Tuesday, 6 May 2008

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwwah

KH Rahmat Abdullah

Mungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan
sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang.
Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW : "Cintailah
saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kau
benci. Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa ia
akan menjadi kekasih yang kau cintai."
(HSR Tirmidzi, Baihaqi,
Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam
hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'i yang menggariskan
aqidah "La tha’ata limakhluqin fi ma’shiati’l Khaliq".
Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada Alkhaliq. (HSR
Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).


Doktrin ukhuwah dengan
bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam senang dan susah,
dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : "Level terendah ukhuwah (lower),
jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus’ shadr (lapang hati) dan
batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar
(memprioritaskan saudara diatas kepentingan diri).


Bagi kesejatian ukhuwah
berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati setiap ikhwah : "Innahu
in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi fasayakununa
bighoirihi"
(Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain
mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain dia). Karenanya
itu semua akan terpenuhi bila ‘hati saling bertaut dalam ikatan aqidah’,
ikatan yang paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman sedang
perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta'lim, rukun Ukhuwah).


Gairah Cinta dan
Kelesuan Ukhuwah


Karena bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya, maka
"kerugian apapun" yang diderita saudara-saudara dalam iman dan da'wah,
yang ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan oleh mereka
yang tak tahan beramal jama'i, akan mendapatkan ganti yang lebih baik. "Dan
jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka
tidak akan jadi seperti kamu"
(Qs. 47: 38).


Masing-masing kita punya
pengalaman pribadi dalam da'wah ini. Ada yang sejak 20 tahun terakhir dalam
kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan yang berbenturan
dengan jadwal da'wah atau oleh urusan yang merugikan da'wah. Mengapa ? Karena
sejak awal yang bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan kepentingan da'-wah
dan menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran nekad yang membuat
seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.


Ada seorang ikhwah
sekarang sudah masuk jajaran masyaikh. Dia bercerita, ketika menikah langsung
berpisah dari kedua orang tua masing-masing, untuk belajar hidup mandiri atau
alasan lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi pemeliharaan iman
menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah petak sederhana.
"Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung di wajah
pengantinku tercinta", tuturnya. Dia tidak keluar melepas sang suami tetapi
menangis sedih dan bingung, seakan doktrin da’wah telah mengelupas. Kala itu
jarang da’i dan murabbi yang pulang malam apalagi petang hari, karena mereka
biasa pulang pagi hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij sang
abid yang kebingungan karena kekhususan ibadah (sunnah) nya terusik panggilan
ibu. "Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?" Sekarang yang
membingungkan justru "Zauji au da’wati" : Isteriku atau da’wahku
?".


Dia mulai gundah, kalau
berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak
dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia
kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada istrinya : "Kita ini
dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da’wah. Apa pantas
sesudah da’wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da’wah. Saya cinta
kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah". Dia pergi menerobos
segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih
mendung, namun membaik setelah beberapa hari. Beberapa tahun kemudian setelah
beranak tiga atau empat, saat kelesuan menerpanya, justru istri dan
anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal
dirumah? Sekarang ini keluarga da’wah tersebut sudah menikmati berkah da’wah.


Lain lagi kisah sepasang
suami istri yang juga dari masyarakat da’wah. Kisahnya mirip, penyikapannya
yang berbeda. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk da’wah. Perang bathin
terjadi dan malam itu ia absen dalam pertemuan kader (liqa’). Dilakukan
muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah kalah oleh penyakit "syaghalatna
amwaluna waahluna
: kami telah dilalaikan oleh harta dan keluarga" (Qs.
48:11). Ia berjanji pada dirinya : "Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa
saya harus hadir dalam tugas-tugas da’wah". Pada giliran berangkat
keesokan harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang. "Wah ia
yang sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin kutinggalkan?".
Maka ia pun absen lagi dan dimuhasabah lagi sampai dan menangis-nangis lagi.
Saat tugas da'wah besok apapun yang terjadi, mau hujan, badai, mertua datang dll
pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika harus berangkat ternyata
ujian dan cobaan datang kembali dan iapun tak hadir lagi dalam tugas-tugas
dak-wah. Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh tersebut belum
memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan memiliki
kelezatan duduk cukup lama dalam forum da’wah, baik halaqah atau pun
musyawarah yang keseluruhannya penuh berkah. Sebenarnya adakah
pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri
oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka
menemukan sesuatu yang lain, "in lam takun bihim falan takuna
bighoirihim"
.


Di Titik Lemah Ujian
Datang


Akhirnya dari beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu simpul.
Simpul ini ada dalam kajian tematik ayat QS Al-A’raf Ayat 163 : "Tanyakan
pada mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka melampaui batas aturan
Allah di (tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan buruan mereka datang
melimpah-limpah pada Sabtu dan di hari mereka tidak bersabtu ikan-ikan itu tiada
datang. Demikianlah kami uji mereka karena kefasikan mereka". Secara
langsung tema ayat tentang sikap dan kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar.
Tetapi ada nuansa lain yang menambah kekayaan wawasan kita. Ini terkait dengan
ujian.


Waktu ujian itu tidak
pernah lebih panjang daripada waktu hari belajar, tetapi banyak orang tak sabar
menghadapi ujian, seakan sepanjang hanya ujian dan sedikit hari untuk belajar.
Ujian kesabaran, keikhlasan, keteguhan dalam berda’wah lebih sedikit waktunya
dibanding berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan. Kalau ada sekolah yang
waktu ujiannya lebih banyak dari hari belajarnya, maka sekolah tersebut dianggap
sekolah gila. Selebih dari ujian-ujian kesulitan, kenikmatan itu sendiri adalah
ujian. Bahkan, alhamdulillah rata-rata kader da’wah sekarang secara ekonomi
semakin lebih baik. Ini tidak menafikan (sedikit) mereka yang roda ekonominya
sedang dibawah.


Seorang masyaikh da’wah
ketika selesai menamatkan pendidikannya di Madinah, mengajak rekannya untuk
mulai aktif berda’wah. Diajak menolak, dengan alasan ingin kaya dulu, karena
orang kaya suaranya didengar orang dan kalau berda’wah, da’wahnya diterima.
Beberapa tahun kemudian mereka bertemu. "Ternyata kayanya kaya begitu
saja", ujar Syaikh tersebut.


Ternyata kita temukan
kuncinya, "Demikianlah kami uji mereka karena sebab kefasikan mereka".
Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada titik yang paling lemah. Mereka
malas karena pada hari Sabtu yang seharusnya dipakai ibadah justru ikan datang,
pada hari Jum’at jam 11.50 datang pelanggan ke toko. Pada saat-saat jam da’wah
datang orang menyibukkan mereka dengan berbagai cara. Tapi kalau mereka bisa
melewatinya dengan azam yang kuat, akan seperti kapal pemecah es. Bila
diam salju itu tak akan me-nyingkir, tetapi ketika kapal itu maju, sang salju
membiarkannya berlalu. Kita harus menerobos segala hal yang pahit seperti anak
kecil yang belajar puasa, mau minum tahan dulu sampai maghrib. Kelezatan,
kesenangan dan kepuasan yang tiada tara, karena sudah berhasil melewati ujian
dan cobaan sepanjang hari.


Iman dan Pengendalian
Kesadaran Ma’iyatullah


Aqidah kita mengajarkan, tak satupun terjadi di langit dan di bumi tanpa
kehendak ALLAH. ALLAH berkuasa menahan keinginan datangnya tamu-tamu yang akan
menghalangi kewajiban da’wah. Apa mereka fikir orang-orang itu bergerak
sendiri dan ALLAH lemah untuk mencegah mereka dan mengalihkan mereka ke waktu
lain yang tidak menghalangi aktifitas utama dalam da’wah? Tanyakan kepada
pakarnya, aqidah macam apa yang dianut seseorang yang tidak meyakini ALLAH
menguasai segalanya? Mengapa mereka yang melalaikan tugas da’wahnya tidak
berfikir perasaan sang isteri yang keberatan ditinggalkan beberapa saat, juga
sebenarnya batu ujian yang dikirim ALLAH, apakah ia akan mengutamakan tugas da’wahnya
atau keluarganya yang sudah punya alokasi waktu ? Yang ia beri mereka makanan
dari kekayaan ALLAH ?


Karena itu mari melihat
dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam berukhuwah, yang gerah dan segera
ingin pergi meninggalkan kewajiban liqa’, syuro atau jaulah. Bila mereka
bersabar melawan rasa gerah itu, pertarungan mungkin hanya satu dua kali,
sesudah itu tinggal hari-hari kenikmatan yang luar biasa yang tak tergantikan.
Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan "Seandainya para raja dan
anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan majlis
ilmu, niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi kita dengan pedang".
Sayang hal ini tidak bisa dirampas, melainkan diikuti, dihayati dan
diperjuangkan. Berda’wah adalah nikmat, berukhuwah adalah nikmat, saling
menopang dan memecahkan problematika da’wah bersama ikhwah adalah nikmat,
andai saja bisa dikhayalkan oleh mereka menelantarkan modal usia yang ALLAH
berikan dalam kemilau dunia yang menipu dan impian yang tak kunjung putus.


Ayat ini mengajarkan kita,
ujian datang di titik lemah. Siapa yang lemah di bidang lawan jenis, seks dan
segala yang sensual tidak diuji di bidang keuangan, kecuali ia juga lemah
disitu. Yang lemah dibidang keuangan, jangan berani-berani memegang amanah
keuangan kalau kamu lemah di uang hati-hati dengan uang. Yang lemah dalam
gengsi, hobi popularitas, riya’ mungkin– dimasa ujian – akan menemukan
orang yang terkesan tidak menghormatinya. Yang lidahnya tajam dan berbisa
mungkin diuji dengan jebakan-jebakan berkomentar sebelum tabayun.Yang
lemah dalam kejujuran mungkin selalu terjebak perkara yang membuat dia hanya ‘selamat’
dengan berdusta lagi. Dan itu arti pembesaran bencana.


Kalau saja Abdullah bin
Ubay bin Salul, nominator pemimpin Madinah (d/h Yatsrib) ikhlas menerima Islam
sepenuh hati dan realistis bahwa dia tidak sekaliber Rasulullah SAW, niscaya
tidak semalang itu nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin tinggi dan
terhormat, dunia dan akhirat dengan meletakkan diri mereka dibawah kepemimpinan
Rasulullah SAW ? Ternyata banyak orang yang bukan hanya bakhil dengan harta yang
ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu, waktu, gagasan dan kesehatan yang
seluruhnya akan menjadi beban tanggungjawab dan penyesalan.



Seni Membuat Alasan

Perlu kehati-hatian – sesudah syukur – karena kita hidup di masyarakat Da’wah
dengan tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang cerdas tidak
akan membodohi diri mereka sendiri dengan percaya kepada sangkaan baik orang
kepada dirinya, sementara sang diri sangat faham bahwa ia tak berhak atas
kemuliaan itu. Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila disanjung. "Ya ALLAH,
jadikan daku lebih baik dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran
ucapan mereka dan ampuni daku karena ketidaktahuan mereka", demikian
ujarnya lirih. Dimana posisi kita dari kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ?
"Alangkah bodoh kamu, percaya kepada sangka baik orang kepadamu, padahal
engkau tahu betapa diri jauh dari kebaikan itu", demikian kecaman Syaikh
Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai'Llah.


Diantara nikmat ALLAH
ialah sitr (penutup) yang ALLAH berikan para hamba-Nya, sehingga aibnya
tak dilihat orang. Namun pelamun selalu mengkhayal tanpa mau merubah diri.
Demikian mereka yang memanfaatkan lapang hati komunitas da’wah tumbuh dan
menjadi tua sebagai seniman maaf, "Afwan ya Akhi".



Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi Mereka
Karunia Besar


Kelengkapan Amal Jama’i tempat kita ‘menyumbangkan’ karya kecil kita,
memberikan arti bagi eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan kebesaran
bersama. Jangan kecilkan makna kesertaan amal jama’i kita, tanpa harus
mengklaim telah berjasa kepada Islam dan da’wah. "Mereka
membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka kepadamu. Katakan : ‘Janganlah
bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai sumbangan bagi kekuatan Islam,
(sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi kamu karunia besar dengan
membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang jujur" (Qs. 49;17).


ALLAH telah menggiring
kita kepada keimanan dan da’wah. Ini adalah karunia besar. Sebaliknya, mereka
yang merasa telah berjasa, lalu – karena ketidakpuasan yang lahir dari
konsekwensi bergaul dengan manusia yang tidak maksum dan sempurna – menung-gu
musibah dan kegagalan, untuk kemudian mengatakan : "Nah, rasain !"
Sepantasnya bayangkan, bagaimana rasanya bila saya tidak bersama kafilah
kebahagiaan ini?.


Saling mendo’akan sesama
ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan pribadi mereka, terlebih doa dari jauh.
Selain ikhlas dan cinta tak nampak motivasi lain bagi saudara yang berdoa itu.
ALLAH akan mengabulkannya dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata :
"Untukmu pun hak seperti itu", seperti pesan Rasulullah SAW. Cukuplah
kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang
saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan
cinta fi'Llah.



Ya ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta
orang-orang yang mencintai-Mu dan cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami
kepada cinta-Mu
.[]

No comments: