Pendahuluan
Ini merupakan Risalah pertama yang berjudul asli “Bainal Amsi wal Yaum” (Antara kemarin dan hari ini) diterbitkan sebelum Perang Dunia Kedua. Meskipun dibuat Asy Syahid lebih dari setengah abad yang lalu, namun isinya masih terasa sangat dibutuhkan oleh ummat Islam, terutama untuk menjembatani ‘bahasa dakwah’ di zaman Nabi SAW dengan bahasa dunia modern hari ini.
Risalah Nabi yang Terpercaya
Sejak 1376 tahun yang lalu Muhammad bin Abdullah, seorang nabi yang umi telah berseru di Makkah, di atas Bukit Shafa,
“Hai sekalian manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian. Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, seorang nabi yang umi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (Al-A’raf : 158)
Dakwah yang integral itu merupakan garis pembatas di alam semesta ini, pemisah antara hari kemarin yang gelap gulita dan masa kini yang indah sejahtera, serta masa depan yang terang benderang. Dia juga merupakan proklamator yang mendeklarasikan sebuah sistem baru, yang syar’i (pencetus syari’at) nya adalah Allah sendiri, Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Melihat.
Muballighnya adalah Muhammad sang pemberi kabar gembira dan ancaman. Ktabnya adalah Al-Qur’an yang jelas dan terang. Para jundi-nya adalah kaum muhajirin dan anshar, dan siapa saja yang ber-itiba’ kepada mereka secara ihsan. Sistem itu bukan produk manusia, melainkan shibghah Allah. Adakah shibghah yang lebih baik dari shibghah-Nya?
“Sebelumnya kaumu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) itu, dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan Al-Qur’an itu sebagai cahaya, yang kami tunjuki dengan dia siapa-siapa saja yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya Kami benar-benar menunjukkan kepadanya jalan yang lurus, (yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, kepada Allahlah kembalinya segala urusan.” (Asy-Syura : 52 - 53)
Manhaj Al Qur’an dalam perbaikan sosial
Al-Qur’an adalah kitab yang sarat dengan asas-asas perbaikan sosial yang syamil (utuh, menyeluruh) sejak awal diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., Al-Qur’an mendeklarasikan asas-asas itu dari waktu, sesuai dengan waqi’ (realitas) yang ada.
“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Al Furqon 32-33).
Sungguh Allah telah mengumpulkan untuk ummat ini sebuah penjelasan bagi segala sesuatu, termasuk di dalamnya asas-asas perbaikan sosial yang sempurna. Asas-asas tersebut adalah :
1. Rabbaniyah.
Manhaj Qur’an ini bersifat Rabbaniyah, artinya jauh dari kepentingan rendah manusia yang bersifat egois dan indvidual dan sebaliknya justru bertujuan untuk menempatkan manusia kepada keadaannya yang paling mulia diantara makhluk-makhluk Allah lainnya dalam sebuah harmoni sosial yang sempurna. Karena sifatnya ini, manhaj Qur’an juga tidak mengingkari fitrah manusia dan menghindari manusia dari bahaya bagi dirinya sendiri.
2. Ketinggian kualitas jiwa manusia.
Manhaj ini mengantarkan manusia kepada sifat-sifat mulia yang mendapakan penghargaan yang tinggi dari Rabbnya. Dengan ketinggian kualitas jiwa yang dicapainya, seorang manusia tidak akan lagi terjebak kepada kepentingan sesaat yang fana dan egois karena mengharapkan imbalan kemuliaan yang ukurannya di luar ukuran duniawi.
3. Penegasan terhadap keyakinan adanya jaza’ (balasan) atas setiap amal.
Manhaj ini menegaskan bahwa manusia memang berhak atas imbalan atau jaza’ atas apa yang diperbuatnya, baik atau buruk. Namun Manhaj ini memperluas batasan jaza’ ke waktu yang lebih pasti di mana keadilan pasti tegak karena hakim pada hari itu adalah Hakim yang Maha Agung dan Maha Adil. Jika ketidak adilan di dunia tidak terbalas, maka Keadilan di Akhirat sifatnya lebih Dahsyat dan Tegas, sehingga jika setiap manusia mengetahui apa yang ada di Hari Pembalasan nanti pasti akan lebih memilih pengadilan di dunia dan akan berbuat adil kepada semua orang. Bagi yang dizhalimi di dunia Allah menyediakan pahala sabar. Seorang ahli sosiologi barat pernah berkata : “Ide tentang adanya akhirat adalah ide yang bagus, sehingga jikapun seseorang tidak percaya akan adanya hari semacam itu, sebaiknya ia hidup seolah percaya akan adanya hari itu. Dengan demikian ia akan hidup berdamai dengan sesama.” Jika seorang kafir saja merasa perlu akan ‘ide’ tentang adanya Akhirat demi untuk kedamaian dunia, mengapa seorang Muslim sering melupakannya?
4. Deklarasi ukhuwah antar sesama manusia.
Manhaj Qur’an ini mengandung deklarasi ukhuwah yang tidak pernah ada dalam risalah agama lain. Dengan konsep ukhuwah ini setiap manusia diberi bingkai bagaimana bersikap kepada setiap orang sesuai dengan keadaan masing-masing. Konsep ukhuwah dalam Islam bahkan dapat membuat 2 orang yang tidak bersaudara mampu bersikap bagaikan kaka-beradiik bahkan lebih erat lagi, dan sebaliknya konsep Ukhuwah Islamiyah juga menegaskan bagaimana sikap tegas dan adil kita kepada kerabat kita yang ingkar kepada Allah atau berbuat kesalahan. Deklarasi ukhuwah Islamiyah tidak tertipu dengan ikatan-ikatan duniawi yang ditakdirkan Allah sebagai ujian di dunia yang tidak seharusnya dipatuhi jika ikatan tersebut membahayakan akhirat seseorang. (Mis kosep suarga nunut neraka katut.)
5. Bangkitnya laki-laki dan perempuan secara bersama-sama, mengumumkan adanya takaful dan emansipasi serta menetapkan tugas masing-masing secara rinci dan adil.
Diakui tidak ada sebuah konsep hidup yang manapun selain Islam yang mampu mendudukkan pria dan wanita pada kedudukannya yang sesuai dengan kodrat masing-masing. Dengan kedudukan yang sesuai ini pria dan wanita dapat bekerja sama secara optimal tanpa ada yang menzhalimi dan di zhalimi. Tanpa ada pihak yang meninggalkan atau ditinggalkan dan juga tidak perlu ada pihak lain yang menjadi korban, misalnya anak-anak, masyarakat atau orangtua. Kedudukan setiap individu dalam masyarakat berdasarkan manhaj Qur’ani ini sudah sangat sesuai dengan tuntutan keadilan semua pihak.
6. Jaminan sosial akan hak hidup, hak pemilikan, lapangan kerja, kesehatan, kebebasan, pengajaran, dan keamanan serta menentukan sumber-sumber penghasilan.
Manhaj Qur’ani ini diperlengkapi juga dengan perangkat yang sekarang disebut sebagai hak-hak asasi manusia (HAM). Bahkan dalam HAM versi Manhaj Qur’ani ini selain paling lengkap dibanding HAM versi ideologi / sistem hidup lain, juga telah dirinci lagi berbagai Had (hukum pidana dan perdata di masyarakat) dan perangkat hukum lainnya sampai kepada konsep memaafkan dan pembayaran ganti rugi. Sekali lagi kita lihat bahwa Manhaj Qur’ani memang berciri Rabbani.
7. Penentuan 2 macam gharizah (kecenderungan) : Kecenderungan untuk memelihara jiwa dan memelihara keturunan serta mengatur berbagai tuntutan terkait dengan makanan dan pemenuhan kebutuhan sexual.
Dalam usaha pemeliharaan kesucian jiwa manusia, Manhaj Qur’ani memperlihatkan 2 jalan untuk setiap kecenderungan: Halal dan Haram. Manusia berhak penuh untuk memilih dan juga bertanggung jawab penuh untuk memikul konsekuensinya.
8. Tegas dalam memerangi berbagai tidak kriminal dan pelanggaran hak asasi manusia.
Ketegasan dalam hukum pidana dan perdata dan juga tersedianya konsep bagaimana seorang hakim seharusnya bertindak (ijtihad benar: dapat 2 pahala, salah: dapat 1), bagaimana memperlakukan terpidana (contoh tentang pezina yang dirajam kemudian dinyatakan bahwa ampunan untuknya cukup untuk mengampuni seluruh penduduk Madinah saat itu), pertimbangan-pertimbangan berdasarkan keadilan sosial, semua itu menjadi alasan yang kuat bagi tobatnya kejahatan dan penjahat dalam setiap relung masyarakat.
9. Penegasan akan pentingnya wihdatul ummah dan mengkikis habis semua bentuk perpecahan.
Dalam konsep Qur’ani ini, persatuan ummat didahulukan bahkan dicontohkan oleh para sahabat, hal ini lebih didahulukan dari pada pengurusan jenazah Rasul SAW. Contoh yang diberikan oleh Rasul SAW sendiri adalah bagaimana beliau SAW mempersaudarakan 2 kelompok musuh bebuyutan Aus dan Khazraj. Juga tentang bagaimana ba’da Fathu Makkah Rasul SAW memilih pulang ke Madinah bersama Muhajirin dan Anshar dari pada pulang kampung menetap di Makkah.
10. Mewajibkan ummat untuk berjihad untuk memperjuangkan prinsip-prinsip al haq yang digariskan oleh sistem ini.
Didunia yang penuh cobaan ini, kekuatan adalah unsur yang tak dapat diabaikan. Selama masih di dunia selalu saja ada kuat ada lemah. Yang kuat selalu saja (merupakan sunnatullah) menang. Konsep Jihad memayungi seluruh ajaran Islam sebagai atap memayungi bangunan. Tak ada gunanya kemenangan fikrah jika tidak dibarengi dengan kemenangan secara faktual (fisik), dan tidak mungkin kemenangan tsb tetap terpelihara jika tidak di jaga oleh kekuatan pasukan yang Ikhlash. Konsep Jihad sekali lagi membuktikan ke-syamil-an Manhaj Qur’ani ini.
11. Menjadikan daulah sebagai sarana bagi perwujudan dan pemeliharaan fikrah, bertanggung-jawab mewujudkan sasarannya di masyarakat dan mentransformasikannya kepada sekalian manusia.
Dalam Manhaj Qur’ani, daulah atau negara memegang peran yang khusus dan penting. Dengan adanya negara yang berdaulat segala hukum dan syari’at Islam ditegakkan dengan wujudnya yang optimal. Negara bertanggung jawab atas tercapainya sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan Dienul Islam, bersama-sama dengan setiap individu dalam masyarakat, juga untuk pemeliharaannya. Baik dari sisi pencapaian maupun pemeliharaan Aqidah, Fikrah dan Syari’at Islam; maupun pencapaian dan pemeliharaan Keamanan, keutuhan, persatuan, keadilan sosial dan kaderisasi ummat.
Syi’ar-syi’ar terapan dalam sistem ini
Nizham (sistem perundang-undangan) Qur’ani berbeda dengan sistem-sistem lain yang dibuat oleh manusia. Semua sistem perundang-undangan buatan manusia hanya berlandaskan teori hasil otak atik otak manusia yang dha’if dan dibingkai oleh zhon-zhon (dugaan-dugaan) yang kadang benar kadang salah karena tidak merujuk kepada wahyu dari Rabb Semesta Alam. Nizham semacam itu pastilah banyak kekurangan dan seringkali tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata karena tidak sesuai bahkan bertentangan dengan futrah manusia yang telah ditentukan Allah.
Nizham Qur’ani bukan hanya merupakan sekumpulan prinsip yang sempurna dan menyeluruh (syamil-mutakamil), tetapi juga sanggup untuk hidup di dalam jiwa para penganutnya dan menghidupkan jiwa tersebut dari kematiannya kepada kehidupan yang sempurna. Nizham Qur’ani juga sanggup tampil dalam bentuk yang aplikatif (dapat diterapkan), sesuai dengan segala zaman, segala keadaan dan segala bangsa. Itu semua tertuang dalam amal-amal terapan yang komplit menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia, sejak bangun tidur hingga berangkat tidur lagi, sejak urusan hati sampai urusan jual beli, dst. Syi’ar-syi’ar terapan tersebut juga mengandung nilai nilai yang menyurh manusia ke arah kebajikan dan berita gembiranya (amar ma’ruf dan basyiro) serta melarang manusia menuju ke arah kejahatan dan berita buruk (nahi mungkar dan nadziro). Semua itu kita fahami dalam konsep dosa-pahala. Semuanya menggambarkan batas-batas Islam dan yang selainnya, sehingga tidak ada lagi keraguan atas mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah.
Amal-amal fardhu terpenting yang oleh sistem ini dijadikan sebagai pijakan untuk menanamkan mabadi’ (prinsip-prinsip/ dasar-dasar) nya adalah:
1. Shalat, dzikir, taubat, istighfar dan yang sejenisnya (mengandung do’a/permohonan).
2. Shaum, ’iffah dan wara’ (hati-hati menjaga diri dari kemewahan).
3. Zakat, shadaqah dan infaq di jalan kebaikan.
4. Hajji, siyahah, rihlah mengungkap dan menganalisa alam malakut Allah.
5. Bekerja, mencari penghasilan, dan diharamkannya meminta-minta.
6. Jihad, perang, menyiapkan tentara/militer, dan merawat keluarga dan kepentingan mereka setelah mereka meninggal.
7. Amar bil ma’ruf dan memberi nasehat.
8. Nahyu ‘anil munkar dan memboikot pelaku kemungkaran.
9. Berbekal ilmu dan ma’rifah bagi setiap muslim/muslimah dalam berbagai sisi kehidupan sesuai dengan kondisi.
10. Melakukan muamalah dengan baik dan menjaga akhlaq yang baik/mulia.
11. Memperhatikan kesehatan tubuh dan menjaga kebaikan indera.
12. Solidaritas sosial (yang timbal balik) antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin, berupa ri’ayah (dari pemimpin) dan ketaatan (dari yang dipimpin) secara bersamaan.
Setiap muslim berkewajiban menepati syi’ar-syi’ar ini dalam keseharian kehidupannya setiap saat sehingga akan tampak atsar-atsarnya dalam masyarakat.
No comments:
Post a Comment