Hassan Al-Banna dan kondisi Mesir pada masa hidupnya
Hassan Al-Banna (1906-1949) adalah seorang tokoh yang fenomenal. Karena banyak pakar-pakar dalam studi islam kontemporer menilai dirinya sebagai pelopor dari gerakan-gerakan islam modern. Hal ini dilihat dari pergerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikannya, pemikiran-pemikiran dan sistem pengkaderan dari gerakan ini banyak diadopsi oleh berbagai organisasi dan gerakan-gerakan dan organisasi Islam kontemporer misalnya parta FIS di Aljazair, Partai Keadilan di Indonesia, IIIT di Amerika, MSA ( Muslim Student Association) di berbagai perguruan tinggi di Amerika, PAS di Malaysia, Partai Refah di Turki, demikian pula dengan cabang-cabang Ikhwanul Muslimin di negara lain, seperti di Yordania, dan di Sudan. Kebanyakan dari gerakan-gerakan tersebut menunjukkan eksistensi pada wilayah politik kenegaraan, hal ini tidak bisa dilepaskan dari konsep pemikiran gerakan tersebut (Ikhwan) dimana konsep ini sebagian besarnya dicanangkan oleh pendiri gerakan tersebut (Hassan Al-Banna), meskipun dalam perkembangannya terjadi beberapa perubahan dalam pemikiran gerakan ini. Gerakan Ikhwanul Muslimin ini sendiri diakui telah berhasil membendung arus sekularisme di Mesir, meskipun pada akhirnya gerakan ini dihancurkan pemerintah Mesir pada tahun 1960-an namun ketika gerakan ini dihancurkan, justru memberi kesempatan bagi para tokohnya yang keluar dari negara Mesir untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran ini di negara tempat mereka bernaung, dan hasilnya dapat dilihat dari kesamaan-kesamaan pemikiran yang tercermin pada gerakan-gerakan politik yang telah disebut sebelumnya, pemikiran yang menyatukan antara konsep islam dan negara (din wa daulah).
Mesir dan dunia islam, pada masa kecil Hassan Al-Banna tengah mengalami pergolakan yang luar biasa, hal tersebut secara tidak langsung telah mempengaruhi pola pikir dan pandangan beliau mengenai politik kenegaraan. Adapun beberapa kejadian tersebut adalah :
a. Revolusi Nasional Mesir pada tahun 1919. Dimana pada masa tersebut beliau termasuk pelajar yang paling dikenal di kalangan demonstran. Beliau mengatakan
“Meski sibuk bergelut dengan dunia tasawuf dan ibadah, aku berkeyakinan bahwa berbakti kepada negara merupakan jihad yang tidak bisa ditawar lagi. Maka sesuai dengan akidah dan kapasitasku sebagai pelajar – dia adalah tokoh pelajar terkemuka – aku bertekad akan melaksanakan peranan yang nyata dalam pergerakan-pergerakan ini”[1].
Runtuhnya Khilafah Islamiyah tahun 1924. Dimana dalam usaha-usaha untuk membangun khilafah islamiyah al-Banna ikut serta di dalamnya. Dalam Tarikh Al-Ikhwan Al-Muslimun Dr Muhammad Immarah mengatakan
“ Setelah usaha dan harapan untuk membangun kembali khilafah islamiyah pupus .. para ulama dan pemikir ternama pada 1345 H / 1927 M. berinisiatif untuk menggelar konferensi di Kairo yang menghasilkan berdirinya jam’iyah Asy-Syubban Al-Muslimiin (Organisasi Pemuda Muslim) dan pada tahun berikutnya tahun 1346 H. / 1928 M., Imam Syahid Hassan Al-Banna mendirikan Jamaah Al-Ikhwan Al-Muslimun sebagai sebuah organisasi massa pertama bagi tren penghidupan dan pembaharuan Islam masa modern. Imam Al-Banna lah yang turut serta dalam konferensi pendirian Asy-Syubbanul Al-Muslimun.[2]
Mengenai khilafah ini Al-Banna menyatakan
“ Al- Ikhwan Al-Muslimun berkeyakinan bahwa khilafah adalah simbol persatuan islam sekaligus lambang persaudaraan antar berbagai negara Islam. Khilafah adalah sebuah syiar Islam yang harus dipikirkan keberadaannya serta diperhatikan oleh kaum Muslimin. Khilafah banyak sekali berhubungan dengan hukum-hukum dalam ajaran agama Allah. Oleh karenanya para sahabat Nabi SAW lebih mendahulukan urusan khilafah daripada mengurus jenazah Nabi SAW dan menguburkannya sehingga mereka menyelesaikan masalah dalam kekhilafahan ini. Berbagai hadits yang menceritakan tentang wajibnya mengengkat seorang imam dan menjelaskan hukum tentang kepemimpinan dan segala hal yang berhubungan dengan hal ini tidak menimbulkan ruang sedikitpun untuk keraguan bahwa tugas kaum Muslimin adalah memperhatikan urusan khilafah mereka setelah khilafah tersebut dialihkan jalannya dan ditumbangkan untuk selamanya”[3]
Bila dilihat dari segi pemikiran, maka pemikiran dari Hassan Al-Banna sendiri dapat digolongkan kepada pemikiran revivalis / modernisme islam yang merupakan respon dari kemerosotan ummat islam dan merajalelanya imperialisme barat pada waktu itu. John L Esposito membedakan respon ummat islam ini kepada tiga bagian, yang pertama yaitu respon yang menyalahkan tradisi keislaman kuno yang kaku sehingga menerima sekularisasi agar dapat menjadi bangsa yang modern seperti barat. Yang kedua adalah respon dari pemimpin agama konservatif yang responnya lebih kepada isolasi, non-kooperatif dan juga penolakan total kepada barat. Yang ketiga, dimana pemikiran Al-Banna dapat digolongkan ke wilayah ini, adalah modernisme islam, yaitu pemikiran yang menyatakan perlunya reformasi islam. Pemikiran ini menyalahkan kemerosotan internal masyarakat muslim, impotensi, kemunduran mereka, serta ketidakmampuan mereka untuk menjawab tantangan kolonialisme Eropa dengan cara taklid (mengikuti sepenuhnya tanpa pemahaman) buta kepada masa lalu. Para reformis ini menekankan pada semangat, keleturan, dan keterbukaan yang menjadi ciri khas awal perkembangan Islam. Modernisme Islam adalah suatu proses otokritik internal, suatu perjuangan untuk mendefinisikan kembali Islam guna menunjukkan relevansinya dengan situasi-situasi baru yang melingkupi muslim ketika masyarakat mereka dimodernisasikan. Tokoh dari pemikiran ini di antaranya adalah Jamaluddin al-Afghani dan muridnya yang tersohor yaitu Muhammad Abduh lalu diteruskan oleh Rasyid Ridla[4]. Nama yang terakhir ini yang memiliki pengaruh langsung pada Hassan Al-Banna, dikarenakan majelis-majelisnya yang dihadiri oleh Hassan Al-Banna, dalam sejarahnya majalah Al-Manar yang dipimpin oleh Rasyid Ridha ini diserahkan pengelolaannya kepada Al-Banna, setelah ia meninggal dunia. Pemikiran Rasyid Ridha memiliki perkembangan yang sedikit berbeda di antara kedua pendahulunya dimana orientasi pemikirannya lebih berhati-hati dengan term modernisme ini, dan lebih dekat kepada ulama, ia lebih cenderung menekankan pada keswasembadaan dan kelengkapan islam, dimana para pembaharu musim tidak perlu melihat ke Barat, tapi cukup merujuk pada sumber-sumber islam yaitu Quran, Sunnah Nabi, dan Ijtihad para sahabat nabi. John L Esposito menggolongkan hal ini sebagai revivalisme abad ke 18, ia langsung menarik hubungan pemikiran ini secara langsung kepada pemikiran Al-Banna. Esposito mengatakan “ .... mempengaruhi pemikiran dan falsafah ideologis Hassan Al-Banna (1906-1949), pendiri Ikhwanul Muslimin Mesir ...”[5]. Dapat disimpulkan substansi dari pemikiran modernisasi ini adalah menunjukkan konsep kesempurnaan islam, berdasarkan sumber-sumbernya, dan relevansinya dengan masyarakat yang modern, menunjukkan bahwa konsep yang terbaik bagi masyarakat modern iu sebenarnya sudah terdapat pada sumber-sumber islam, sehingga untuk memperbaiki kondisi ummat islam adalah dengan berpedoman dengan sumber-sumber islam yang murni. Pembahasan pemikiran Al-Banna nanti akan menunjukkan lebih jelas pemikiran ini.
Majmuatur Rasa’il dan risalah Nizhamul Hukam
Semasa hidupnya Al-Banna jarang sekali menulis buku yang mewakili pemikirannya. Hal ini selaras dengan ucapannya ketika ditanya mengenai hal ini bahwasannya ia tidak menulis buku, tapi mencetak kader-kader generasi penerus. Akan tetapi warisan dari pemikirannya ini terdokumentasikan melalui publikasi-publikasi yang dibuatnya di berbagai macam majalah milik ikhwanul muslimin, ataupun di media lain. Oleh para penerusnya dalam gerakan Ikhwanul Muslimin, risalah-risalah yang penting yang mencerminkan pemikiran Al-Banna tentang gerakan Islam (Ikhwan) dikumpulkan dalam sebuah buku / kitab yang disebut dengan Majmua’tur Rasa’il Imam Syahid Hassan Al-Banna. Risalah-risalah dalam kitab ini sering dirujuk oleh para penerus-penerusnya yang mengadopsi pemikirannya. Beberapa risalah yang penting dalam kumpulan risalah ini diantaranya risalah ta’lim yang memuat konsep pokok dari gerakan ikhwanul muslimin yang masih dipakai hingga sekarang, yang didalamnya terdapat pandangan bahwa islam adalah sistem hidup yang menyeluruh. Risalah yang menyinggung secara detail tentang konsep kenegaraan dan ketata negaraan secara khusus adalah risalah Nahwa An-Nur, yang merupakan surat kepada penguasa Mesir pada saat itu, dan juga risalah Nizhamul Hukam yang memberikan pandangan tentang sistem pemerintahan menurut Islam, dan beberapa pandangan Al-Banna tentang ketatanegaraan Mesir pada saat itu.
Pemikiran Al-Banna tentang Islam dan Politik (Negara)
Secara gamblang konsep pokok yang dipahami Al-Banna tentang lingkup dari ajaran Islam dapat dilihat dalam risalah ta’lim, risalah yang ditujukan khusus kepada mujahidin ikhwan sebagai suatu perintah yang harus diamalkan, pada rukun bai’at ke satu tentang pemahaman (al-fahmu) yang memuat tentang dua puluh pokok pemahaman islam (ushul isyrin) yang wajib dipahami oleh anggota ikhwan, pasal 1 yang berbunyi :
“Islam adalah sistem yang syamil (menyeluruh), mencakup seluruh aspek kehidupan. Maka ia adalah negara dan tanah air atau pemerintahan dan ummat, moral dan kekuatan, atau kasih sayang dan keadilan, wawasan dan undang-undang, atau ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam atau penghasilan dan kekayaan, serta jihad dan dakwah atau pasukan dan pemikiran. Sebagaimana juga ia adalah akidah yang murni dan benar, tidak kurang tidak lebih”[6]
Penjelasan ini sebenarnya merupakan substansi dari islam itu sendiri, hanya saja Al-Banna menjelaskan lingkupnya dengan lebih detail. Beberapa sarjana Islam sendiri membuat beberapa pengelompokan tentang lingkup ajaran islam. Syaikh Mahmud Syaltut menggolongkan lingkup ajaran Islam kepada Aqidah dan Syariah, yang menjadi judul dalam kitab karangannya. Prof Muhammad Daud Ali S.H. membagi lingkup Islam kedalam tiga hal yaitu akidah (iman, keyakinan), syariah (hukum), dan akhlak yang mengatur segala tingkah laku manusia dalam berbagai hubungan, baik hubungan manusia dengan Tuhannya maupun hubungan manusia dengan dirinya sendiri, masyarakat, benda atau makhluk lainnya[7]. Bila dilihat dari pengertian ini maka jelaslah bahwasannya ruang lingkup dari Islam itu sendiri tidak memungkinkan untuk tidak menyentuh lingkup politik dan negara. Hal ini juga terkait dengan aturan dalam islam itu sendiri yang mengatur urusan-urusan yang memerlukan kekuasaan sebagai pelaksananya.
Adapun mengenai negara (pemerintahan), dalam Nizhamul Hukam Al-Banna menyatakan :
“Islam yang hanif ini mengharuskan pemeintahannya menjadi salah satu penegak dari beberapa penegak sistem sosial yang hadir untuk umat manusia. Islam tidak mentolerir kekacauan, dan tidak membiarkan umat Islam hidup tanpa pemimpin. Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabatnya “ Jika engkau berada di suatu negeri yang tidak ada kepemimpinan di dalamnya, maka tinggalkan negeri itu. “ Dalam hadits lain Rasul bersabda “ Jika kalian bertiga, angkatlah salah seorang diantara kalian sebagai pemimpin.”[8]
Pernyataan al-Banna ini sesungguhnya merupakan intisari dari fatwa Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Fatawa dalam bahasan mengenai Siyasah Syari’yyah bab Urgensitas Pemerintahan yang diantaranya mengatakan, setelah mengutip hadits yang telah disebutkan di atas,
“ Nabi mewajibkan supaya mengangkat seseorang sebagai pemimpin dalam komunitas kecil yang sedang dalam perjalanan, sebagai peringatan tentang perlunya perkara ini dalam segala macam perkumpulan. Apalagi karena Allah mewajibkan amar ma’ruf dan nahi munkar, dan kewajiban tersebut tidak akan sempurna melainkan dengan kekuatan dan pemerintahan. Demikian pula seluruh yang diwajibkan Allah, seperti jihad, keadilan, menyelenggarakan haji dan Jum’at serta hari raya, membela pihak yang dizalimi dan melaksanakan hudud, tidak akan terwujd melainkan dengan kekuatan dan pemerintahan. Karena itu diriwayatkan bahwa : “Penguasa itu adalah naungan Allah di bumi.” Dikatakan pula : “60 tahun dipimpin oleh pemimpin yang durhaka itu lebih baik daripada sehari tanpa seorang pemimpin.” Dan pengalaman menunjukkan demikian”[9].
Majid Khadduri mengutip pendapat dari Ibnu Khaldun, seorang sejarawan islam yang mengarang kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah yang berisi konsep kenegaraan dalam islam, tentang konsepsi negara dan masyarakat, dalam penjelasannya yang cukup panjang bahwa manusia itu memerlukan kerjasama dan kekuatan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Dan agar kekuatan tersebut juga tidak bertentangan satu sama lain maka dibutuhkan suatu kekuatan yang mengatur itu semua
“ ... There must exist accordingly a restraining force ... which must be sought from one man who will be entrusted with power and authority so that no longer will an individual be attacked by another. This is what implied in the term mulk (sovereignity or statehood) which exist by nature in man and is necessary for his existence”[10]
Roger H Soltau memberikan definisi tentang negara : “Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat”[11]
Adapun teori tentang bentuk suatu entitas yang dapat dinamakan negara, maka hal tersebut sangatlah liquid dalam artian teori tentang tersebut terus berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, yang dalam abad ini kita memandang konsep negara sebagai suatu nation state (negara bangsa), namun fungsi negara yang pokok sebagaimana telah dijelaskan diatas tetaplah melekat pada entitas yang bernama negara.
Dari pengertian-pengertian di atas dengan jelas dapat kita mengerti bahwasannya Islam dalam pemahaman Al-Banna sangatlah terkait dengan fungsi negara atau pemerintahan sebagai suatu entitas yang memiliki kekuatan dan wewenang, yang diberikan oleh masyarakat (ummat), untuk mengatur urusan-urusan yang berlaku di antara manusia, termasuk menegakkan syariat. dalam salah satu risalahnya ia mengutip perkataan dari Utsman bin Affan ra “Sesungguhnya Allah mencegah dengan kekuasaan sesuatu yang tidak bisa dicegah degnan Al-Quran”[12]
Tiga Pilar dalam Sistem Pemerintahan Islam dalam risalah nizhamul hukam
Dalam risalah Nizhamul Hukam Al-Banna membagi tiang-tiang penyangga pemerintahan islam ke dalam tiga hal yaitu :
1. Tanggung Jawab Pemerintah
Yang dimaksud dengan tanggung jawab pemerintah adalah bahwasannya dalam menjalankan tugasnya pemerintah bertanggung jawab kepada Allah dan rakyatnya. Ia adalah pelayan dan pekerja bari rakyat yang menjadi tuannya. Rasulullah SAW bersabda “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya”.
Al Banna Mengutip pernyataan Abu Bakar ra “ Wahai sekalian manusia, aku dulu bekerja untuk keluargaku. Akulah yang menghasilkan makan buat mereka. Namun, kini aku bekerja untuk kalian, maka bayarlah aku dari Baitul Maal kalian”. Selanjutnya ia menerangkan bahwasannya ungkapan tersebut memberikan penafsiran paling baik dan paling adil terhadap teori kontrak sosial antara pemerintah dan rakyatnya. Bahkan Abu Bakar ra telah meletakkan dasar-dasarnya bahwa kontrak antara rakyat dengan pemerintah adalah sama-sama terikat untuk memelihara kepentingan bersama. Jika ditunaikan dengan sebaik mungkin ia berhak mendapat pahala. Sebaliknya jika tidak, sanksi hukuman telah siap menanti.[13]
Pengertian ini bersesuaian dengan teori perjanjian dalam ilmu negara, yang membahas tentang mengapa manusia bersepakat untuk membuat suatu perjanjian bersama untuk membentuk suatu masyarakat untuk membentuk suatu negara, ada beberapa teori terkait perjanjian ini[14] :
dimulai dari teori yang berasal dari Cicero yang lingkupnya sangat perdata sekali, bahwasannya negara itu dibentuk untuk melakukan hak milik oleh karena itu diadakan perjanjian yang sifatnya timbal balik.
teori Hobbes, bahwasanya perjanjian tersebut dilakukan karena kekhawatiran pada tiap manusia / individu yang mendorong mereka untuk melakukan suatu perjanjian penyerahan kekuasaan (pactum subjectionis) kepada yang lebih dari mereka sehingga rasa takut mereka akan hilang.
Teori dari John Locke dimana perjanjian di lakukan untuk melindungi hak-hak azasi setiap orang dan diperlukan adanya suatu perjanjian penyerahan kekuasaan. Dan badan yang diserahkan kekuasaan tersebut haruslah netral untuk menjamin kepentingan semua orang. Teori John Locke ini membenarkan sistem monarki / kerajaan
Teori dari Rosseau yang dengan perjanjian masyarakat tersebut hendak mencegah atau menghapuskan sama sekali kekuasaan yang mutlak dari raja
Semua teori di atas adalah teori yang dibuat untuk membenarkan penguasa pada zaman mereka, kecuali Rosseau yang justru ingin membatasi. Dalam konsep islam yang murni, tanpa terkontaminasi pemikiran-pemikiran barat di atas. Penyerahan kekuasaan melalui perjanjian (yaitu dengan bai’at) justru telah terjadi dengan nyata / konkrit. Dan terdapat kaidah-kaidah langsung dari syariat yang mengatur bagaimana ketaatan yang seharusnya dilakukan. Hal inilah yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Quranul Azhim ketika menafsirkan ayat 59 Surat An-Nisaa tentang keharusan menaati Allah, menaati rasulNya dan Ulil Amri. Bahwasannya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Khaliq, taat dalam hal yang ma’ruf. Dalam tafsir tersebut Ibnu Katsir menjelaskan asbabun nuzul dari ayat ini terkait dengan Abdullah bin Hudzaifah bin Qais bin Adi tatkala ia diutus oleh Rasulullah SAW dalam suatu pasukan. Dimana pemimpin pasukan tersebut memerintahkan pasukannya untuk mentaati perintahnya untuk masuk ke dalam api yang dibakar di atas kayu bakar. Kemudian pemuda yang berada di pasukan tersebut enggan mentaatinya kecuali setelah menanyakan kepada Rasulullah, maka Rasulullah mengatakan “apabila kalian memasukinya niscaya kalian tidak pernah keluar lagi untuk selama-lamanya, sesungguhnya ketaatan itu hanya mencakup kema’rufan”, hadits tersebut terdapat dalam shahihain.[15]
Pemaparan di atas menjelaskan bahwa terjadinya penyerahan kekuasaan melalui perjanjian (bai’at) dari rakyat kepada penguasa / pemerintah, tidaklah membenarkan kesewenangannya, justru ia terikat oleh tanggung jawab, terhadap pihak yang memberikan bai’at untuk melayani mereka, dan bagi yang telah memberikan urusan dirinya (yang berbai’at) maka ia hanya terikat ketaatan selama hal tersebut tidak melanggar hal-hal yang ma’ruf. Apabila diperintahkan untuk melakukan kerusakan maka boleh untuk tidak taat dan berlepas diri dari hal tersebut. Inilah yang dimaksud oleh Al-Banna sebagai penafsiran yang paling baik terhadap teori kontrak sosial.
2. Kesatuan Ummat
Kemudian yang dimaksud Al-Banna dengan kesatuan ummat adalah bahwasannya pemerintah dalam bertindak dan mengambil kebijakan haruslah menjaga kesatuan ummat. Bukan justru diartikan sebagai semuanya harus mengikuti apapun kata penguasa / elit tanpa reserve. Karena dalam islam justru terdapat praktek memberi nasihat amar ma’ruf nahi munkar. Al-Banna mengutip hadits Rasulullah [16]:
Rasulullah bersabda “Agama itu nasihat” mereka bertanya bagi siapa wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan kalangan umum mereka”
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang berdiri di hadapan pemimpin durjana dengan memerintahnya (berbuat ma’ruf) dan melarangnya (dari perbuatan mungkar), kemudian ia dibunuh”
Dalam penjelasan mengenai kesatuan ummat ini Al-Banna juga menjelaskan mengenai perbedaan, bahwasannya tidak ada perbedaan prinsip / hal yang pokok dalam islam, tetapi dalam hal-hal yang sifatnya cabang (furu’) perbedaan itu diperbolehkan dengan tetap menjaga bingkai persatuan. Al-Banna mengatakan “ Yang ada adalah keharusan risat, kajian, musyawarah, dan saling menasihati. Jika termasuk pada hal yang telah dinashkan maka pintu ijtihad tertutup. Sedangkan bila tidak dinashkan, maka keputusan pemerintah harus menyatukan umat. Namun ketentuan kedua terlaksana setelah ketentuan pertama.”[17]
3. Sikap menghargai aspirasi rakyat
Mengenai menghargai aspirasi rakyat, al-Banna menjelaskan :
“Di antara hak umat Islam adalah mengawasi roda pemerintahan sedetail mungkin dan aktif bermusyawarah berkenaan sesuatu yang dipandang baik. Sedangkan kewajiban pemerintah adalah bermusyawarah dengan rakyat, menghargai aspirasinya, dan mengambil masukan-masukan yang baik. Allah swt. telah memerintahkan kepada pemerintah agar melakukan hal itu “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran : 159). Bahkan, Allah memuji kaum muslimin yang mau bermusyawarah sebagai muslimin yang baik. “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka” (Asy-Syura : 38)
Masalah ini juga ditegaskan Sunnah Rasulullah SAW dan Khaulafur Rasyidin. Di mana ketika muncul suatu masalah, mereka mengumpulkan para ahli dari kaum muslimin, bermusyawarah, dan mengambil pendapat yang benar dari mereka. Lebih dari itu, para khalifah mengajak dan menganjurkan kaum muslimin untuk (berpegang) pada pendapat yang benar tadi. Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, “Jika kalian melihat aku di atas kebenaran, maka dukunglah (untuk melaksanakannya), dan jika kalian melihatku dalam kebatilan, maka betulkan dan luruskanlah.” Umar bin Khatthab berkata “ Siapa saja yang melihatku menyimpang, maka luruskanlah.” ...
Prinsip di atas sejalan dengan nilai-nilai yang terdapat demokrasi, atau lebih tepat dikatakan bahwa konsep demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang dikatakan oleh Abraham Lincoln, adalah bersesuaian dengan nilai-nilai islam yang mengatur tentang masalah ini. Dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dilaksanakan secara langsung oleh mereka, atau oleh wakil mereka yang terpilih dalam sistem pemilu yang bebas. Karenanya sistem ini, meniadakan kekuasaan yang bersifat autokrasi, otoritarian, zalim, diktator, tirani, totalitarian, monarki, oligarki, plutokrasi, aristokrasi, dan kesultanan[18]. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat ketika menafsirkan kekuasan tertinggi berada di tangan Allah, padahal Islam hanya memberikan hak tasyri’ hanya di tangan Allah semata, bukan di tangan rakyat. Terhadap masalah ini maka kita harus memandang bahwasannya demokrasi haruslah dipandang bukan sebagai konsep yang ideal, bahwasannya memang haram bagi rakyat untuk melakukan perbuatan mengganti syariat. Namun justru konsep bahwasannya pemerintah harus memperhatikan aspirasi dari rakyat adalah suatu hal yang memang diatur dalam islam. Oleh karena itu demokrasi sebenarnya dapat saja berjalan dalam suatu masyarakat islam yang benar dalam artian demokrasi tersebut dijalankan oleh masyarakat yang berhukum dengan hukum Allah, sehingga ketika mereka menyelenggarakan kekuasaan di tangan mereka yang menjadi pijakan adalah hukum Allah / syariat islam. Inilah juga yang menjadi pijakan dalam fatwa Dr.Yusuf Al-Qaradhawi tentang islam dan demokrasi :
“Perlu diingat bahwa kita sedang membicarakan demokrasi dalam masyarakat muslim, yang mayoritas adalah orang-orang yang mengerti dan mengetahui, beriman dan bersyukur. Kita tidak sedang membicarakan masyarakat ateis atau masyarakat yang telah tersesat dari jalan Allah”[19]
Atau dapat juga dikatakan bahwa demokrasi disini adalah demokrasi secara prosedural saja. Yang diutamakan dari prinsip yang terakhir ini adalah bagaimana penguasa wajib memperhatikan aspirasi rakyat, dan rakyat pun berhak untuk meluruskan penguasa. Karena sesungguhnya pemerintahan tirani tidak hanya lahir dari kemauan mereka sendiri melainkan dari kondisi rakyatnya juga yang tunduk kepada mereka dan tidak melakukan fungsi kontrol atas pemerintahan mereka.
Sesungguhnya ketentuan-ketentuan di atas tidak akan terpenuhi juga apabila ummat islam tidak memiliki pemahaman dan penghayatan yang baik mengenai nilai-nilai islam, hal ini terkait dengan keimanan. Oleh karena itu Al-Banna sendiri mengingatkan bahwasannya hal tersebut (ketiga kaidah d atas) tidak dapat terpelihara tanpa kehadiran nurani yang selalu terjada dan perasaan yang tulus akan kesucian akan ajaran ini. Dalam bagian awal risalah Nizhamul Hukam al-Banna telah menegaskan
“Daulah Islamiyah tidak akan tegak kecuali berdiri di atas pondasi dakwah, sehingga ia menjadi negara risalah bukan hanya sekedar bagan struktur dan bukan pula pemerintahan yang materialistis, yang jumud, pasif, tanpa ruh di dalamnya. Demikian Pula dakwah tidak mungkin tegak kecuali jika ada jaminan perlindungan yang akan menjaga, dan mengokohkannya.[20].
Maksud dari perkataan ini adalah bahwasanya ketiga kaidah yang disebutkan di atas haruslah disokong oleh pemahaman dan penghayatan islam yang benar dari tiap individu, sebagaimana sistem yang benar juga akan mendukung setiap individu untuk memahami dan menghayati islam secara benar.
Kaidah-kaidah yang disebutkan oleh Al-Banna sebenarnya makin menegaskan bahwasannya konsep bernegara dalam islam sangat jauh dari kediktatoran. sebaliknya ia justru merupakan sistem yang sangat terbuka yang menghargai aspirasi rakyat, dan pemerintah memiliki tanggung jawabnya sendiri, di dunia maupun di akhirat, atas amanah kepemimpinan tersebut. Hal ini juga menegaskan bahwa islam tidak sejalan dengan sistem Teokrasi dimana raja / penguasa dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi, namun justru mengedepankan prinsip supremasi hukum, dengan hukum Allah sebagai hukum satu-satunya dan yang tertinggi. Sedangkan hukum Allah (yang terdapat dalam al-Quran dan sunnah) itu sendiri melarang penguasa bertindak sewenang-wenang, dan memberikan ruang yang luas bagi partisipasi rakyat mengontrol dan memberi masukan kepada pemerintahan, disamping mewajibkan mereka untuk mendukung hal-hal yang ma’ruf.
Mengutamakan Prinsip Dibandingkan Bentuk
Al-Banna mengatakan dalam Nizhamul Hukam
“Sistem Islam dalam makna ini tidak mementingkan bentuk atau nama. Selama kaidah-kaidah pokok tadi terealisasikan, di mana tidak mungkin suatu hukum akan tegak tanpanya dan selama diterapkan secara tepat hingga dapat menjaga keseimbangan yang masing-masing bagian tidak mendominasi bagian yang lain ....”[21]
Pendapat Al-Banna ini menegaskan bahwasannya yang harus menjadi patokan adalah kaidah-kaidah dalam menjalankan negara / aktivitas pemerintahan, bukanlah bentuk formal dari praktek kenegaraan islam yang pernah dijalankan di masa terdahulu seperti kesultanan, kerajaan, ataupun kekhalifahan. Walaupun sebenarnya Al-Banna menetapkan standar yang berbeda untuk masalah kekhalifahan, bahkan ia menjadikan khilafah adalah sesuatu yang harus diperjuangkan oleh seluruh ummat islam. Hal ini (pandangan al-Banna tentang khilafah) telah dijelaskan sebelumnya dalam tulisan ini.
Majid Khadduri mengatakan dalam tulisannya :
“It is to be noted that in Judaism, Christianity, and Islam God never had been regarded as the immediate ruler of his subjects; only his representatives (vicegerents) on earth were the real executives. Hence the divine law (or a sacred code), regarded as the source of governing authority, was the essential feature in the proccess of control under these systems. The Law, it will be recalled, procedes the state: it provides the basis of the state. It is therefore not God, but God’s law which really governs; and as such, the state should be called nomocracy, not theocracy. The Oxford dictionary defines nomocracy as “a system of government based on a legal code; the rule of law in a community.” Since the Israelite, Christian and Islamic states was based on divine legal orders, it follows that their systems might be called divine nomocracies
Was the Islamic state a national or universal nomocracy ? At the basis of this argument is the issue whether the appeal of Muhammad was to the Arabs alone or to the world at large. While scholars still diffier on this point, it would be seem that since the state was the instrument to enforce God’s new covenant, replacing all others, both Islam and Islamics State, therefore, were necessarily designed for the world and not for the Arabs alone. Some of the quranic injuctions may have emphasized certain Arabs characteristics (and indeed Muhammad’s urgent problem often forced him to compromise with Arab traditions) but the legal prerequisites for a universal state were already recognized in the Qur’an, such as equality of all races before God, and the common allegiance of all believers to one head of the state.[22]
Bila melihat penjelasan Khadduri di atas maka dapat dilihat bahwasannya sistem pemerintahan dalam agama-agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) pada dasarnya menganut sistem Nomokrasi (nomo = norma, krasi =pemerintahan), artinya pemerintahan tersebut berjalan berdasarkan hukum / norma , dalam hal ini hukum / norma tersebut berasal dari Allah. Bukan penguasa yang menjadi otoriter untuk bertindak atas nama tuhan, yang kemudian diterjemahkan sebagai teokrasi, namun penguasa menjalankan negara berdasarkan hukum Allah, yang berisi kaidah-kaidah pokok. Kaidah inipun berlaku bagi setiap manusia dan bangsa, sebagaimana yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an itu sendiri.
Ada beberapa catatan yang harus diberikan terhadap pemikiran Khadduri dan juga Al-Banna (bila hal yang dimaksud dalam pemikiran mereka adalah sama), bahwasannya meskipun kaidah-kaidah syariat dalam Islam memang telah Allah jadikan demikian fleksibel, namun ada beberapa aturan yang memang Allah tetapkan secara pasti, meskipun hal tersebut mungkin bukan termasuk hal yang pokok / terkait dengan akidah. Hal ini terkait dengan ketentuan hudud, karena hudud memang telah ditentukan bagaimana hukuman yang harus diberikan dalam Al-Quran, seperti orang yang berzina harus dicambuk, masalah qishas, dsb. Untuk hal ini maka pemerintahan islam harus menjalankannya dengan tegas, jika tidak maka pemerintahan tersebut adalah zalim. Allah berfirman :
“Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (Al-Maidah : 45)
Ayat ini meskipun menyinggung tentang ahli kitab (kaum Yahudi) , tetapi juga ditujukan kepada kaum muslimin dan seluruh manusia.[23]
Pandangan Terhadap Sistem Pemerintahan Modern dalam Risalah Nizhamul Hukam
Setelah memberikan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam ke tatanegaraan Islam, maka Al-Banna lalu mengalihkan pembahasannya kepada sistem pemerintahan modern yang diterapkan di Mesir. Hal ini merupakan suatu langkah untuk membuat suatu formulasi yang mudah diterima agar konsep-konsep islam tersebut dapat berhadapan dengan realita yang terjadi, sambil memberikan solusi tentang apa yang seharusnya dilakukan. Pendekatan seperti ini adalah pendekatan yang telah diklasifikasikan oleh John L. Esposito sebagai pendekatan revivalis / modernisasi islam sebagaimana telah dibahas di awal tulisan ini. Adapun dalam risalah nizhamul hukam Al-Banna memberikan pandangan terhadap Sistem Pemerintahan Parlementer, Konstitusi / Undang-Undang Dasar (khususnya Undang-Undang Dasar Mesir), Sistem Kepartaian, dan Pemilu. Pandangan al-Banna adalaha sebagai berikut :
Sistem Pemerintahan Parlementer
Dalam pandangannya yang tersebar di beberapa risalah yang ditulisnya Al-Banna memberikan kompromi terhadap berbagai sistem pemerintahan modern asalkan sistem tersebut bersesuaian dengan kaidah-kaidah Islam. Terhadap sistem pemerintahan parlementer ini (yang ketika itu diterapkan di Mesir), dalam risalah nizhamul hukam Al-Banna mengatakan :
“Seorang pakar hukum perundang-undangan mengatakan bahwa sistem parlementer tegak di atas pondasi tanggung jawab pemerintahan, kedaulatan rakyat dan penghargaan terhadap aspirasi mereka. Dalam sistem parlementer, tidak ada yang menghalangi persatuan dan kesatuan umat. Perpecahan dan konflik bukan termasuk prasyarat di dalamnya, kendati sebagian orang mengatakan bahwa salah satu tiang penyangga sistem parlementer adalah sistem kepartaian. Namun walaupun kepartaian telah menjadi tradisi, akan tetapi ia bukan merupakan pondasi bagi tegaknya sistem ini. Sebab sangat mungkin sistem parlemen dipraktikkan tanpa adanya parta, dan tanpa keluar dari kaidah-kaidah aslinya.
Atas dasar ini, tidak ada kaidah-kaidah sistem parlementer yang bertentangan dengan kaidah-kaidah yang digariskan dalam islam dalam menata pemerinthahan. Itu berarti sistem parlemen tidak begitu jauh melenceng dan tidak asing bagi sistem Islam ....”[24]
Dari pemaparan di atas Al-Banna tampak memberikan komprominya terhadap sistem pemerintahan parlementer yang berjalan di Mesir pada saat itu. Namun ia juga memberikan prasyarat yang bersumber dari tiga kaidah yang diberikannya di awal risalahnya, dan mengkritisi sistem kepartaian yang dilaksanakan dalam sistem pemerintahan parlementer / modern, yang mengakibatkan perpecahan.
Mengenai kekuasaan eksekutif, Al-Banna mengatakan kaidah-kaidah kekuasaan eksekutif (kabinet) dalam sistem pemerintahan parlementer juga tidak bertentangan dengan Islam. Bahwasannya Kepala Negara dalam Islam berhak mendelegasikan tugas dan wewenangnya kepada organ / lembaga apapun. Dalam sistem parlementer, Kepala pemerintahan dijalankan oleh perdana menter yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen, di sisi lain parlemen bertanggung jawab kepada Presiden / kepala Negara. Dalam konsep islam di masa lalu pendelegasian ini disebut dengan wizaratut tafwidh, ia juga mengutip penjelasan dari al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah, mengenai sistem pemerintahan parlementer ini yang mendasarkan bolehnye pendelegasian pada firman Allah mengenai permohonan nabi Musa as, “dan jadikanlah untukku seorang pembantu (menteri) dari keluargaku (yaitu) Harun saudaraku. Teguhkanlah dia dengan kekuatanku, dan jadikanlah ia sekutu dalam urusanku”(Thaha : 29-32)[25]
Konstitusi / Undang-Undang Dasar
Demikian pula ketika menanggapi konstitusi / UUD Mesir, maka sikap Al-Banna menjadikan tiga pilar yang telah ia tentukan sebagai patokan untuk menilai baik buruknya. Setelah menilai sistem parlementer ia memberikan penilaian tentang UUD ini :
“Atas premis ini (setelah membahas sistem parlementer) dapat kita katakan dengan mantap bahwa kaidah-kaidah dasar yang menjadi tupuan UUD Mesir tidak bertentangan (dengan islam). Bahkan para tokoh yang menggodok UUD Mesir, walaupun bersandar pada prinsip-prinsip kontemporer dan teori perundang-undangan mutakhir, mereka sangat begitu hati-hati agar tidak da satu butir pun dari undang-undang yang bertentangan dengan kaidah Islam. Ada yang secara tegas tersurat sesuai dengan kaidah Islam seperti butir yang mengaakan “Agama Resmi Negara adalah Islam”. Adapula yang tersirat dan terbuka untuk ditafsirkan, namun dijamin tidak bertentangan dengan kaidah Islam, seperti butir Undang-undang (dasar) yang berbunyi “Kebebasan berkeyakinan itu dijamin undang-undang”.[26]
Di bagian lain dari risalah nizhamul hukam ini al-Banna memberikan kritikannya terhadap UUD Mesir, yang isinya mengenai kontradiksi-kontradiksi isi pasal dengan pasal lain, maupun isi pasal tertentu dengan sistem yang dianut dalam sistem pemerintahan parlementer yang berjalan di Mesir. Terlihat bahwasannya Al-Banna telah selesai dengan pembahasan benar tidaknya sistem konstitusional dalam pandangan Islam, ia justru menyelami, dalam pembahasannya, tentang apa yang harus diperbaiki dari UUD Mesir, yang artinya ia sendiri telah menerima penggunaan UUD.
Bila dilihat dari ilmu perundang-undangan modern maka pandangan Al-Banna ini hampir sejalan dengan teori perundang-undangan modern seperti Stufentheorie dari Hans Kelsen, yang menerangkan bahwa norma hukum itu bertingkat-tingkat, dan dalam tingkatan yang paling atas berhenti pada Gerund Norm. Begitu pula dengan teri dari Hans Nawiasky yang membagi jenjang norma hukum menjadi empat tingkatan yaitu[27] :
Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
Staatsgrundgezets (Aturan Pokok Negara)
Formal Gesetz (Undang-undang formal)
Verordnung & Autonomr Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom)
Dimana kedua teori tersebut menjadikan norma dasar / gerundnorm atau norma fundamental negara / staatsfundamental norm sebagai sebuah norma tertinggi yang memang sudah ditetapkan oleh masyarakat sebagai norma yang menjadi dasar bagi norma-norma dibawahnya. Hanya saja keduanya mengasumsikan nilai ini sebagai hasil dari pemikiran masyarakat, bahkan Nawiasky mengatakan nilai-nilai ini dapat berubah karena peristiwa tertentu[28].
Apa bila dilihat dari kajian kemasyarakatan memang demikian adanya bahwasannya suatu norma yang berlaku di masyarakat tergantung dari pemikiran masyarakat itu sendiri. Hal ini sebenarnya tidak bertentangan dengan sunatullah yang telah Allah tetapkan, oleh karena itu manusia diberikan pilihan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapa yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”(Al-Maidah : 50). Dan bagi setiap mukmin dikenai kewajiban fardhu kifayah untuk berdakwah menyebarkan konsep islam. Dalam masyarakat Islam, apabila mereka memahami islam dengan benar sudah jelas bahwa Gerundnorm ataupun staatsfundamental norm dalam negara islam adalah syariat itu sendiri.
Kembali kepada pemikiran Al-Banna, pada dasarnya bila dibandingkan dengan dua teori perundang-undangan modern di atas maka Al-Banna menempatkan syariat islam / islam sebagai norma dasar bahkan mencapai tingkat yang lebih rendah yaitu aturan pokok negara, sebagaimana kaidah-kaidah di UUD Mesir yang disinggungnya.
Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian adalah sistem yang paling ditentang Al-Banna dalam pemikiran-pemikirannya hal ini karena ia beranggapan dengan adanya sistem kepartaian, terutama yang membuka kesempatan bagi banyak partai untuk muncul, hanya akan memunculkan pertentangan dan perpecahan di masyarakat. Al-Banna justru mengambil contoh dari sistem kepartaian di Amerika yang membatasi hanya dua partai di pemilu (yaitu demokrat dan republik), ia mengatakan :
“Di Amerika Serikat pun demikian, hanya ada dua partai yang gaungnya tidak kita dengar kecuali saat musim pemilu, tidak ada fanatisme partai atau perpecahan karena partai. Sejarah membuktikan, di negara-negara yang iklim kepartaiannya terlalu ekspansif dan selalu berambisi membentuk partai baru, selalu mengalami suasana perang dan damai yang datang berganti. Perancis (pada masanya, pen) adalah contoh yang paling tepat.”[29]
Al-Banna lalu mengkritik partai-partai di Mesir yang dalam pandangannya hanya berorientasi kepada kekuasaan tapi tidak memberikan platform yang jelas mengenai Mesir. Poin inilah yang dikritik al-Banna. Tampak bahwa yang dimaksud beliau adalah sistem kepartaian yang terjadi di Mesir pada saat itu. Dalam risalah yang sama ia mengatakan :
“Pada kenyataannya partai-partai di Mesir bukanlah partai sebagaimana yang dikenal berbagai negara di dunia. Ia tidak lebih dari sekedar rentetan konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan pendapat individual di tengah umat ini, yang pada suatu ketika mereka terkondisi untuk berbicara atas nama partai dan menuntut hak-haknya dengan mengatas namakan nasionalisme.”[30].
Miriam Budiharjo memberikan definisi yang ideal tentan partai politik yaitu “Suatu kelompok yang terorganisisr yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusionil – untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka”.[31]
Definisi di atas yang tidak tampak dalam analisa al-Banna, hal ini mungkin karena sistem kepartaian pada saat itu justru tidak mengakomodir aspirasi dari masyarakat Mesir, malah justru memecah belah masyarakat untuk mengikuti kemauan partai-partai yang ada, dan menimbulkan konflik kepentingan.
Pemilu
Mengenai Pemilu, Al-Banna menganalogikan sistem pemilu sebagai sebuah cara untuk memilih wakil rakyat, dan merupakan salah satu bentuk dari penghargaan atas aspirasi rakyat. Dalam hal ini ia menyamakan bahwasannya kedudukan wakil rakyat ini sebagai ahlu halli wal ‘aqdi, hanya saja untuk keperluan memilih ahlu halli wal ‘aqdi maka harus memiliki kriteria-kriteria tertentu. Diantaranya[32] :
Ahli fiqih dengan standar mujtahid di mana pendapat-pendapat mereka dalam fatwa dan istinbath hukum diperhitungkan umat
Pemilik skill, pengalaman, pakar dan kemampuan dalam urusan publik
Para tokoh kharismatik yang memiliki komando dan kepemimpinan di tengah masyarakat, seperti tetua suku, tokoh masyarakat, dan pemimpin organisasi
Permasalahan ini sebenarnya permasalah yang banyak dibahas dalam permasalahan pemilu kontemporer yaitu diperlukannya kriteria-kriteria untuk calon wakil rakyat yang akan dipilih di pemilu. Al-Banna pun mengkritik sistem pemilu di Mesir, mulai dari kualitas kerja KPU Mesir, hingga amandemen UU Pemilu mesir untuk membuat kriteria calon yang pantas, aturan main dan rambu-rambu kampanye yang jelas, pelaksanaan yang baik, sanksi yang berat bagi setiap pelanggaran. Hanya saja Al-Banna justru menyarankan agar pemilihan calon dengan menggunakan gambar (partai) bukan memilih orang, maksud Al-Banna adalah agar ketika mereka berhadapan dengan konstituen yang mereka perjuangkan bukanlah kepentingan pribadi mereka, namun kepentingan umum yang diartikulasikan melalui program partai politik mereka ataupun kelompok mereka. Bila melihat pada maksud Al-Banna ini maka mengarah pada pengertian ideal menganai partai politik yang diberikan oleh Miriam Budiharjo.[33]
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Jumah Amin Abdul Aziz, Tarikh Al-Ikhwan Al-Muslimun 1: Masa Pertumbuhan dan Profil sang Pendiri, Era Intermedia, hal 34
[2] ibid, hal 48-49
[3] ibid, hal 51
[4] John L Esposito, Islam Warna-Warni, bab 4, hal 157-158
[5] ibid, hal 166
[6] Hassan Al-Banna, Kumpulan Risalah Dakwah Hassan Al-Banna jilid 1 , I’tishom Cahaya Ummat ,cetakan 1 tahun 2005, Bab Risalah Ta’lim, hal 291
[7] Prof Muhammad Daud Ali, S.H., Hukum Islam, Rajawali Press, Cet 9, hal 31
[8] Hassan Al-Banna, Kumpulan Risalah Dakwah Hassan Al-Banna jilid 2, I’tishom Cahaya Ummat, cet 1, Bab Risalah Nizhmul Hukam, hal 69-70
[9] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Kumpulan Fatwa Ibnu Taimiyah (terjemah majmu’ah fatawa), Darul Haq, cetakan 1 tahun 2005, Bagian kedua : Siyasah Syar’iyyah bab 24 hal 459
[10] Majid Khadduri, “Theory of The State”, Peace and Conflict Resolution in Islam, Precept and Practice, University Press of America, 2001, hal 31
[11] Prof Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka, cet ke dua puluh tujuh, juni 2005, hal 39
[12] Hassan Al-Banna, op cit, jilid 1, hal 237
[13] Hassan Al Banna, op cit , jilid 2, hal 71-72
[14] Ilmu Negara, kuliah-kuliah Padmo Wahjono, SH, Ind Hill Co, hal 82-88
[15] Muhammad Nasib Ar-Rifai’, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1, Gema Insani Press , hal 739
[16] Hassan Al Banna op.cit jilid 2, bab Nizhamul Hukam, hal 74
[17] Hassan Al Banna op.cit jilid 2, bab Nizhamul Hukam, hal 74
[18] Nashir Fahmi, Menegakkan Syariat Islam Ala PKS, Era Intermedia, hal 29
[19] Dr. Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2, Gema Insani Press, hal 934
[20] Hassan Al Banna op.cit jilid 2, bab Nizhamul Hukam, hal 70
[21] ibid, hal 70
[22] Majid Khadduri, lop cit, hal 37
[23] Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, op cit, jilid 2, hal 98
[24] Hassan Al-Banna, op cit, jilid 2, hal 82
[25] Hassan Al-Banna, lop cit, jilid 2 hal 84
[26] Hassan Al-Banna, lop cit, jilid 2, hal 82-83
[27] Maria Farida Indrawati, jilid 1 Ilmu Perundang-undangan, , cet 1 tahun 2007, penerbit kanisius, hal 41-45.
[28] ibid
[29] Hassan Al-Banna, op cit, jilid 2, bab Nizhamul Hukam , hal 92
[30] Hassan Al-Banna, op cit, jilid 2 , bab Nizhamul Hukam , hal 93
[31] Prof Abdul Bari Azed SH MH dan Makmur Amir SH MH, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, hal 32-33
[32] Hassan Al-Banna, op cit, jilid 2, bab Nizhamul Hukam, hal 97-98
[33] Lihat detailnya pada Nizhamul Hukam pada hal 87-103 Risalah Dakwah Hassan Al-Banna jilid 2
Sumber: 3Ramadhan1405
No comments:
Post a Comment