Saturday, 10 May 2008

Bulan Ramadhan: Stasiun Besar Musafir Iman

Oleh : Ust. Rahmat Abdullah (Alm)

PKS Online: Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH
ciptakan untuknya, mencari dataran rendah, menjadi
semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa
kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu
mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin
pun berhembus. Edaran yang pasti pada keluarga
galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur
waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan
penanggalan.

Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun
– dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH – menerobos
kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat
tarikan gravitasi ‘bumi jasad’ memberatkan
penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala.
Kini – di bulan ini – ia jadi begitu ringan,
menjelajah ‘langit ruhani’. Carilah bulan – diluar
Ramadlan – saat orang dapat mengkhatamkan tilawah
satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan.
Carilah momentum saat orang berdiri lama di malam hari
menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat.
Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya
melepaskan ‘ular harta’
yang membelitnya. Inilah momen yang membuka
seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan
mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.

Marhaban ya Syahra Ramadlan Marhaban Syahra’ Shiyami
Marhaban ya Syahra Ramadlan Marhaban Syahra’l Qiyami

Keqariban di Tengah Keghariban

Ahli zaman kini mungkin leluasa menertawakan muslim
badui yang bersahaja, saat ia bertanya: "Ya Rasul
ALLAH, dekatkah Tuhan kita, sehingga saya cukup
berbisik saja atau jauhkah Ia sehingga saya harus
berseru kepada-Nya?" Sebagian kita telah begitu
‘canggih’ memperkatakan Tuhan. Yang lain merasa bebas
ketika ‘beban-beban orang bertuhan’ telah mereka
persetankan. Bagaimana rupa hati yang Ia tiada
bertahta disana? Betapa miskinnya anak-anak zaman,
saat mereka saling benci dan bantai. Betapa
sengsaranya mereka saat menikmati kebebasan semu;
makan, minum, seks, riba, suap, syahwat, dan
seterusnya. padahal mereka masih berpijak di
bumi-Nya.

Betapa menyedihkan, kader yang grogi menghadapi
kehidupan dan persoalan, padahal Ia yang memberinya
titah untuk menuturkan pesan suci-Nya. Betapa bodohnya
masinis yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah
kawasan rawan, mesin kereta yang luar biasa tangguh
dan rambu-rambu yang sempurna, lalu masih membawa
keluar lokonya dari rel, untuk kemudian
menangis-nangis lagi di stasiun berikut, meratapi
kekeliruannya. Begitulah berulang seterusnya.

Semua ayat dari 183-187 surat Al-Baqarah bicara secara
tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat yang tidak
menyentuhnya secara tekstual, namun sulit untuk
mengeluarkannya dari inti hikmah puasa. "Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
katakanlah): ‘Sesungguhnya Aku ini dekat…" (Qs. 2
:185).

Apa yang terjadi pada manusia dengan dada hampa
kekariban ini? Mereka jadi pandai tampil dengan wajah
tanpa dosa didepan publik, padahal beberapa menit
sebelum atau sesudah tampilan ini mereka menjadi
drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi menjadi
nyamuk yang zuhud. Mereka menjadi lalat yang terjun
langsung ke bangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang
tak bermalu, atau kera, tukang tiru yang rakus.

Bagaimana mereka menyelesaikan masalah antar mereka?
Bakar rumah, tebang pohon bermil-mil, hancurkan hutan
demi kepentingan pribadi dan keluarga, tawuran antar
warga atau anggota lembaga tinggi negara, bisniskan
hukum, jual bangsa kepada bangsa asing dan rentenir
dunia. Berjuta pil pembunuh mengisi kekosongan hati
ini. Berapa lagi bayi lahir tanpa status bapak yang
syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi keledai
tunggangan para politisi bandit?

Berapa banyak lagi ayat-ayat dan pesan dibacakan
sementara hati tetap membatu? Berapa banyak kurban
berjatuhan sementara sesama saudara saling tidak
peduli?

Nuzul Qur'an di Hira, Nuzul di Hati

Ketika pertama kali Alqur-an diturunkan, ia telah
menjadi petunjuk untuk seluruh manusia. Ia menjadi
petunjuk yang sesungguhnya bagi mereka yang
menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan
larangan-Nya. Ia benar-benar berguna bagi kaum beriman
dan menjadi kerugian bagi kaum yang zalim. Kelak
saatnya orang menyalahkan rambu-rambu, padahal tanpa
rambu-rambu kehidupan menjadi kacau. Ada juga orang
berfikir, malam qadar itu selesai sudah, karena ALLAH
menyatakannya dengan Anzalna-hu (kami telah
menurunkannya), tanpa melihat tajam-tajam pada kata
tanazzalu’l Ma-laikatu wa’l Ruhu (pada malam itu turun
menurunlah Malaikat dan Ruh), dengan kata kerja
permanen. Bila malam adalah malam, saat matahari
terbenam, siapa warga negeri yang tak menemukan malam;
kafirnya dan mukminnya, fasiqnya dan shalihnya,
munafiqnya dan shiddiqnya, Yahudinya dan Nasraninya?
Jadi apakah malam itu malam fisika yang meliput semua
orang di kawasan?

Jadi ketika Ramadlan di gua Hira itu malamnya disebut
malam qadar, saat turun sebuah pedoman hidup yang
terbaca dan terjaga, maka betapa bahagianya setiap
mukmin yang sadar dengan Nuzulnya Al Quran di hati
pada malam qadarnya masing-masing, saat jiwa menemukan
jati dirinya yang selalu merindu dan mencari sang
Pencipta. Yang tetap terbelenggu selama hayat
dikandung badan, seperti badan pun tak dapat
melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada
keterbatasan bagi setiap kesenangan. Batas makanan dan
minuman yang lezat adalah kterbatasan perut dan segala
yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan
libido ialah menghilangnya
kegembiraan di puncak kesenangan. Batas nikmatnya
dunia ialah ketika ajal tiba-tiba menemukan
rambu-rambu: Stop!

Al-Qur'an dulu, baru yang lain

Bacalah Al Quran, ruh yang menghidupkan, sinari
pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan dengan
sirah, niscaya Islam itu terasa ni’mat, harmoni,
mudah, lapang dan serasi. Al-Qur'an membentuk frame
berfikir. Al Qur'an mainstream perjuangan.
Nilai-nilainya menjadi tolok ukur keadilan, kewajaran
dan kesesuaian dengan karakter, fitrah dan watak
manusia. Penguasaan outline-nya menghindarkan
pandangan parsial juz-i. Penda’wahannya dengan
kelengkapan sunnah yang sederhana, menyentuh dan
aksiomatis, akan memudahkan orang memahami Islam,
menjauhkan perselisihan dan menghemat energi ummat.

Betapa da’wah Al Qur'an dengan madrasah tahsin, tahfiz
dan tafhimnya telah membangkitkan kembali semangat
keislaman, bahkan di jantung tempat kelahirannya
sendiri. Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad di garis
depan, jauh sejak awal sejarah ummat ini bermula. Bila
Rasulullah meminta orang menurunkan jenazah dimintanya
yang paling banyak penguasaan Qur'annya. Bila menyusun
komposisi pasukan, diletakkannya pasukan yang lebih
banyak hafalannya. Bahkan di masa awal sekali, ‘unjuk
rasa’ pertama digelar dengan pertanyaan ‘Siapa yang
berani membacakan surat Arrahman di Ka’bah?’. Dan Ibnu
Mas’ud tampil dengan berani dan tak menyesal atau jera
walaupun pingsan dipukuli musyrikin kota Makkah.


Puasa: Da’wah, tarbiah, jihad dan disiplin

Orang yang tertempa makan (sahur) di saat enaknya
orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari
dalam shalat qiyam Ramadlan setelah siangnya
berlapar-haus, atau menahan semua pembatal
lahir-batin, sudah sepantasnya mampu mengatasi
masalah-masalah da’wah dan kehidupannya, tanpa
keluhan, keputusasaan atau kepanikan. Musuh-musuh
ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang
dilahirkan di tengah badai takkan gentar menghadapi
deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam
dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang
dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik
siang.

Mereka terbiasa memburu dan menunggu target
perjuangan, jauh sampai ke akhirat negeri keabadian,
dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar
menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar
orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya
sendiri? "Faqidu’s Syai’ la Yu’thihi" (Yang tak punya
apa-apa tak akan mampu memberi apa-apa).

Wahyu pertama turun di bulan Ramadlan, pertempuran dan
mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan
Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan
Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah
Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan
yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib
zaman.

Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan
hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat
yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yg
menunggu jawaban serius.

No comments: