Setelah Anda mengetahui hal ini, marilah Anda ikut saya ke tempat peristirahatan yang khusus. Apabila Anda meletakkan barang-barang bawaan Anda di tempat tersebut, maka Anda akan bernafas dengan nafas-nafas keimanan. Anda akan berbekal takwa. Diri Anda akan bersinar terang dengan cahaya ruhaniyah. Dan Anda akan menjadi insan yang shalih, mukmin dan bertakwa, muslim yang berwibawa dan orang yang mukhlis., bahkan jika Anda berjalan maka dalam jalan Anda akan ada ketenangan. Apabila Anda berbicara, maka dalam pembicaraan Anda pengaruh yang kuat. Apabila Anda berbuat, maka perbuatan Anda adalah qudwah. Apabila Anda muncul, maka raut muka Anda ada daya tarik tersendiri. Dan apabila Anda melihat, maka dalam penglihatan Anda ada cahaya terang.
Di tempat ini Anda akan menemukan proses tarbiyah dan mujahadah yang akan menjadi sumber inspirasi dan pendorong ruhiyah seorang da’iyah.
Bahkan tempat peristirahatan tadi akan menjadi penggerak utama baginya dalam memikul tanggung jawab. Ia akan menjadi pengemudi yang afdhal dalam menempuh perjalanan istiqamah. Dan menjadi pengingat dari kesalahan dan penyelewengan.
Apabila seorang daiyah tidak mempunyai petunjuk-petunjuk ruhiyah yang menyeluruh, maka hidupnya akan kosong dari kesan dan pengaruh. Ia akan jatuh dan sarang ujub, nifaq dan riya’. Ia akan terjerumus dalam lumpur ghurur, ananiyah (egoisme) dan sombong. Ia berjalan ke arah dakwah karena didorong kepentingan pribadi bukan karena Allah. Ia membangun kejayaan hanya untuk sendiri bukan untuk Islam . dan beramal hanya untuk dunianya bukan untuk akhiratnya.
Sesungguhnya Alquran Al Karim dalam tinjauannya yang syamil terhadap alam raya, kehidupan, dan insan telah menjelaskan kepada kita manhaj amaly dalam proses penyiapan ruh insan, pembentukan keimanannya dan tarbiyah kejiwaannya.
Allah berfirman dalam surat Al Anfal ayat 29:
“Hai orang –orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosamu). Dan Allah mempunyai karunia yang besar”.
Allah berfirman dalam surat Al Hadid ayat 28:
“ Hai orang –orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepada kalian dua bagian dan menjadikan untuk kalian cahaya yang dengan cahaya itu kalian dapat berjalan dan Dia mengampuni kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang:.
Firman Allah dalam surat Ath Tholaq ayat 2 dan 3:
“ Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (bagi segala persoalannya). Dan memberikannya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya”.
Mari kita renungkan ayat-ayat di atas kira-kira apakah yang kita dapatkan ? Mari kira renungkan ayat-ayat di atas kira-kira apakah yang kita dapatkan?
Kita dapati bahwa takwa kepada Allah Azza Wa Jalla adalah kebajikan dan cahaya.
Dengan takwa kepada Allah Azza Wa Jalla seorang mukmin bisa membedakan yang haq dan batil.
Allah akan memberikan cahaya bagi orang yang bertakwa yang dengannya ia jalan di kalangan manusia kemudian mereka mengikuti petunjuknya dan bersinar dengannya.
Akan menemukan jalan keluar meski banyak menemui kesulitan dan kendati banyak mengalami cobaan. Sayyid Qutb berkata dalam tafsirnya mengenai firman Allah dalam surat Al Anfal ayat 29:
“ Inilah bekal tersebut. Inilah bekal dalam mengarungi perjalanan yang panjang… Yaitu bekal takwa yang menghidupkan hati dan membangunkannya… Yaitu bekal cahaya yang memberi petunjuk bagi hati untuk membelah sudut-sudut jalan sepanjang penglihatan manusia. Cahaya ini tidak bisa ditipu oleh syubhat-syubhat yang mata biasa tidak bisa menembusnya. Itulah bekal ampunan bagi segala dosa. Bekal yang memberikan ketenteraman, kesejukan dan kemantapan. Dan bekal merenungi nikmat-nikmat Allah Yang Maha Agung di hari bekal-bekal tersebut dibutuhkan dan di hari amal perbuatan manusia berkurang…
Itulah hakikat sebenarnya: bahwa takwa kepada Allah itu menjadikan furqon dalam hati. Ia bisa membuka jalan-jalan yang bengkok. Tetapi hakikat ini sebagaimana seluruh hakikat aqidah tidak bisa diketahui kecuali oleh orang-orang yang benar-benar merasakannya!
Sesungguhnya perkara itu senantiasa semrawut tidak jelas dalam perasaan dan akal. Jalan-jalan itu senantiasa bercampur aduk dalam pandangan dan pikiran. Kebatilan itu selalu bercampur dengan kebenaran ketika meninggalkan jalan tersebut. Dan hujah pun tidak bisa memberikan kepuasan dan tidak berguna sama sekali bahkan hati dan akal pun tidak bergeming untuk menyambutnya. Debat menjadi sia-sia. Diskusi tidak memberikan hasil. Itu semua bagi orang yang tidak mempunyai sifat takwa. Takwa akan menyinari akal, menjelaskan yang haq, menyingkap jalan, menenteramkan hati, menenangkan ruhani, memantapkan langkah dan mengokohkan prinsip…!
Sesungguhnya al haq itu sendiri tidak menutup-nutupi fitrah, tetapi hawa nafsulah yang menolak al haq dan fitrah . Hawa nafsu itulah yang menyebarluaskan kelaliman, menghalang-halangi penglihatan dan membutakan jalan-jalan kebenaran serta merahasiakan petunjuk. Hawa nafsu itu tidak bisa hanya didorong dan didukung oleh hujjah tetapi ia hanya bisa digerakkan dan ditopang oleh takwa, rasa takut kepada Allah dan muraqabah Allah di saat sepi maupun ramai. Dengan sendirinya furqan itulah yang menyinari hati, menghilangkan kerancuan dan membelah jalan-jalan kebenaran..!
Apabila takwa mempunyai urgensi seperti di atas. Apakah takwa yang hakiki itu? Bagaimana bisa sampai ke arah tingkatan takwa.
Takwa adalah hasil yang pasti. Ia adalah buah nyata dari perasaan yang mempunyai keimanan yang dalam . Keimanan ini bersambung dengan muraqabah Allah Azza Wa Jalla, takut kepada-Nya dan takut akan marah dan siksaan-Nya dan senantiasa memohon ampunan-Nya dan pahala dari Allah.
Atau takwa itu -sebagaimana dikatakan oleh ulama -adalah: “Menjauhi (takut) azab Allah dengan mengerjakan amalan yang shalih dan takut kepada-Nya di saat sepi dan ramai.”.
Berpijak dari sinilah Al Quran sangat memperhatikan fadhilah takwa. Hal ini bisa di jumpai dalam berbagai ayat – ayat yang bayyinah. Sehingga hampir-hampir orang yang membaca Al Qur’an belum sampai membaca satu halaman atau baru membaca beberapa ayat melainkan di situ ia mendapati kata takwa.
Dari sinilah para sahabat dan salafush shalih serius memperhatikan takwa. Mereka benar-benar telah mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata, bersungguh-sungguh ingin mencapai derajat takwa dan meminta sifat takwa kepada Allah SAT.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa umar Al Faruq bertanya kepada Ubay bin Ka’ab mengenai apa itu takwa. Ubay bin Ka’ab menjawab: “Bukankah Anda pernah melewati jalan yang berduri?” Umar menjawab: “Ya benar”. Ubay berkata: “Itulah takwa”.
Atas dasar itulah , Sayyid Qutb berkata dalam tafsirnya “Fi Zilalil quran: “ Itulah takwa. (yaitu ) hati yang sensitif, perasaan yang jernih, ketakutan yang terus menerus (kepada Allah), kewaspadaan yang tidak henti-hentinya dan menjauhi duri-duri jalan. Yaitu jalan kehidupan yang senantiasa diliputi duri-duri jalan. Yaitu jalan kehidupan yang senantiasa diliputi pengharapan yang tak bermakna dan syahwat. Duri-duri ketamakan dan ambisi. Duri-duri ketakutan dan kecemasan. Duri-duri takut terhadap sesuatu yang tidak mempunyai manfaat maupun mudarat. Dan berpuluh-puluh duri-duri yang lain.
Itulah kelebihan dan pengaruh takwa. Takwa adalah sumber akhlak yang mulia. Takwa adalah jalan satu-satunya dalam memberantas kerusakan, kejahatan dan kemaksiatan. Bahkan takwa adalah rukun yang asasi dalam pembentukan jiwa dan akhlak seorang untuk menghadapi suka duka kehidupan, membedakan yang baik dan yang buruk dan sabar dalam menerima cobaan dan musibah.
Namun , jalan untuk mencapai tidaklah mudah. Ada wasail yang harus dikerjakan untuk mencapainya.:
A. Mu’hadah
Mu’ahadah yang asal adalah firman Allah Ta’ala dalam surat An Nahl ayat 91:
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji dan janganlah kalian membatalkan sumpah-sumpah kalian itu, sesudah meneguhkannya, sedang kalian telah menjadikan Allah sebagai saksi kalian (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalain perbuat”.
Kaifiyatul mu’ahadah ialah: “Seorang mukmin menyendiri dengan Rabb-nya dan berkata kepada jiwanya:”wahai jiwaku, sesungguhnya aku telah menyerahkan janji kepada Allah dalam kegiatan sehari-hair di hadapan Allah Subhanallah Wa Ta’a;a dan memanjatkan do’a:
“Hanya kepada-Mu lah ya Allah aku beribadah dan meminta pertolongan . Tunjukilah aku ke jalan yang lurus( Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat bukan jalan orang-orang yang Engkau marahi dan orang-orang yang sesat”.
Wahai jiwaku. Bukankah dalam munajat yang telah engkau ucapkan di hadapan Allah adalah ikrar dari engkau bahwa engkau tidak akan beribadah kecuali kepada Allah. Engkau tidak akan meminta pertolongan melainkan hanya kepada Allah. Dan engkau akan iltizam dengan jalan Allah yang lurus.. Ketahuilah wahai jiwaku. Bahwa jalan tersebut adalah Islam. Dan Engkau juga berjanji akan menyingkir jauh-jauh dari jalan orang-orang yang sesat dan dimarahi Allah dari para pemeluk agama selain Islam.
Jikalau demikian wahai jiwaku hendaklah engkau berhati-hati jangan sekali-kali engkau mengkhianati janji setelah sebelumnya engkau menjadikan Allah sebagai pengawas. Jagalah dirimu jangan sampai berpaling dari jalan yang telah digariskan Islam setelah sebelumnya engkau menjanjikan Allah sebagi saksi bagi sumpah dan janjimu. Waspadalah jangan sampai engkau mendekati atau mengikuti jalan kelompok-kelompok yang sesat lagi menyesatkan setelah sebelum ini engkau menjadikan Allah sebagai jaminan bagi janjimu..
Wahai jiwaku, jangan sampai engkau kufur setelah adanya iman dalam dirimu. Jauhkanlah dirimu dari kesesatan setelah adanya petunjuk dan janganlah engkau fasiq setelah engkau iltizam sebelumnya.
Barang siapa yang melanggar janji sesungguhnya ia hanyalah melanggar janjinya sendiri. Barang siapa yang sesat maka sesungguhnya ia telah menyesatkan dirinya sendiri. Dan seseorang itu tidak akan menanggung dosa orang lain dan Allah tidak akan menurunkan siksa-Nya melainkan setelah datangnya Rasul.
Menurut saya wahai akhi da’iyah sesungguhnya apabila Anda mengikat diri Anda setiap hari untuk iltizam dengan janji-janji ini yang Anda berikan tiap hari dan malam sebanyak tujuh belas kali atau lebih kemudian Anda menepati janji tersebut dan melaksanakannya, maka sesungguhnya Anda mulai naik menuju tangga takwa. Anda berjalan menuju ruhaniyah,. Dan di akhir perjalanan Anda sampai menjadi orang-orang yang bertakwa.
B. Muraqabah.
Sebenarnya muraqabah adalah firman Allah Tabaraka wa Ta’ala dalam surat Asy Syura ayat 18 – 19.
“ Allah yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk mendirikan shalat). Dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.
Dan sabda Rasulullah SAW ketika beliau ditanya apa itu ihsan:
“Yaiut engkau hendaklah beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat Allah. Jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu”. (HR. Muslim).
Arti muraqabah berdasarkan ayat Allah dan sabda Rasulullah tadi adalah menghadirkan kebesaran dan keagungan Allah di setiap waktu dan kondisi dan muraqabah Allah dalam waktu sendirian maupun waktu ramai.
Kaifiyat muraqabah adalah:”Hendaklah seorang mukmin memeriksa dirinya sebelum melakukan sesuatu pekerjaan atau di tengah-tengah proses kerja. Apakah pekerjaan ini digerakkan oleh kepentingan pribadi dan mencari sanjungan atau kemasyhuran?
Ataukah ini digerakkan oleh keridhaan Allah dan mencari pahala dari –Nya.?!!
Apabila pekerjaan tersebut didorong karena Allah maka hendaknya ia terus melangkah ke depan tanpa ragu-ragu. Tapi sebaliknya jika digerakkan hawa nafsu maka sepatutnyalah ia berpaling dari padanya, meninggalkannya dan memperbaharui niat kembali dan bertekad untuk memulai mengerjakan amalan yang baru dengan tajarrud dari semua kepentingan pribadi, ikhlas dan mencari keridhaan Allah semata.
Menurut saya itulah ikhlas dan tajarrud yang sebenarnya dan itulah pembebasan yang menyeluruh dari tempat-tempat nifaq dab riya’
Imam Hasan Basri -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Semoga Allah merahmati seseorang hamba yang serius memperhatikan niatnya. Apabila niatnya itu Lillah maka ia terus berjalan dan apabila bukan karena Allah ia berhenti tidak meneruskan amalan tersebut”.
Muraqabah Allah bagi seorang hamba itu bermacam-macam: Muraqabah Allah dalam hal-hal yang mubah maka muraqabah ini dengan jalan menjaga norma-norma dan mensyukuri nikmat.
Menurut saya-wahai akhi da’iyah- sesungguhnya jika Anda mempunyai muraqabah Allah sampai ke tingkatan ini maka dengan tidak ragu-ragu lagi Anda telah menapaki jalan takwa, Anda melangkah ke jalan ruhaniyah dan di penghujung akhir Anda tiba di tempat orang-orang yang bertakwa..!
(Diterjemahkan oleh Fadhi Bahri dari Majalah Al-Mujtama)
No comments:
Post a Comment