Alkisah, ketika Umar sampai di rumah, sepulang
mengurusi jenazah Sulaiman, datanglah Abdul Malik menghampirinya. Ia bertanya,
“Wahai amirul mukminin, gerangan apakah yang membaringkan Anda di siang bolong
ini?” Umar bin Abdul Aziz sempat kaget, tatkala putranya memanggilnya dengan
Amirul Mukminin, bukan dengan panggilan ayah. Ini mengisyaratkan putranya ingin
mempertanyakan tanggung jawab ayahnya sebagai pemimpin negara, bukan tanggung
jawab sebagai kepala keluarga.
“Aku letih dan butuh istirahat”, jawab sang ayah.
“Pantaskah Anda beristirahat padahal banyak rakyat
yang tertindas?”
“Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu.
Nanti, setelah shalat Zhuhur aku akan mengembalikan hak-hak orang yang
teraniaya”.
“Wahai amirul mukminin, siapakah yang menjamin Anda
hidup sampai Zhuhur, jika Allah mentaqdirkanmu mati sekarang?” Mendengar ucapan
sang anak, Umar tambah terperanjat.
Beliau memerintahkan anaknya mendekat, maka diciumlah
pemuda itu sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang telah memberiku seorang
anak yang telah membantuku menegakkan agama”. Selanjutnya beliau perintah juru
bicaranya mengumumkan kepada seluruh rakyat. “Barang siapa yang merasa dianiaya,
hendaknya mengadukan nasibnya kepada khalifah”.
Itulah salah satu cuplikan kehidupan Abdul Malik,
seorang pemuda yang shaleh dan bertanggung jawab. Meskipun Allah memberinya usia
relatif singkat, kurang dari dua puluh tahun, namun hidupnya diwarnai oleh
ketaqwaan, ibadah dan amar ma'ruf nahi mungkar. Dia tidak segan menegur ayahnya
saat dilihatnya lalai dalam menjalankan amanah. Dia tidak sungkan menasihati
ayahnya agar selalu teguh pada hukum Allah dalam setiap gerak serta langkahnya.
Dia tahu semua itu adalah kewajiban yang harus disampaikan dan bentuk
implementasi birul walidain (bakti kepada ibu bapak).
Birul walidain adalah hak setiap orang tua. “Dan kami
wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya” (QS 29:8). Ia
tidak hanya berupa taat, patuh atau turut kepada kehendak orang tua, sebagaimana
dipahami oleh sebagian orang. Namun ia lebih dari itu.
Birul walidain adalah nasihat anak kepada orang tua
manakala mereka sedang meniti jalan dosa. Allah bercerita tentang nabi-Nya
Ibrahim AS yang menasihati ayahnya ketika sang ayah menyembah berhala, ”Wahai
ayahku, janganlah kamu menyembah syetan. Sesungguhnya syetan itu durhaka kepada
Allah Yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan
ditimpa azab dari Allah,maka kamu menjadi kawan bagi syetan” (QS. 19:144-145)
Mungkin masih banyak diantara kita yang orang tuanya
masih terperangkap dalam dosa. Sayangnya banyak pula diantara orang-orang muda
yang bergelut dalam da'wah membiarkan orang tuanya tersesat. Padahal mereka
lebih berhak dida'wahkan ketimbang orang lain.
Birul walidain juga menuntut mu'asyarah bil ma'ruf
(bergaul dengan baik) kepada orang tua. Allah berpesan, “Dan bergaullah kepada
kedua nya di dunia dengan baik” (QS 31:15). Dalam sejarah dakwah, banyak sekali
kita temukan tokoh-tokoh simpatik yang melegendakan karena baktinya kepada kedua
orang tua. Saad bin Abi Waqqas, sebagai contoh, meskipun ibunya musyrik dan
mengancam mogok makan jika anaknya tidak mau kembali ke agama semula, beliau
tetap menghormati ibunya dan memperlakukannya dengan baik. Bukan sesuatu yang
terpuji, jika seseorang muslim, apalagi da'iyah, yang tidak menghormati dan
menghargai orang tuanya. Hanya karena beda visi dalam memandang Islam, orang tua
divonis kafir atau musyrik.
Banyak sekali contoh kesenjangan yang sebetulnya tidak
akan terjadi jika anak mampu menempatkan permasalahan secara wajar. Sebagai
contoh kasus pernikahan atau walimah. Banyak orang tua tidak setuju pemisahan
antara undangan pria dan wanita. Itu terjadi karena selama ini tradisi yang ada
membenarkan dicampurnya undangan laki-laki dan wanita pada satu ruangan. Apatah
lagi tradisi tersebut dilegalisir oleh sebagian orang yang dianggap berilmu dan
shalih. Kalau saja hubungan sang anak dengan orang tuanya baik, tentunya dia
akan mendapatkan kemudahan dalam menghidupkan salah satu sunah Rasulullah SAW,
tanpa harus timbul konflik berkepanjangan.
Kita yakin semua orang tua menginginkan anak yang
shalih dan bakti seperti Abdul Malik bin Umar. Kita semua tidak pernah
mendambakan anak durhaka. Namun yang menjadi pertanyaan, “Apakah kita sudah
berbakti kepada orang tua sehingga mengharap keturunan yang baik?” Bukankah ada
pepatah, “Bagaimana mungkin bayangan akan lurus jika tongkatnya bengkok?” Dan
bagaimana mungkin pula anak akan berbakti jika orang tuanya durhaka. Ingat pesan
Rasulullah saw, “Berbaktilah kepada kedua orang tua kalian, niscaya akan
berbakti pula anak-anak kalian” (HR. Thabrani).
Sebagai orang yang sedang meniti jalan dakwah, kita
dituntut berlaku bijaksana dalam menghadapi berbagai keganjilan yang ada pada
orang tua. Jika mereka belum mau shalat, menutup aurat, dan belum siap
menghidupkan sunah Rasulullah saw, kewajiban kita hanya mengingatkan mereka dan
tidak ada hak untuk memaksakan kehendak. Kalau saja Sa'ad bin Abi Waqqas, Asma
binti Abu Bakar diperintahkan untuk berbuat baik kepada ibu mereka yang musyrik,
apalagi kita yang mempunyai orang tua yang muslim, tentu mereka lebih berhak
untuk dihormati dan dihargai.
Kemungkaran dan kebatilan yang dilegalisir sekarang
ini, adalah hasil dari upaya musuh-musuh Islam yang prosesnya sudah berjalan
lama. Dan untuk mengembalikannya kepada Al-Haq tentunya butuh waktu lama. Itulah
yang disampaikan Umar bin Abdul Aziz kepada anaknya ketika sang anak bertanya
kenapa kemungkaran yang ada tidak dicegah secepatnya. Kata Umar, “Hai anakku,
umat telah melepaskan ikatan Islam sedikit demi sedikit. Jika aku hapuskan dalam
sehari saja, aku khawatir umat akan memberontak dan darah tertumpah. Demi Allah
hancurnya dunia lebih ringan bagiku dari pada tertumpahnya setitik darah karena
diriku ………………”.
No comments:
Post a Comment