yang memprihatinkan. Karena
sejatinya kader-kader da’wah menjadi orang-orang terdepan dalam melakukan
kebajikan dan juga terdepan dalam meninggalkan kemunkaran. Tetapi manusia adalah
tempatnya kesalahan. Dan Allah SWT menyediakan sifat Pema’af, Pengampun dan
Penerima Taubat kepada manusia-manusia beriman yang melakukan kesalahan. Artinya
kesempurnaan ajaran Islam muncul ketika Islam menerima kesalahan perbuatan
manusia sebagai keniscayaan, dan memberikan jalan bagi perbaikannya. Ini
tinjauan dari sisi manusia sebagai individu.


Tinjauan lain adalah proses tasyri’. Sebagian dari
syari’at Islam diturunkan Allah SWT karena kasus-kasus kesalahan yang
dilakukan nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Penetapan hukum ini berkaitan
dengan urusan rumah-tangga, jual-beli, makan-minum, ibadah, da’wah dan juga
jihad. Artinya, ketika terjadi kesalahan-kesalahan dalam komunitas da’wah,
maka hal itu mesti diperlakukan dalam perspektif tasyri’.


Di sinilah kemudian pola hubungan qiyadah-jundiyah
diberlakukan dalam konteks penerapan syari’at Islam. Perhatikan firman Allah
SWT: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk dita’ati
dengan izin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya, datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk
mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan. Dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.”
(QS. 4:64-65).


Dalam kaitan ini, maka da’wah dan jajaran qiyadahnya di semua
lini harus mampu mengelola masalah-masalah semacam ini untuk pengokohan tahqiq
as-syari’ah
dalam kehidupan berjama’ah. Juga untuk mematangkan kualitas
kader ketika mereka belajar banyak dari kesalahan-kesalahan yang terjadi.
Marilah kita mengambil ibrah dari kisah Haditsul-Ifki yang menggegerkan
itu. “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong iyu buruk bagi kamu
bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapatkan balasan
dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian
yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.”

(QS. 24:11).


Pada sisi lain, ketika ada sementara orang yang sulit diperbaiki
dari kesalahan-kesalahannya, sangat mungkin ia merupakan cara Allah untuk
membersihkan shaf da’wah. “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan
orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia
menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu’min). Dan Allah sekali-kali
tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah
memilih siapa yang dikehendaki-Nya diantara rasul-rasulNya. Karena itu
berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya. Dan jika kamu beriman dan bertakwa,
maka bagimu pahala yang besar.”
(QS. 3:179).


Jalan Memperbaiki Kesalahan


Dengan memahami pandangan yang lebih utuh tentang kualitas kader
dan kasus-kasus kesalahan yang terjadi, diharapkan kita bisa melihat persoalan
dalam perspektif obyektif, positif dan ke depan. Namun begitu, bukan berarti
kita mengabaikan persoalan-persoalan penurunan kualitas yang sementara ini
terjadi.


Manajemen da’wah yang baik, tentu saja harus mampu melakukan
tiga hal sekaligus dalam menghadapi permasalah ini. Yaitu tindakan antisipatif
agar masalah masalah tidak meluas atau terulang kembali. Lalu tindakan responsif,
yaitu menanggapi secara cepat berbagai gejala permasalahan sehingga bisa
teratasi dengan cepat dan tuntas. Lainnya adalah tindakan kuratif, yaitu
menyelesaikan dan memperbaiki kasus-kasus permasalahan yang ada di kalangan
kader.


Terkait dengan tindakan kuratif (‘ilaj), dalam da’wah
ini tersedia tiga pendekatan. Pertama adalah ‘ilaj ukhawi. Yaitu
menyelesaikan permasalahn melalui pendekatan ukhuwah. Setiap kader memiliki hak
untuk menerima taushiyah dan sekaligus berkewajiban melakukan taushiyah. Bahkan
dalam budaya da’wah, ketika seseorang melihat kesalahan saudaranya secara
langsung, ia akan segera menegurnya dengan cara yang baik, dan bukan
mengadukannya kepada orang lain. Inilah hakikat taushiyah bil-haq, bis-shabr dan
taushiyah bil-marhamah.


Ketika teguran sudah diberikan, kita harus menunggu beberapa
waktu untuk melihat apakah saudara kita itu mau memperbaiki kesalahannya.
Manakala teguran kita tidak berhasil, baru kita bisa menceritakan dan meminta
bantuan orang lain untuk memperbaikinya. Tentu saja orang itu adalah pihak yang
memiliki otoritas, kemampuan atau kedekatan terhadap kader yang bermasalah.
Menceritakan kasus atau aib saudara kita kepada orang lain yang tidak dalam
kualifikasi ini, sudah termasuk perkara ghibah.


Hal lain yang penting, ketika kita menemukan seorang kader yang
melakukan kesalahan atau memiliki aib, salah satu tugas kita adalah menutupi aib
itu dari orang lain. Dan kita harus tetap memandang saudara kita itu dari
sisi-sisi kebaikannya, agar kita tetap mampu bergaul dan beramal jama’i. Dalam
suasana seperti ini, kita akan terus berupaya mengarahkan dan mengingatkan
saudara kita itu, agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Ini adalah bentuk
lain taushiyah melalui bimbingan atau arahan amal.


Kedua adalah ‘ilaj tarbawi. Yaitu mengatasi
permasalahan yang dialami kader melalui taujihat tarbawiyah dalam
forum-forum pembinaan. Fadzakkir, inna dzikro tanfa’ul mu’minin.
Sangat mungkin, seseorang melakukan kesalahan akibat ketidakpahamannya (‘adamul-fahm)
akan suatu persoalan. Dengan diberikan ilmu tentang hal itu, masalah yang ada
akan bisa diselesaikan. Untuk itulah, seorang murabbi dan muwajjih harus peka
dan mampu mengidentifikasi persoalan-persoalan yang berkembang di kalangan kader.
Sehingga taujihat tarbawiyah yang diberikan secara rutin, bisa diarahkan secara
lebih spesifik. Perhatikanlah, taujihat Rasulullah kepada para sahabat dalam
forum-forum pembinaan, biasanya sangat spesifik dan sering berangkat dari
kasus-kasus tertentu yang terjadi di lapangan amal.


Ketiga adalah ‘ilaj tanzhimi. Harakah kita adalah munazhzhamah.
Ada ijro’at tanzhimi (mekanisme dan aturan organisasi) yang mengikat
kita. Ketika suatu kesalahan yang dilakukan kader tidak mampu diatasi dengan ‘ilaj
ukhawi dan ‘ilaj tarbawi, maka dengan otoritasnya, da’wah bisa melakukan ‘ilaj
tanzhimi. Jajaran qiyadah di berbagai jenjang struktur harus mampu menggunakan
otoritasnya. Pada titik ini, seorang kader akan dihadapkan pada pilihan-pilihan
komitmen da’wah-harakahnya. Karena keta’atan pada jama’ah dan qiyadah
adalah salah satu kewajiban asasi dalam amal jama’i. “Wahai orang-orang
yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik
akibatnya.”
(QS. 4:59).


Ketika ‘ilaj tanzhimi dilakukan, maka di antara otoritas da’wah
dan qiyadah adalah menetapkan uqubah (sanksi). Hakihat uqubah adalah
sebagai bukti adanya kesalahan yang telah dilakukan, sebagai konsekuensi yang
harus dibayar dari kesalahan itu dan sebagai jalan untuk mengingatkan serta
mengembalikan orang yang bersalah kepada jalan kebenaran. Oleh karena itu,
uqubah menjadi sangat penting agar kewibawaan da’wah dan kewibawaan Islam
tetap terpelihara. Tentu saja, ini harus dilakukan oleh pihak yang benar-benar
berwenang, dengan aturan yang jelas dan syura yang mendalam.


Tiga Agenda Tarbiyah


“Banyak dalam Kuantitas, Baik dalam kualitas”. Ungkapan ini
adalah keinginan semua orang dalam da’wah ini. Ini bukan khayalan yang musykil.
Allah SWT memberikan isyarat kemungkinannya pada QS. 3:146-148, yang artinya: “Dan
berapa banyak para nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang
menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada
musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada do’a mereka selain
ucapan: “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami
yang berlebih-lebihan dalam urusan kami, dan tetapkanlah pendirian kami, dan
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. Karena itu Allah memberikan kepada
mereka pahala di dunia dan pahala di akherat. Dan Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebaikan.”


Ada tiga kandungan penting dari ayat ini. Pertama, kenyataan
bahwa para nabi membutuhkan pengikut dalam jumlah besar sebagai barisan mujahid
fi sabilillah. Kedua, mereka itu (rabbaniyyin) memiliki kualitas yang
handal dalam medan perjuangan. ‘Adamu al-wahn (tidak mudah lemah) dalam
menghadapi ujian dunia, ‘Adamu adh-dha’fu (tidak mudah lesu) dalam
menghadapi kesulitan perjuangan dan ‘Adamu al-Istikanah (tidak gampang
menyerah) kepada musuh-musuh Allah. Ketiga, mereka adalah orang-orang yang
menyadari kelemahan dan kesalahan dirinya. Mensikapinya dengan senantiasa
memohon ampun dan bertaubat dari kesalahan dan kekeliruan, serta menggantungkan
diri semata kepada Allah SWT dalam menghadapi musuh.


Tiga kandungan inilah yang menggambarkan agenda tarbiyah
sekarang ini. Yaitu upaya sistematis untuk merekrut dan mencetak kader
sebanyak-banyaknya. Kedua, mentarbiyah mereka secara manhaji agar memiliki
kualitas yang handal. Ketiga, membangun sistem dan iklim da’wah yang baik.
Yaitu yang mampu menghidupkan semangat quwwatu ash-shilah bil-lah,
semangat muraqabatullah wa muhasabatun-nafs, semangat ta’awun wa
tanashur
serta iklim ihsanul-‘amal.


Agenda 1: Memperbanyak Rekrutmen Kader


Merekrut kader da’wah adalah upaya untuk memberi jalan kepada
manusia untuk mendapatkan hidayah dan pilihan Allah SWT. Hasil akhirnya
bergantung kepada kesediaan manusia untuk datang kepada Allah dan pada kehendak
mutlak Allah sendiri. “... Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) Nya, orang yang kembali (kepada-Nya).”

(QS. 42:13).


Oleh karena itu, misi da’wah untuk merekrut manusia ke dalam
Islam dan da’wah, hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang secara sadar
mengkhidmatkan dirinya kepada Islam. Karena seorang da’i tidak mampu memberi
hidayah, ia hanya menuntun manusia kepada hidayah itu. “Sesungguhnya kamu
tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk.”
(QS. 28:56).


Misi da’wah untuk merekrut manusia ke dalam Islam dan da’wah
hanya mampu dilakukan oleh mereka yang menjadikan da’wah sebagai pekerjaan
utama dan terbaiknya, dengan ganjaran semata-mata dari Allah SWT. “Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal shaleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang
yang berserah diri.”
(QS. 41:33). “Dan aku sekali-kali tidak meminta
upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu. Upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan
semesta alam.”
(QS. 26:109).


Dengan ittijah semacam inilah, setiap kader akan memiliki
kesiapan untuk berda’wah. Keberhasilan merekrut manusia kemudian akan
ditentukan oleh kesungguhan dan totalitasnya dalam mengajak manusia.
Hari-harinya adalah waktu da’wah. Perhatikan ungkapan nabi Nuh as: “Nuh
berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang.”

(QS. 71:5). Ayat ini menggambarkan, dalam setiap kesempatan kapanpun, dalam
setiap keberadaan di manapun, dalam situasi dan kondisi apapun, nabi Nuh
menjadikan da’wah sebagai misi besar dan utamanya.


Keberhasilan dalam mencetak kader da’wah baru juga akan
ditentukan oleh sikap mengembangkan generasi, bukan mengerdilkannya. Perhatikan
peringatan Allah SWT: “Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan
kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah
kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia
berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
(QS.
3:79).


Nabi Zakaria as, dalam usia yang sangat senja, masih memiliki
kemauan kuat untuk bisa mengembangkan generasi da’wah. “Ia (Zakaria)
berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku sudah
beruban. Dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau, ya Tuhanku.
Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap penerus sepeninggalku, sedang istriku
adalah seorang yang mandul. Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang
putera. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub. Dan
jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai.”
(QS. 19:4-6).


Prinsip dan sikap semacam inilah yang dibutuhkan pada setiap
kader da’wah, sehingga mampu menggerakkan kekuatan rekrutmen da’wah secara
optimal. Da’wah tidak dipandang sebagai beban, karena ia adalah jalan
kehidupan kita. Sabilil-Mu’minim.


Agenda 2: Meningkatkan Kualitas Kader


Tidak ada keberhasilan terbaik dalam mencetak kader berkualitas
kecuali apa yang dilakukan Muhammad Rasulullah SAW. Dengan izin Allah, beliau
mampu mencetak pedagang menjadi pejuang, algojo menjadi pemimpin yang zuhud,
pemuda menjadi ulama, dan budak menjadi birokrat. Apa kunci keberhasilan
tarbiyah Islamiyah yang dilakukan Rasulullah SAW?



: Mengokohkan Bangunan Keyakinan



Rasulullah SAW mengawali pembentukan kepribadian kader dengan
menanamkan bangunan keyakinan baru secara kokoh. Keimanan akan ke-Maha Kuasa-an
Allah, keyakinan akan kebenaran Islam, pemahaman yang kokoh akan jalan da’wah
Islam dan kerinduan yang sangat besar terhadap syurga. Keyakinan semacam inilah
yang membentuk orientasi dan wawasan hidup para sahabat. Di sinilah lahir apa
yang disebut militansi Islam dan militansi da’wah.


Ketika bangunan keyakinan ini kuat dan terpelihara, maka
militansi para sahabat tetap membara. Sampai-sampai Khalid bin Walid begitu
sedih karena harus menemui kematiannya di atas tempat tidur. Sebagai murabbi,
Rasulullah SAW senantiasa mengingatkan murid-muridnya akan keyakinan dan
orientasi ini. Khususnya ketika para sahabat mengalami ujian dan cobaan sulit
dalam kehidupannya. Sekali lagi, rahasia pertama adalah: keimanan yang besar
terhadap Allah SWT, keyakinan yang kuat akan kebenaran Islam, pemahaman yang
kokoh tentang jalan da’wah dan kerinduan yang dalam terhadap syurga.


Yang diperlukan sekarang, bagaimana program-program tarbiyah di
berbagai jenjang dan dalam berbagai forum, dihiasi dengan upaya untuk
menyegarkan dan mengokohkan bangunan keyakinan ini. Munakh ruhi-ta’abbudi
sangat mutlak untuk dihidupkan dalam berbagai liqa’at. Mengkaji sejarah
kehidupan para anbiya, para salafus-shalih dan para mujahid da’wah akan sangat
berpengaruh terhadap kekokohan militansi. Diskusi dan pendalaman akan manhaj da’wah
dan doktrin-doktrinnya, perlu secara rutin dilakukan pada bagian awal liqa’at
tarbawi atau tanzhimi. Juga membiasakan untuk mengevaluasi hasil-hasil pekerjaan,
bukan saja dari sudut-pandang manajerial, tetapi juga ibrah dan hikmah
rabbaniyah yang terkandung di dalamnya.



: Mendekatkan Interaksi dengan Al-Qur’an



Kunci kedua adalah kuatnya interaksi langsung antara ayat-ayat
Allah dengan dinamika kehidupan. Sebagaimana kita pahami bersama, dinamika
kehidupan Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya berjalanan beriringan dengan
turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga, bukan saja kehidupan itu berjalan di
bawah bimbingan atau taujih Rabbani, tetapi juga ditandai interaksi yang
langsung dan kuat dengan Al-Qur’an sebagai minhajul-hayah. Inilah yang
menjadi alasan Sayyid Qutb menyebut mereka sebagai Jiil-Qur’ani atau
generasi Qur’an.


Dalam konteks kekinian, interaksi dengan Al-Qur’an bukan
sebatas aspek tilawah, hafalan dan pemahaman. Tetapi lebih penting pada sisi
pengamalan Islam dan da’wah yang terus mengacu kepada bimbingan Al-Qur’an.
Sepatutnyalah, setiap kader mampu menjelaskan seluruh aktifitas hariannya dengan
acuan Al-Qur’an dan berusaha menemukan jawaban atas persoalan-persoalan
hariannya dalam Al-Qur’an.


Ada indikasi sederhana pada generasi awal da’wah ini. Mereka
memiliki kedekatan dengan Al-Qur’an terjemahan. Melalui terjemahan ini,
kader-kader da’wah awal senantiasa mentadabburi ayat-ayat Allah untuk memahami
dan menjelaskan kehidupannya. Sekarang ada fenomena dimana Al-Qur’an
terjemahan tidak lagi populer dan tidak menjadi pegangan dalam berbagai liqa’at
tarbawiyah. Mudah-mudahan saja, ia karena sudah banyak kader-kader da’wah yang
menguasai bahasa Arab dan bahasa Al-Qur’an.


Untuk menjawab tantangan kualitas, maka harus segera dilakukan
upaya mendekatkan interaksi kader dengan Al-Qur’an. Dalam enam bulan pertama
mengawali proses tarbiyah, setiap mutarabbi dirancang sudah mampu menguasai
bacaan Al-Qur’an dengan baik. Enam bulan berikutnya, mereka diprogram untuk
menghapal ayat-ayat keimanan, khususnya pada juz 30. Masa-masa selanjutnya,
program hapalan Al-Qur’an disesuaikan dengan tema-tema pembahasan tarbiyah,
sehingga pemahaman ke-Islaman dan fikrah da’wah diikuti dengan hapalan
ayat-ayat yang berkaitan.


Kegiatan kultum atau taushiyah dalam liqa’ tarbawi bisa
dipolakan dengan kilasan tafsir dari ayat-ayat tilawah yang sedang dibaca. Tentu
saja, kilasan tafsir ini diarahkan untuk mengacu kepada kitab-kitab tafsir (yang
sudah banyak diterjemahkan). Begitupun, pembahasan berbagai qadhaya da’wah
diupayakan mengacu kepada tinjauan Qur’ani. Sehingga pemahaman dan penguasan
kader terhadap ma’na dan ibrah dari ayat-ayat Al-Qur’an menjadi kuat.



: Membimbing kepada Penerapan Amal



Islam adalah dinul-‘amal. Dalam arti bahwa Islam
mengedepankan kebaikan amal sebagai bukti dari keimanan dan pemahaman.
Selanjutnya, penerapan amal justru akan mempercepat dan memperkokoh bangunan
keimanan dan pemahaman terhadap Islam. Tentu saja semua ini dilakukan dengan
menjaga agar setiap amal yang dilakukan senantiasa dilandasi oleh al-ikhlas dan
al-fahmu
.


Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam mentarbiyah
umatnya. Mereka menjadi qaumun ‘amaliyyun atau orang yang senantiasa
beramal. “Dan katakanlah: “Beramallah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya
beserta orang-orang mu’min akan melihat amalmu itu. Dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata. Lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
(QS. 9:105).


Ketika arahan amal begitu kuat dalam Islam, hal ini mendorong
para sahabat untuk senantiasa berkomunikasi dan berkonsultasi kepada Rasulullah
SAW dalam kapasitas sebagai nabi, qaid dan juga qadhi. Dari sinilah pemahaman
mereka bertambah sejalan dengan banyaknya amal. Kebaikan mereka berlipat sejalan
dengan kesalahan yang diperbaiki. Keyakinan mereka menguat sejalan dengan
kemenangan amal yang mereka raih. Dan akhirnya, keyakinan Islam mereka semakin
kokoh karena Rasul senantiasa menjanjikan balasan syurga kepada mereka yang
sukses beramal shalih.


Tarbiyah bukan untuk tarbiyah. Tapi tarbiyah untuk da’wah.
Kita adalah harakah da’wah, bukan harakah tarbiyah. Oleh karena itu,
peningkatan kualitas kader harus mengacu kepada prinsip ini. Yaitu bagaimana
para mutarabbi sejak awal tarbiyahnya, diarahkan dan dibimbing untuk mulai
mengamalkan Islam dan da’wahnya. Murabbi yang sukses adalah yang mampu
menjadikan mutarabbinya sebagai subyek da’wah, dan bukan obyek da’wah.
Ingatlah firman Allah SWT: ““Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah
berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:
“Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” Akan
tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu
selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”

(QS. 3:79).


Akhirnya kita menemukan satu kata kunci. Tajribah maydaniyah
(pengalaman lapangan) adalah cara efektif untuk mematangkan keyakinan, pemaham
dan kemampuan amal seorang kader. Ilmu Allah yang sangat luas akan diajarkan
kepada kita, ketika kita ada di lapangan - untuk mengamalkan ajaran Islam -
dengan sepenuh tawakal. “... Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah
akan mengajarkanmu. Dan Allah Maha Mengatahui segala sesuatu.”
(QS. 2:282)



: Mengedepankan Keteladanan dan Kepemimpinan yang Baik



Perilaku dan amal para da’i adalah cerminan dari da’wahnya.
Mereka adalah teladan dalam pembicaraan dan amalan. Slogan mereka adalah “ashlih
nafsaka, wad’u ghairaka”
(perbaiki dirimu, kemudian serulah orang lain).


Rasulullah SAW telah menampilkan keteladanan ini dalam dirinya.
Sungguh, beliau adalah teladan yang sempurna bagi manusia. Ia adalah teladn bagi
setiap da’i, setiap pemimpin, setiap bapak dari anak-anaknya, setiap suami
dari istrinya, setiap sahabat, setiap murabbi, setiap praktisi politik, dan
berbagai posisi sosial manusia yang lain.


Dengan cara inilah, Rasulullah sukses dalam mengkader
sahabat-sahabatnya. Islam menampilkan keteladanan sebagai sarana da’wah dan
tarbiyah yang paling efektif. Sehingga Islam menetapkan sistem tarbiyah yang
kontinyu atas dasar prinsip keteladanan tersebut. Sesungguhnya, kebaikan amal
seorang da’i adalah khutbah yang paling mantap. Akhlaknya yang mulia adalah
“sihir” yang memikat hati. Karena itulah, seorang da’i yang sukses adalah
da’i yang mengajak kepada kebenaran dengan perilakunya, meskipun dia sedikit
bicara. Karena pribadinya telah menjadi contoh yang hidup dan bergerak.
Memperagakan prinsip-prinsip yang diyakininya.


Munculnya gejala penurunan kualitas kader sekarang ini sangat
mungkin disebabkan karena lemahnya keteladanan yang ditampilkan para du’at dan
para pemimpin. Mereka tidak bisa belajar secara langsung tentang kebaikan dari
da’i dan pemimpinnya. Atau bahkan mereka dikacaukan dengan perilaku
kontradiktif dari da’i dan pemimpinnya.


Untuk itu, apapun upaya peningkatan kualitas kader yang kita
lakukan, pada akhirnya harus disempurnakan dengan keteladanan dan kepemimpinan
yang baik dari para murabbi dan da’i. Kita tidak berhak menggugat kader yang
lemah kualitasnya, selama kita sendiri belum mampu mengajarkan dan menunjukkan
mereka tentang keteladanan.


Agenda 3: Mengembangkan Iklim Taushiyah


Ketika kita bekerja untuk menyiapkan kader berkualitas dalam
jumlah banyak, langkah penting selanjutnya adalah melakukan ri’ayah
nukhbawiyah
(pemeliharaan kader). Ri’ayah ini mencakup aspek syakhsiyah
Islamiyah dan syakhsiyah da’iyah mereka, sehingga kehidupan da’wah ini terus
sehat dan kuat.


Tentu saja banyak cara yang bisa dilakukan untuk ini, salah
satunya adalah mengembangkan iklim atau budaya taushiyah. Masyarakat mu’min
diantara cirinya adalah kuatnya budaya taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar.
Mereka memandang hal ini sebagai kebutuhan untuk menjaga kebaikan Islam. Juga
sebagai hak-kewajiban seorang mu’min atas mu’min lainnya. Dan lebih penting,
ini merupakan salah satu misi da’wah Islam.


Dalam sejarahnya, kehancuran umat terdahulu karena mereka tidak
mengembangkan iklim taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar. Bisa jadi hal ini
bukan karena kebodohan mereka terhadap ajaran agama, tetapi karena kungkungan
budaya tertentu. Misalnya sikap pakewuh bila menegur orang lain, terutama yang
status atau derajat sosialnya dianggap lebih tinggi. Atau rasa tidak enak hati
akan menyinggung perasaan orang lain. Sikap-sikap ini akan menggiring untuk
membiarkan kesalahan yang terjadi pada saudara kita. Kalau hal ini terus
berlangsung, maka sensitifitas kita terhadap kemunkaran yang terjadi dalam
kehidupan da’wah bisa lenyap. Inilah pintu malapetaka yang nyata bagi da’wah.


Ada banyak jalan untuk mengembangkan iklim ini. Yang paling
mendasar adalah menghidupkan kembali suasana ukhuwah Islamiyah di kalangan kader.
Manakala interaksi ukhowi hidup dengan baik, sesama kader saling menjalin
silaturahim dan berbagai bentuk mu’amalah lainnya, ini akan membuat seorang
akh mengenal betul keadaan saudaranya yang lain. Semakin kenal kita dengan
saudara yang lain, semakin tahu akan kebaikan atau kekurangannya. Di sinilah
peluang amal shalih untuk melakukan taushiyah terbuka. Tabi’atnya, seseorang
merasa lebih nyaman dan lapang, manakala yang memberi taushiyah adalah orang
yang dekat dengannya.


Kemudian, peran taushiyah yang dilakukan setiap murabbi. Yaitu
bagaimana seorang murabbi menjadikan liqa’ tarbawi sebagai sarana efektif
untuk mentaushiyah para mutarabbinya. Nasehat-nasehat yang diberikan sesuai
dengan dinamika dan persoalan kehidupan mereka. Sehingga para mutarabbi
senantiasa terbimbing untuk istiqamah di jalan Islam. Untuk itu, interaksi
antara murabbi dan mutarabbi tidak bisa sebatas di dalam liqa’at semata.
Interaksi yang lebih personal di luar waktu liqa’at menjadi penting, agar
kedua belah pihak lebih saling mengenal. Ingatlah dien itu adalah nasehat.


Terakhir adalah peran jajaran qiyadah di semua jenjang. Ketika
memimpin rapat, mereka adalah qaid yang memiliki otoritas untuk
mengontrol dan mengarahkan perilaku bawahannya. Taushiyah seorang pemimpin yang
disampaikan secara bijak dan penuh ungkapan kasih-sayang, bukan saja akan
meluruskan orientasi dan proses kerja. Tetapi juga akan menguatkan soliditas
organisasi. Karena orang-orang di dalamnya tidak semata merasa terikat secara
administratif, tapi juga dengan ikatan hati. Sehingga menjadi sangat penting dan
mendesak, jajaran pemimpin da’wah - khususnya yang ada di basis operasional -
untuk mengokohkan peran kepemimpinan spiritualnya. Dan jangan terjebak sebatas
kepemimpinan administratif, yang fungsi dan peran kepemimpinannya hanya muncul
saat liqa’at tanzhimiyah saja.


Dalam konteks kepemimpinan organisasi, perlu disediakan saluran
agar antara pemimpin dan anggota-anggota organisasinya di setiap jenjang bisa
bertemu dan membicarakan hal-hal penting secara bersama-sama. Di sini,
disampaikan perkembangan dan permasalahan da’wah yang perlu diketahui para
anggota. Dan jajaran pemimpin menghimpun masukan sebanyak-banyaknya dari para
anggota. Setiap anggota berhak untuk menyampaikan kritikan, uneg-uneg dan
sejenisnya secara terbuka dan konstruktif dalam forum ini. Format acara ini bisa
berbentuk temu kader tingkat ranting, tingkat cabang, dan seterusnya.


Apabila iklim taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar hidup
dengan baik di semua lini, Insya Allah kehidupan da’wah ini akan selalu sehat
dan kuat. Karena setiap potensi dan gejala penyakit bisa diantisipasi dengan
cepat secara spontan. Menumpuknya masalah yang mengganggu tanzhim da’wah
biasanya akibat tidak hidupnya iklim ini, sehingga semua persoalan harus
ditanggung oleh tanzhim. Perhatikan firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian
yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar. Mendirikan
sholat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maja
Bijaksana.”
(QS. 9:71).

No comments: