Ibnu Hibban di dalam bukunya "Raudatul Uqala" mengatakan, “Sunnah Rasulullah SAW menegaskan bahwa setiap pengasuh bertanggung jawab terhadap asuhannya, oleh karena itu setiap pengasuh berkewajiban memelihara hubungannya dengan asuhannya itu. Pengasuh manusia adalah para ulama, pengasuh raja adalah akal sehatnya, pengasuh orang-orang saleh adalah takwanya, pengasuh para pelajar adalah gurunya, pengasuh anak adalah orang tuanya. Setiap orang yang menjadi pemimpin bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya."
Yang lebih wajib lagi dipelihara adalah ikatan antara rakyat dan pemimpin negara, sebab pemimpin itu pengasuh mereka. Pemimpin negara sangat tinggi kedudukannya karena mereka orang yang paling berwenang memberikan perintah, melaksanakan , dan menyelesaikan berbagai masalah. Apabila mereka tidak menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya dan tidak mengarahkan rakyatnya, niscaya mereka akan bobrok dan membobrokkan rakyatnya. Dan bisa jadi dunia akan hancur karena rusaknya seorang pemimpin.
Dari kandungan hadits di atas dapat kita pahami bahwa setiap orang dewasa selalu melakukan suatu bentuk kepemimpinan, baik suami, istri, saudara yang lebih tua terhadap adiknya, pegawai terhadap urusan kerjanya, pemimpin keluarga, pemimpin partai, walikota, gubernur, atau presiden. Dari
sini dapat kita ketahui banyaknya bentuk kepemimpinan.
Bentuk kepemimpinan itu tidak terbatas banyaknya. Ada kepemimpinan itu tidak terbatas banyaknya. Ada kepemimpinan bapak dan ibu terhadap anak-anaknya, penguasa terhadap rakyatnya, dan guru terhadap siswa-siswanya. Ada kepemimpinan rohani, kepemimpinan umum -ini banyak sekali bentuknya- ada kepemimpinan pihak yang menang, dan pihak yang kalah.
Kalau Anda kemukakan berbagai bentuk pemerintahan yang ada di dunia niscaya akan Anda dapati berbagai bentuk kepemimpinan yang sangat banyak jumlahnya. Kalau Anda perhatikan partai-partai yang tengah berjuang merebut kekuasaan di situ terdapat berbagai bentuk kepemimpinan.
Bentuk-bentuk kepemimpinan ini bisa diperoleh secara alami, legal, dan Islami, seperti kepemimpinan suami terhadap istrinya dan bapak terhadap anaknya. Bisa juga diperoleh dengan pewarisan atau pengangkatan, seperti ulama yang mengangkat muridnya menjadi seorang imam. Bisa juga dengan pemilihan dan musyawarah atau pengangkatan, seperti presiden yang mengangkat menteri atau panglima angkatan perang.
Dalam ulasan ini kami tidak akan meliput seluruh bentuk kepemimpinan itu, karena banyak sekali jumlahnya, tak terhitung. Kami memilih beberapa tema yang berguna bagi orang yang membacanya, insya Allah. Baik sebagai pemimpin atau yang dipimpin. Kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang kami anggap penting dalam rangka penyuluhan bagi umat Islam dewasa ini, tentang hal-hal yang mesti disadarinya. Seyogianya umat Islam adalah orang yang paling tahu, paling sempurna, karena dia sebagai muslim dan pengikut Rasulullah SAW.
Mengejar Kepemimpinan
Akhlak seorang muslim tidak mengejar kepemimpinan untuk dirinya. Tidak mendesak dan merebut kepemimpinan dari orang yang layak memiliki kepemimpinan itu. Apabila diberi tanggung jawab kepemimpinan, sementara dia lemah dan tak sanggup memikulnya, hendaknya dia menolak tanggung jawab itu. Kecuali, apabila dia yang harus memegangnya, maka dia wajib melaksanakannya. Bila menghindar berarti berdosa, dan bila melaksanakan kewajibannya itu, dia mendapat pahala. Nash-nash berikut ini menjelaskan hal tersebut di atas, "Itulah negeri akhirat, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan kesombongan di bumi, dan tidak pula menginginkan kerusakan. Dan kesudahan yang baik untuk orang-orang yang bertakwa."
Dari Abdur Rahman bin Samurah, Rasulullah SAW bersabda, “Hai Abdurrahman, janganlah Anda meminta kepemimpinan, kalau kau diberikan karena memintanya berarti itu beban bagimu. Kalau Anda diberikan tanpa memintanya berarti Anda diberikan bantuan dengan tugas itu". (Riwayat ke enam perawi hadits keenam perawi, kecuali Malik)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kalian akan berambisi memperoleh kepemimpinan, dan itu akan menjadi penyesalan nanti pada hari kiamat. Alangkah bahagia orang yang terus menyusui (melaksanakan tugasnya) dan alangkah buruk orang menyapihya (melalaikan tugasnya). (H.R. Bukhari dan Nasai)
Dari Abu Musa katanya, “Aku masuk menemui Nabi bersama-sama dengan dua orang anak pamanku, satu di antaranya berkata, “Wahai Rasulullah berikanlah kepemimpinan kepadaku dari berapa tugas yang diberikan Allah kepadamu, dan yang satu lagi berkata demikian pula. Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya demi Allah kami tidak memberikan tugas ini kepada orang yang memintanya, atau berambisi memperolehnya". (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Nasai)
Dari Abu Dzar katanya, “Wahai Rasulullah tidakkah engkau tugaskan aku? Beliau menepukkan tangannya ke pundakku lau bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu lemah, dan tugas itu amanah, dan (dapat mengakibatkan ) kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang mengambilnya dengan benar dan melaksanakan amanah yang dibebankan kepadanya." (H.R. Muslim)
Dari Ubadah bin Shamit katanya, “Kami melakukan baiat perang kepada Rasulullah agar mendengar dan taat dalam susah dan senang, dalam giat, letih dan berat, agar kami tidak akan menentang tugas yang dipikul oleh ahlinya, agar kami mengatakan yang hak dimanapun kami berada, dan agar tidak takut terhadap celaan orang-orang yang mencela kami di jalan Allah." Demi kian disebut di dalam "Al Bidayah Vol 3 hal 164. Hadits serupa diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim seperti disebutkan dalam Kitab Targib Vol 4 hal.3. apabila seseorang telah ditetapkan memegang suatu kepemimpinan, maka orang yang menghalang-halanginya akan berdosa. Apabila yang telah ditetapkan itu menolak ia pun berdosa.
"Barang siapa yang mengangkat pemimpin suatu jamaah padahal di antara mereka ada orang lain yang lebih disenangi oleh Allah, berarti ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman." Riwayat Hakim dari Ibnu Abbas, dan Suyuti memberikan kode shahih terhadap hadits ini.
Kaidah syara mengatakan: Barang siapa yang ternyata harus melakukan fardu kifayah maka fardu kifayah ini baginya menjadi fardu ain.
Siapa yang melihat bahwa dirinya mampu dan diusulkan oleh orang lain, maka tidak apa-apa baginya untuk tidak menolaknya, ia boleh memelihara hak pencalonan yang diberikan kepadanya, dan terhadapnya diberlakukan hukum-hukum yang berlaku atau kaidah-kaidah yang digunakan. Keenam sahabat yang dicalonkan oleh Umar tidak menolak sama sekali pencalonan itu. Ini berarti permintaan secara implisit, dan ternyata itu dibiarkan saja.
Dalam hal ini Mawardi memberikan komentar , katanya: orang -orang yang bermusyawarah itu berbeda pendapat, tapi hal di atas tidak ditolak dan tidak dicegah.
No comments:
Post a Comment