Tuesday, 6 May 2008

Berbeda Pendapat Dalam Koridor Islam

TUJUAN


Setelah mengikuti penjelasan materi ini, pemirsa diharapkan
mampu :




  1. Menunjukkan perintah Allah untuk senantiasa bersatu dan
    tidak berselisih pendapat



  2. Menunjukkan alasan kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat



  3. Mengungkapkan bahwa perbedaan dalam kehidupan adalah
    sunnatullah



  4. Menunjukkan jenis-jenis perbedaan dalam beragama



  5. Membedakan perbedaan yang terpuji dan perbedaan yang tercela



  6. Menunjukkan adab dalam perbedaan pendapat






POKOK-POKOK MATERI



1. PESAN PERSATUAN



Allah SWT menyerukan umat manusia untuk bersatu dan tidak
berbeda-beda dalam beragama, berpadu dan tidak berselisih faham dalam
menegakkan syari'ah-Nya (QS. 3:102-103). Allah SWT memperingatkan umat Islam
agar tidak terjebak dalam perselisihan beragama seperti yang pernah terjadi
pada umat sebelumnya. (QS. 3:105)






2. KEMUNGKINAN PERBEDAAN



Perbedaan dalam alam semesta adalah sunnatullah
yang membuat kehidupan menjadi harmonis. Perbedaan warna membuat kehidupan
menjadi indah, kita tidak akan dapat mengetahui putih jika tidak pernah ada
hitam, merah, hijau dan warna lainnya. Kita tidak akan dapat bekerja dengan
baik jika jari-jari tangan kita ukuran dan bentuknya sama, seperti telunjuk
semua misalnya, atau kita akan kesulitan mengunyah makanan jika bentuk gigi
kita semuanya sama, taring semua misalnya, dst. Demikanlah harmoni
kehidupan, alam semesta menjadi indah ketika ada perbedaan wujud dan
fungsinya. Perbedaan pada wasa'ilulhayat (sarana hidup).


Permasalahan muncul ketika perbedaan terjadi pada minhajul
hayah
(jalan hidup). Perbedaan itu menjadi sangat membahayakan
ketika terjadi pada dzatuddin (esensi agama). Firman Allah :
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”
QS.
40:13, atau perbedaan yang terjadi pada ushul (dasar-dasar)
yang telah ditetapkan oleh Al Qur'an, AS Sunnah, maupun Ijma'. Sebab
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Al Qur'an, As Sunnah maupun Ijma'
adalah esensi dasar dari ajaran agama yang mempersatukan ajaran Muhammad SAW
dengan ajaran para Nabi sebelumnya (QS. 29: 69, 5:15-16, 2:208), kemudian
perbedaan tanawwu' (penganeka ragaman) dalam pelaksanaan
syari'ah, antara wajib atau sunnah. Wajib ain atau kifayah, dst.


Dengan demikian perbedaan itu dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok berikut ini:



1. Perbedaan pada Dzatuddin (esensi) dan Ushul
(dasar-dasar) prinsipil. Perbedaan inilah diisyaratkan Allah :



“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat
yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang
yang diberi rahmat oleh Tuhanmu”.
QS. 11: 118-119


Inilah perbedaan yang menghasilkan perbedaan agama seperti ,
Yahudi, Nasrani, Majusi, dst. Dan untuk itulah Allah utus para Nabi dan Rasul
untuk menilai dan meluruskan mereka. Firman Allah :



“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul
perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan
pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar,
untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan…”
QS 2:213



2. Perbedaan umat Islam pada Qaidah Kulliyah
(kaidah umum). Perbedaan ini muncul setelah terjadi kesepakatan pada dasar
prinsipil agama Islam. Perbedaan pada masalah inilah yang dapat kita fahami
dari hadits Nabi yang memprediksikan terjadinya perpecahan hingga tujuh puluh
tiga golongan. Perbedaan ini lebih terjadi pada minhaj (konsep)
akibat infiltrasi ajaran Agama dengan konsep lainnya. Seperti akibat
infiltrasi konsep Yahudi, faham materialis, Budhis, dsb. Rasulullah
memberitahukan bahwa di antara umat ini ada yang mengikuti umat sebelumnya
sejengkal demi sejengkal hingga tidak ada lagi eksistensi agama ini kecuali
tinggal namanya. Perbedaan ini berada dalam rentangan dhalal (sesat)
dan hidayah (benar), sunnah dan bid'ah. Seperti perbedaan
Ahlussunnah dan Mu'tazilah, Qadariyah, Rafidhah, dsb.


3. Perbedaan pada Furu'iyyah (cabang). Perbedaan
ini muncul pada tataran aplikatif, setelah terjadi kesepakatan pada
masalah-masalah dasar prinsipil dan kaidah kulliyah. Perbedaan aplikasi ini
sangat mungkin terjadi karena memang Allah telah jadikan furu' (cabang)
syari'ah agama terbuka untuk dianalisa dan dikaji aplikasinya. Al Hasan pernah
ditanya tentang ayat :” …mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Allah …”
QS 11: 118-119, ia katakan
: “adapun orang-orang yang telah memperoleh rahmat Allah, maka mereka tidak
akan berselisih dengan perselisihan yang membahayakannya.


Karena perbedaan pada tataran apliskasi ini suatu keniscayaan
Allah memberikan referensi dasar untuk menjadi titik temu dari semua perbedaan
pemahamam (QS. 4:59)


Maka perbedaan apapun yang muncul dalam tataran
aplikasi/furu'iyyah harus dikembalikan kepada kitab Allah, dan rasul-Nya
semasa hidup atau kepada Sunnahnya setelah rasul wafat.


Porsi perbedaan ini dilakukan oleh para Fuqaha (ahli fiqh)
dalam persoalan furu'iyyah setelah terjadi kesepakatan pada masalah ushul. Al
Baghdadiy, mengatakan : “ Siapapun yang mengidentikkan diri dengan Islam,
menyadari sepenuhnya bahwa perbedaan yang tercela (sebagai ahlunnar dari 73
golongan) adalah perbedaan fuqaha dalam masalah furu'iyyah fiqh. Untuk
menghadapi perbedaan halal-haram dalam masalah fiqh saja terdapat dua alur:



a. pendapat yang membenarkan semua pendapat mujtahid dalam
masalah fiqh, atau dengan kata lain ijtihad fiqhiyyah/furu'iyyah adalah
“semua benar”


b. pandangan yang menganggap bahwa ada satu kebenaran dari
perbedaan yang bermacam-macam itu, selainnya salah, tetapi berpahala juga,
artinya tidak tersesat.



Sampai di sini dapat kita fahami pandangan Imam Syahid Hasan
Al Banna yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan) fiqhiy dalam
masalah-masalah furu'iyyah tidak boleh menjadi sebab perpecahan, permusuhan,
dan kebencian. Setiap mujtahid telah memperoleh balasannya. Sabda Nabi : “Jika
seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya benar maka memperoleh dua pahala, dan
jika ijtihadnya salah ia memperoleh satu pahala
”.


3. MENYIKAPI PERBEDAAN



Perbedaan dalam masalah ijtihadiyyah diakui dalam syari'ah
samawiyah
(agama samawiy) terdahulu seperti yang terjadi antara Nabi
Sulaiman dan Nabi Dawud dalam masalah tanaman yang dimakan kambing seperti
yang diceritakan pada surah Al Anbiya/21:78 dst. Pada kasus ini Nabi Dawud
memutuskan bahwa pemilik kambing harus membayar ganti rugi sebesar nilai
kerusakan, dan ternyata harga kambing senilai kerusakan. Maka kambing itu
diserahkan kepada pemilik kebun. Berbeda dengan Nabi Sulaiman yang
memutuskan agar kambing diserahkan kepada pemilik kebun untuk diambil
manfaatnya (susu dan bulu), sedang ladang diserahkan kepada pemilik kambing
untuk dirawat, dan masing-masing akan mendapat miliknya kembali setelah
klop. Allah memilih ijtihad Nabi Sulaiman, akan tetapi hal ini tidak akan
mengurangi derajat Nabi Dawud di sisi Allah, karena masing-masing telah
diberi kelebihan hikmah dan ilmu. Dan masing-masing adalah mujtahid yang
mengambil keputusan setelah berfikir mendalam.


Dalam Islam kejadian serupa pernah pula terjadi, seperti
ijtihad Rasulullah pada peristiwa qath'ulliynah (penebangan
pohon kurma, QS. 59:5), tebusan tawanan perang Badr ( QS. 8:67) dsb.


Demikian juga Rasulullah SAW menyikapi perbedaan yang
terjadi di kalangan sahabat, dengan memberikan pembenaran kepada mereka yang
berbeda pendapat dalam ijtihad aplikatif. Seperti perbedaan pendapat dua
sahabat yang diutus ke Bani Quraidhah, antara yang shalat ashar di tengah
perjalanan dan yang shalat menunggu sampai di tempat tujuan setelah lewat
waktu Ashar. Begitu juga sikap Nabi terhadap dua sahabat yang berbeda
pendapat tentang shalat dengan tayammum, karena tidak ada air. Kemudian
sebelum habis waktu shalat, mendapati air. Ada yang mengulang dan ada yang
tidak.


Salafus-shalih menempatkan perbedaan pendapat ini sebagai
salah satu bentuk rahmat Allah. Umar bin Abdul Azis mengatakan :” Saya
tidak suka jika para sahabat tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka
berada dalam satu kata saja tentu akan menyulitkan umat Islam. Merekalah aimmah
(para pemimpin) yang menjadi teladan, siapapun yang mengambil salah satu
pendapat mereka tentulah sesuai dengan Sunnah”.


Ketika Abu Ja'far Al Mansur hendak menjadikan umat hanya
berkiblat pada Al Muwattha'nya Imam Malik rahimahullah. Kata Imam Malik :
“ Jangan kamu lakukan wahai khalifah. Karena sesungguhnya umat telah
banyak memperoleh fatwa, mendengar hadits, meriwayatkan hadits. Dan mereka
telah menjadikannya sebagai panduan amal. Merubah mareka dari kebiasaan itu
sungguh sesuatu yang sulit, maka biarkanlah umat mengerjakan apa yang mereka
fahami ”


Dari penjelasan di atas, maka perlu dirumuskan adab yang
harus dipegang oleh setiap mujtahid dalam melakukan penelitian masalah
khilaf far'iy sebagaimana yang pernah ada pada sahabat dan para pengikutnya.
Spirit perbedaan itu harus tetap berada dalam semangat mahabbah fillah
(cinta karena Allah) ta'awun (kerja sama) untuk mencapai
kebenaran, dengan tetap menjauhkan diri dari perdebatan dan fanatisme
aliran.





4. ADAB BERDISKUSI DAN BERBEDA PENDAPAT



Ketika diskusi dijadikan sebagai salah satu cara efektif
dalam mencari kebenaran, maka mutlak dirumuskan syarat dan adab dalam
berdiskusi, agar tujuan menggapai ridha Allah dalam penelitian dapat
terealisir. Adab itu ialah :



1. Tidak mendahului fardhu ain (yang harus
dikerjakan setiap orang) dengan fardhu kifayah yang menjadi otoritasnya dalam
standar syar'iy. Ada ulama yang mengatakan :”Barang siapa yang belum
melaksanakan fardhu ain lalu ia menyibukkan diri dengan fardhu kifayah, dan
menganggapnya mencari kebenaran, maka anggapannya itu dusta”


2. Tidak mendiskusikan sesuatu kecuali yang waqi'iy
(faktual) atau yang mungkin terjadi pada umumnya. Para salaf hanya
mendiskusikan sesuatu yang terjadi atau mungkin terjadi.


3. Dialog tertutup lebih baik dari pada forum terbuka di
hadapan para pembesar maupun penguasa. Suasana tertutup lebih mencerminkan mahabbatullah
(cinta Allah) dan kejernihan hati dan perasaan untuk memperoleh kebenaran.
Sedang dalam forum terbuka akan mendorong kecenderungan riya' atau semangat
mengalahkan lawan, benar atau salah.


4. Dialog adalah mencari kebenaran. Tidak boleh membedakan
sikap apakah kebenaran itu muncul dari dirinya atau dari orang lain. Memandang
teman bicara sebagai pendamping mencari kebenaran bukan lawan yang harus
dikalahkan. Bersyukur ketika ia bisa menunjukkan kesalahan dan menawarkan
kebenaran. Umar bin Khatthab setelah menetapkan jumlah bilangan mahar, lalu
ditegur oleh seorang wanita yang menolak ketetapan itu, kata Umar : “Betul
wanita itu dan Umar salah
”. As Syafi'iy berkata: “ Saya tidak
pernah berdiskusi dengan siapapun, kecuali saya berharap agar kebenaran akan
keluar darinya”


5. Tidak menghalangi fihak lain menggunakan satu dalil ke
dalil lain, atau dari satu probelem ke problem lain.


6. Tidak melakukan diskusi kecuali dengan orang yang dianggap
akan dapat diambil ilmunya.



Dengan memperhatikan adab dan syarat dalam berdiskusi ini
maka spirit mahabbah fillah (cinta karena Allah) dan Ta'awun
(kerja sama) untuk mencapai kebenaran akan terealisir.



No comments: