Tuesday 6 May 2008

Asy-Syaja’ah (Keberanian)

Asy-Syaja’ah
(Keberanian)


Asy-syaja’ah (keberanian)
adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain
ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).


Jadi orang yang istiqamah
akan senantiasa berani, tenang dan optimis karena yakin berada di jalan yang
benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah.


Namun memang tak mudah
untuk menjadi orang yang istiqamah atau teguh pendirian memegang nilai-nilai
kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah. Bahkan Rasulullah saw.
mengatakan bahwa turunnya surat Hud membuat beliau beruban karena di dalamnya
ada ayat (QS. Huud [11]: 112) yang memerintahkan untuk beristiqamah,




"Maka tetaplah kamu
pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang
telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."



Rasulullah saw. memahami
benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Abu Sufyan bertanya hal
terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak perlu bertanya lagi, beliau
menjawab, "Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap
yang kau imani tersebut)".


Di kesempatan lain,
Rasulullah saw. juga mengatakan tantangan buat orang yang istiqamah memegang
Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara api.


Keberanian untuk tetap
istiqamah walau nyawa taruhannya nampak pada diri orang-orang beriman di dalam
surat Al-Buruuj (QS. 85) yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh as-habul
ukhdud
hanya karena mereka menyatakan keimanannya kepada Allah Taala.


Begitu pula Asiah, istri
Fir’aun dan Masyitah, pelayan Fir’aun, kedua-duanya harus menebus keimanan
mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di tiang penyiksaannya dan
Masyitah di kuali panas mendidih beserta seluruh keluarganya karena mereka
berdua tak sudi menuhankan Fir’aun.


Demikian sulitnya untuk
mempertahankan keistiqamahan di jalan Allah, dan demikian sulit pula untuk
mewujudkan asy-syaja’ah sebagai salah satu aspeknya.


Secara manusiawi seseorang
memang memiliki sifat khauf (takut) sebagai lawan sifat asy-syaja’ah.
Namun sifat khauf thabi’i (alamiah) yang diadakan Allah di dalam diri
manusia sebagai mekanisme pertahanan diri seperti takut terbakar, tenggelam,
terjatuh dimangsa binatang buas, harus berada di bawah khauf syar’i
yakni takut kepada Allah Ta’ala. Hal tersebut secara indah dan heroik terlihat
gamblang pada kisah Nabi Musa a.s, Ibrahim a.s dan Muhammad saw.


Rasa takut pada
kemungkinan tenggelam ke Laut Merah teratasi oleh ketenangan, optimisme dan
keberanian Nabi Musa a.s yang senantiasa yakin Allah bersamanya dan akan
menunjukinya jalan. Dan benar saja Allah memberinya jalan keluar berupa mukjizat
berupa terbelahnya Laut Merah dengan pukulan tongkatnya sehingga bisa dilalui
oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut itu menyatu kembali dan
menenggelamkan Fir’aun beserta tentaranya.


Kisah yang tak kalah
mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim a.s. Rasa takut
thabi’i terhadap api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i
yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah, pertolongan Allah datang dengan
perintah Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta menyelamatkan Nabi
Ibrahim a.s.


Keberanian, ketawakalan
dan kepasrahan pada Allah yang membuahkan pertolongan-Nya juga terlihat pada
saat Rasulullah Muhammad SAW bersama sahabat setianya Abu Bakar Ash-Shidiq
berada di gua Tsur untuk bersembunyi dalam rangka strategi hijrah ke Yatsrib (Madinah).


Kaki-kaki musuh yang lalu
lalang tidak menggetarkan Rasulullah dan ketika Abu Bakar begitu mengkhawatirkan
keselamatan Rasulullah SAW, beliau menenangkannya dengan berkata, "Jangan
takut, sesungguhnya Allah bersama kita" (QS 9: 40). Dan ternyata terbukti
Allah Ta’ala memberikan pertolongan melalui makhluk-makhluk-Nya yang lain.
Burung merpati yang secara kilat membuat sarang, begitu pula laba-laba di mulut
gua, membuat musyrikin Quraisy yang mengejar yakin gua itu tak mungkin dilalui
oleh manusia.





Realita Dewasa Ini



Dunia dewasa ini dipenuhi
dengan orang-orang yang memiliki sifat pengecut. Sebuah hadits Nabi saw.
memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi bulan-bulanan dan santapan
empuk musuh-musuh Islam karena sudah mengidap penyakit wahn, yakni cinta dunia
dan takut mati. Ya, penyakit wahn-lah yang menyebabkan di antara umat Islam pun
banyak yang menjadi pengecut sehingga tidak lagi disegani oleh musuh-musuhnya
yakni kaum kufar dan musyrikin.


Dahulu yang membuat gentar
musuh-musuh Islam adalah keberanian tentara-tentara pejuang-pejuang Islam yang
menghambur ke medan perang dengan suka cita karena pilihannya sama-sama baik
yakni hidup mulia dengan meraih kemenangan atau mati syahid di jalan Allah.



Sementara kini umat Islam
terpenjara oleh dunia, begitu cinta dan tertambat pada kenikmatan dunia sehingga
begitu takut akan kematian yang dianggap sebagai pemutus kelezatan dan
kenikmatan dunia.


Begitu banyak orang yang
tidak memiliki daya tahan tinggi terhadap segala tantangan dan kesulitan
sehingga mudah surut, menyerah atau berputus-asa. Padahal dalam kehidupan yang
semakin berat dan sulit dewasa ini begitu banyak tantangan dan marabahaya yang
harus disikapi dan dihadapi dengan berani, karena bersikap pengecut dan
melarikan diri dari persoalan hidup yang berat tidak akan pernah menyelesaikan
masalah.


Kemudian banyak pula orang
yang tidak berani bersikap jujur atau berterus terang terhadap diri sendiri
termasuk menyadari kekurangan, kelemahan dan keterbatasan diri. Dan sebaliknya
berani mengakui kelebihan, kekuatan dan kemampuan orang lain.


Seorang pengecut biasanya
juga tak akan mau mengakui kesalahan. Bersikap keras kepala, mau menang sendiri
dan menganggap diri tak pernah berbuat salah sebenarnya justru akan menguatkan
kepengecutan seseorang yang berlindung dibalik semua sikap tersebut.


Sikap pengecut lainnya
adalah tidak mampu bersikap obyektif terhadap diri sendiri yakni berani menerima
kenyataan bahwa ada posisi negatif dan positif dalam dirinya.


Dan akhirnya sifat
kepengecutan yang jelas adalah ketidakmampuan menahan nafsunya di saat marah.
Salah satu ciri orang bertakwa adalah mampu menahan amarah dan memaafkan
kesalahan orang lain (QS. 3:134). Yang disebut orang kuat adalah orang yang mau
menahan dan meredam amarahnya serta tetap bisa mengendalikan dirinya di saat
marah sekalipun.


Jika seseorang bertindak
brutal dan mengeluarkan caci maki serta kata-kata kotor, ia justru masuk
kategori orang yang pengecut karena tak mampu mengendalikan diri dan menahan
marah.





Macam-macam Syaja’ah



Syaja’ah
atau pemberani/kesatria tentu saja berbeda dengan bersikap nekat, "ngawur"
atau tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy-syaja’ah adalah keberanian
yang didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena ingin meraih
ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan ketekunan
kecermatan dan kerapian kerja (itqan). Buka keberanian yang tanpa
perhitungan, namun juga bukan terlalu perhitungan dan pertimbangan yang
melahirkan ketakutan.


Paling tidak ada beberapa
macam bentuk asy-syaja’ah (keberanian), yakni:




  1. Memiliki daya tahan
    besar




Seseorang dapat
dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang besar untuk
menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan
karena ia berada di jalan Allah.





  1. Berterus terang dalam
    kebenaran





"Qulil haq walau
kaana muuran"
(katakan yang
benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim
adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan
keberanian menanggung segala resiko bila kita senantiasa berterus terang dalam
kebenaran.





  1. Kemampuan menyimpan
    rahasia




Orang yang berani adalah
orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan terutama dalam
persiapan jihad menghadapi musuh-musuh Islam. Kemampuan merencanakan dan
mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia adalah
merupakan bentuk keberanian yang bertanggung jawab.





  1. Mengakui kesalahan




Salah satu orang yang
memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui kesalahan, mencari kambing
hitam dan bersikap "lempar batu, sembunyi tangan"


Sebaliknya orang yang
memiliki sifat syaja’ah berani mengakui kesalahan, mau meminta maaf,
bersedia mengoreksi kesalahan dan bertanggung jawab.





  1. Bersikap obyektif
    terhadap diri sendiri




Ada orang yang cenderung
bersikap over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat,
mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang
bersikap under estimasi terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak
mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap
tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan
bersikap obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.





  1. 6. Menahan nafsu di
    saat marah




Seseorang dikatakan
berani bila ia tetap mampu ber–mujahadah li nafsi, melawan nafsu dan
amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya
padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya.






Contoh Figur Sahabat dan Sahabiyah yang Memiliki Sifat Syaja’ah



Berani karena benar dan
rela mati demi kebenaran. Slogan tersebut pantas dilekatkan pada diri
sahabat-sahabat dan sahabiyah-sahabiyah Rasulullah saw. karena keagungan
kisah-kisah perjuangan mereka.


Rasulullah Muhammad saw.
sendiri menjadi teladan utama saat beliau tak bergeming sedikit pun ketika
disuruh menghentikan dakwahnya. Beliau pun berucap dengan kata-katanya yang
masyhur, "Walaupun matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan di
tangan kiriku, aku tidak akan pernah menghentikan dakwahku ini".


Keberanian dan keteguhan
sikap nampak pula pada diri sepupu dan menantu Nabi saw., Ali bin Abu Thalib r.a.
Ali mengambil peran yang sangat beresiko, menggantikan Rasulullah di tempat
tidur untuk mengelabui musuh-musuh yang mengepung. Dan benar saja ketika tahu
mereka dikelabui, mereka pun marah serta memukuli Ali hingga babak belur.


Khalifah kedua yakni Umar
bin Khathab juga sangat terkenal dengan ketegasan sikap dan keberaniannya.
Ketika mau hijrah berbeda dengan sahabat-sahabat lain yang sembunyi-sembunyi,
Umar malah berteriak lantang, "Umar mau hijrah, barang siapa yang ingin
anak istrinya menjadi yatim dan janda, hadanglah Umar".


Keberanian mempertahankan
aqidah hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir. Beliau menjadi
syahidah pertama dalam Islam yang menumbuhsuburkan perjuangan dengan darahnya
yang mulia.


Begitu pula Khubaib bin
Adiy yang syahid di tiang salib penyiksaan dan Habib bin Zaid yang syahid karena
tubuhnya dipotong-potong satu demi satu selagi ia masih hidup. Mereka berani
bertaruh nyawa demi mempertahankan akidah dan itu terbukti dengan syahidnya
mereka berdua.


Bilal dan Khabab bin Al-Irts,
yang mantan budak disiksa dengan ditimpa batu besar (Bilal) dan disetrika
punggungnya (Khabab) adalah bukti bahwa keberanian tidak mengenal lapisan dan
strata sosial.


Ada pula anak bangsawan
seperti Mush’ab bin Umair dan Sa’ad bin Abi Waqqash yang diusir dan tidak
diakui lagi sebagai anak oleh orangtua mereka karena masuk Islam. Dan akhirnya
wanita-wanita perkasa dan pemberani seperti Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi
Rasulullah saw., Nusaibah binti Ka’ab, perisai Rasulullah saw. dan Fatimah,
putri Rasulullah saw. yang menjadi bukti wanita tak kalah berani dibandingkan
laki-laki dalam mempertahankan kebenaran.





Kiat-kiat Memiliki Sifat Syaja’ah



Dengan segala
kesederhanaannya, prajurit muslim Rubyi menemui Panglima besar Persia, Rustum.
Pedangnya yang menyembul di pinggangnya menyaruk-nyaruk bentangan karpet mewah
Persia yang digelar. Seolah-olah ingin berkata, "Aku tak butuh dan tak
silau oleh semua kemewahan ini".


Rubyi bahkan berorasi
dengan lantangnya, "Kami datang untuk membebaskan kalian dari kegelapan
menuju cahaya yang terang benderang. Kami datang untuk membebaskan kalian dari
kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akhirat".


Keberanian, yang
ditunjukkan Rubyi adalah buah dari keimanan dan ketakwaannya. Karena ia meyakini
hanya Allahlah Yang Maha Besar dan patut ditakuti, dan manusia sehebat dan
sekaya apapun kecil dibandingkan Allah Yang Agung.


Jadi kiat utama untuk
memiliki sifat syaja’ah adalah adanya daya dukung ruhiyah berupa keimanan dan
ketakwaan yang mantap. Iman dan takwa ini akan membuat seseorang tidak takut
pada apapun dan siapa pun selain Allah.


Kemudian bermujahadah
melawan segala rasa takut, cemas dan khawatir yang secara manusiawi ada pada
setiap manusia.


Berikutnya bisa pula
dengan cara yang dicontohkan oleh Rasulullah saat menasihati Khabbab bin Harits
yang berkeluh kesah atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau
mengingatkan Khabbab akan perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh terdahulu
yang jauh lebih berat tapi mereka tetap berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk
keberanian dan kesabaran dengan berkata, "Ah... cobaan ini belum seberapa
dibanding yang pernah dialami orang-orang shaleh terdahulu".


Dan akhirnya kejelasan
misi dan visi perjuangan serta senantiasa mengingat-ingat imbalan optimal berupa
ampunan dan surga-Nya kiranya akan memperbesar keberanian dan semangat juang,
insya Allah. Wallahu a’lam. []


Versi Cetak | Kirim ke rekan

1 comment:

Bursa Buku Maestro said...

Artikel Bagus, sayang yang komen diatas ini manusia tidak punya moral.