Da’wah adalah upaya manusia untuk mengubah diri dan lingkungannya melalui berbagai sarana yang ada. Da’wah tidak mengandalkan kekuatan di luar upaya manusia sebagai dasar kerjanya
A. PENDAHULUAN
Da’wah adalah upaya manusia untuk mengubah diri dan lingkungannya melalui berbagai sarana yang ada. Da’wah tidak mengandalkan kekuatan di luar upaya manusia sebagai dasar kerjanya. Hanya saja seorang yang
beriman meyakini bahwa ada kekuatan-kekuatan di luar kemanusiaannya yang mampu
mempengaruhi kekuatan dirinya
Pertolongan Allah SWT akan datang seiring dengan upaya-upaya
manusiawi yang dilakukan oleh orang yang beriman. Oleh karena itu ketika hijrah,
Rasulullah SAW meminta bantuan seorang pemandu jalan seraya mengharapkan
kemudahan perjalanan dari Rabb-nya. Beliau melakukan perjalanan yang berputar
dan berliku seraya mengharapkan Allah SWT menyesatkan pengejaran orang-orang
kafir. Beliau bersembunyi di dalam goa sebelum Allah menutupinya dengan sarang
laba-laba. Ketika berperang, Muhammad SAW dan kaumnya mempersiapkan pedang dan
perbekalan seraya mengharapkan bantuan malaikat dan hujan
Sesuatu harus diberikan oleh orang-orang beriman dalam
perjuangan da’wahnya agar kemudahan-kemudahan da’wah datang kepadanya.
Pertolongan Allah SWT tidak boleh diartikan sebagai sebuah “keajaiban dari
langit” yang datang dengan tiba-tiba dan begitu saja, meskipun hal itu bisa
saja terjadi menurut kehendak Allah SWT jua. Tetapi pertolongan Allah SWT harus
diartikan sebagai respon-Nya terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh para
hamba-Nya. Firman Allah SWT : “Jika kamu menolong (agama) Allah niscaya
Allah akan menolong kamu dan meneguhkan langkah-langkah kamu.” QS(47:7
B. AL ATHOO DAN AL YUSRO
Kaum yang beriman, khususnya para pengemban dakwah, tidak boleh
bakhil terhadap apa saja yang dimilikinya karena pada hakekatnya kebergunaan/mamfaat
itu hanya ada pada saat kehidupan di dunia ini. Setelah mati tidak ada sesuatu
pun yang bisa diberikan oleh manusia untuk menambah timbangan kebaikannya di
alam barzah kelak. Firman Allah SWT :
“Adapun orang-orang yang memberi (apa saja yang dimilikinya di jalan Allah) dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (husna) maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.
Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (Al Lail
ayat 5 - 11). Jadi, sebesar apa pun pemberian al athoo dalam da’wah
maka sebesar itu pula kemudahan al yusroo) yang akan diperoleh dari
Allah dalam upaya meraih cita-cita dan tujuan-tujuan da’wah.
Ekuivalensi (keseimbangan) antara al athoo dan al
yusroo adalah sunnatullah yang tidak bisa dibantah lagi dan hal ini
merupakan sebuah fenomena sejarah yang terang benderang bagi mereka yang
mempelajari dan memahami Al Qur-an. Perhatikanlah nasib perjuangan Rasulullah
SAW dan para sahabatnya yang di antara mereka saling berlomba-lomba memberikan
kontribusinya dalam bentuk apapun di jalan da’wah yang mereka arungi.
Perhatikan pula nasib kaum Nabi Musa AS yang hanya ingin duduk-duduk saja
sementara pemimpin mereka menggadaikan badan dan nyawanya demi cita-cita da’wahnya.
Firman Allah SWT : “Maka apakah kamu melihat orang yang
berpaling (dari Al Qur-an) serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi ?
Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang ghaib sehingga dia mengetahui (apa
yang dikatakan) ? Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam
lembaran-lembaran Musa ? dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu
menyempurnakan janji ? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan
diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberikan kepadanya balasan yang paling
sempurna dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu) ?”
(An Najm ayat 33 - 42).
Pada hakekatnya seseorang harus memberikan kontribusinya dalam
dakwah sekuat kemampuannya, karena semuanya itu akan memberi dampak positif bagi
kehidupan diri dan masyarakatnya. “Barangsiapa yang berbuat sebesar zarrah
dari kebaikan maka ia pasti akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang
berbuat sebesar zarrah dari kejahatan maka ia pasti akan melihat (balasan)nya
pula.” (Al Zalzalah ayat 7 dan 8). Pemberian yang ikhlas, hanya
semata-mata mengharap rahmat serta balasan dari Allah SWT semata, menjadi syarat
yang mutlak bagi pemberian dalam dakwah. Terjadinya fenomena seseorang yang
hanya dengan pemberian /kontribusi yang sedikit tetapi mengharap hasil duniawi
yang besar menunjukkan pemahamannya yang rendah tentang nilai-nilai ajaran agama
Ilahi ini. Allah SWT telah melarang Rasulullah SAW berdakwah untuk memperoleh
balasan-balasan duniawi yang nilainya sangat sempit. Firman-Nya : “Dan
janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak,”
(Al Muddatsir ayat 6).
Hendaknya seseorang hanya mengharap balasan dari sisi Allah
sebesar-besarnya berupa kemudahan (al yusro) hidup di dunia dan akhirat
nanti. Balasan atas kontribusi dakwah yang berbentuk material duniawi (isteri,
anak, harta, kedudukan, kekuasaan, pengikut, dan sebagainya) tetap saja akan
menjadi cobaan yang harus kita hadapi. Balasan Allah SWT kepada kaum muslimin
dalam perang Badar, berupa harta rampasan perang yang begitu banyak, akhirnya
tidak dapat disikapi dengan baik oleh sebagian kaum muslimin sehingga menjadi
sumber fitnah pada Perang Uhud.
C. AL ATHOO : AT TADHHIYAH DAN AL MAS’ULIYAH
Seseorang lahir ke dunia tanpa ada peranan sedikit pun dari
dirinya sendiri. Ia bukanlah apa-apa sebelum kedua orang tuanya dengan izin
Allah mempertemukan sperma dan sel telurnya. Ia bukanlah apa-apa sebelum Allah
SWT meniupkan roh kepadanya dan memproses secara sempurna bentuk-bentuk fisiknya
sehingga ia mempunyai kemampuan penghayatan, intelektual dan inderawi.
Allah SWT juga telah membentangkan alam semesta baginya sehingga
kreativitasnya mampu memberikan berbagai rizki kepadanya. Sesungguhnya
kontribusi Allah SWT kepada manusia adalah sesuatu yang tiada terhitung (al
Kautsar, QS 108 : 1). Tetapi pada jiwa manusia memang terdapat unsur nafs (syahwat,
QS 3 : 13) yang melahirkan “sense of belonging”/rasa kepemilikan dan
kecintaan atas segala sesuatu yang melekat pada dirinya, yang masih berada dalam
genggamannya atau bahkan yang berada dalam angan-angannya.
Oleh karena itu, a athoo adalah bentuk al mas-uliyah (tanggung jawab) apabila dipandang dari sisi bahwa yang diberikan oleh seseorang
adalah sesuatu yang sesungguhnya pemberian Allah SWT jua. Al athoo adalah
bentuk at tadhiyah (pengorbanan) jika dilihat dari sisi bahwa seseorang
memang mempunyai rasa kepemilikan dan kecintaan atas apa-apa yang ada di dalam
genggamannya. Semakin tinggi rasa tanggungjawab dan pengorbanan seseorang
akan semakin besar pula kontribusinya terhadap da’wah Islam.
D. MACAM-MACAM AL ATHOO AD DA’WIY
Terdapat bermacam-macam bentuk pemberian yang dapat dilakukan
oleh seseorang, di antaranya adalah al athoo al fikriy (kontribusi
pemikiran), al athoo al maaliy (kontribusi materi), al athoo an nafsiy
(kontribusi jiwa).
1. Al Athoo Al Fikry (Kontribusi Pemikiran)
Kontribusi pemikiran merupakan jiwa dari perjuangan da’wah
karena nilai-nilai Islam hidup bersama hidupnya pemikiran Islam di kalangan
ummat. Ajaran Islam mampu menembus segala ruang dan waktu yang berubah-ubah dan
mampu berhadapan dengan zaman dan peradaban yang dikembangkan manusia. Ajaran
Islam akan senantiasa siap menyediakan berbagai perangkat sistem yang dibutuhkan
dalam kehidupan : ekonomi, politik, sosial dan budaya. Ummat Islam akan mampu
menjawab semua tantangan itu dengan satu senjata yang telah ditunjukkan oleh
Allah SWT yakni ijtihad. Karenanya Rasulullah SAW sangat menghargai proses
ijtihad yang dilakukan para pemikir ummat Islam sebagaimana pesan yang
disampaikannya kepada Mu’adz bin Jabbal ketika akan membuka wilayah Yaman.
Dr. Yusuf Qardlawi menyatakan dalam buku Fiqhul Aulawiyat
: “Yang tampak oleh saya bahwa krisis kita yang utama adalah “krisis
pemikiran” (azmah fikriyah). Di sana terdapat kerancuan pemahaman
banyak orang tentang Islam. Kedangkalan yang nyata dalam menyadari
ajaran-ajarannya serta urutan-urutannya. Mana yang paling penting, mana yang
penting dan mana yang kurang penting. Ada pula yang lemah memahami keadaan masa
kini dan kenyataan sekarang fiqh al waqi’). Ada yang tidak mengetahui
tentang “orang lain” sehingga kita jatuh pada penilaian yang terlalu “berlebihan”
(over estimasi) atau sebaliknya “menggampangkan” (under estimasi).
Sementara orang lain mengerti benar siapa kita bahkan mereka dapat menyingkap
kita sampai ke “tulang sumsum” kita. Sampai hari ini kita belum mengetahui
faktor-faktor kekuatan yang kita miliki dan titik-titik lemah yang ada pada kita.
Kita sering membesar-besarkan sesuatu yang sepele dan menyepelekan sesuatu yang
besar, baik dalam kemampuan maupun dalam aib-aib kita.”
Kontribusi kaum muslimin dalam bidang pemikiran akan melahirkan
sebuah tsaqah (intelektualitas) dan hadlarah (peradaban) Islam,
sebagaimana yang pernah ditunjukkan dalam sejarah peradaban manusia sejak masa
Rasulullah SAW sampai dengan khilafah-khilafah Islamiyah sesudahnya. Oleh
karenanya kontribusi dalam bidang pemikiran ini akan memiliki buah kontribusi
dalam bidang keilmuan al atho al ‘ilmy dengan berkembangnya berbagai
cabang ilmu dan kontribusi dalam bidang keterampilan (al atho al fanny)
dengan berkembangnya berbagai keahlian budaya yang menunjang peradaban kaum
muslimin.
2. Al Athoo Al Maaliy (Kontribusi Materi)
Kontribusi materi merupakan kekuatan fisik dari da’wah karena
ia akan menggerakkan jalannya perjuangan ini. Berbagai sarana perjuangan
diperlukan dan harus diperoleh melalui penyediaan material dan finansial. Oleh
karena itu berbagai persiapan dalam hal ini diperintahkan Allah SWT sebagaimana
firman-Nya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain
mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang
kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukuop kepadamu dan
kamu tidak akan dianaiaya (dirugikan).” (Al Anfal ayat 60)
Para sahabat telah menunjukkan betapa perjuangan dakwah harus
diikuti oleh perjuangan mengorbankan harta, bahkan kadangkala dalam jumlah yang
tiada taranya. Abu Bakar Shiddiq RA adalah sahabat yang rela mengorbankan
seluruh harta miliknya di jalan Allah, sedangkan Utsman bin Affan yang kaya raya
itu juga sangat luar biasa tanggung jawabnya dalam persoalan kontribusi material
ini. Ketika pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA terjadi musim paceklik beliau
menyumbangkan gandum yang dibawa oleh seribu ekor unta. Sebagian sahabat ada
yang masih hidup dalam zaman kekhalifahan yang memiliki harta kekayaan Negara
yang sangat banyak sehingga mereka sempat hidup berkemakmuran sebagai hasil
perjuangan mereka. Tetapi tidak sedikit yang sudah lebih dulu mati dalam keadaan
berkekurangan, tiada harta benda lagi yang dimilikinya, sebagaimana yang dialami
oleh Rasulullah SAW.
Perjuangan yang dihidupkan tidak hanya dengan semangat dan pemikiran, tetapi juga dengan dukungan materi yang kuat, akan mampu mengimbangi dengan musuh-musuh yang seringkali memiliki sarana yang lengkap dan hebat. Perhatian dalam hal ini adalah sebuah kewajiban yang asasi karena ini merupakan tuntutan sunatullah. Inilah yang ditunaikan Rasulullah SAW ketika memproduksi senjata-senjata perang, yang ditunaikan Umar bin Khattab RA ketika menciptakan “panser-panser” (dababah) atau Utsman bin Affan RA ketika membangun angkatan laut yang kuat di bawah pimpinan Muawiyah.
3. Al Athoo An Nafsiy (Kontribusi Jiwa)
Kontribusi jiwa (nafs) dapat berbentuk pengorbanan untuk menundukkan dorongan-dorongan nafs-nya yang memerintahkan kepada fujur dan menyerahkannya kepada ketaqwaan. Sesungguhnya ini adalah kontribusi yang mendasari seluruh kontribusi lainnya. Seorang harus mengatasi keinginan-keinginan untuk membesarkan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum mau berkorban bagi pihak lain. Ia harus membebaskan dirinya dari sifat bakhil yang mengungkung jiwanya baik dalam aspek material maupun non material.
Kontribusi terbesar diberikan seseorang kepada dakwah apabila ia rela tidak saja menundukkan jiwa kebakhilannya, tetapi bahkan melepas jiwanya itu sendiri dari badannya demi perjuangan dakwah. Inilah cita-cita terbesar dari seorang pejuang dakwah yang diikrarkannya tatkala ia mulai melangkahkan kakinya di jalan dakwah : “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan AL Qur-an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) dari pada Allah ? Maka bergembiralah dengan
jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”
(At Taubah ayat 111).
Termasuk dalam kontribusi jiwa ini adalah kontribusi waktu (al waqt) dan kesempatan (al furshokh) yang dimiliki seseorang dalam perjalanan kehidupannya. Waktunya tidak akan dibelanjakan kepada hal-hal yang tidak memiliki aspek kedakwahan. Ia juga tidak akan menciptakan atau mengambil kesempatan-kesempatan dalam kehidupannya kecuali yang bernilai akhirat. Sebab hanya dengan cara itu ia mampu mengisi perjalanan jiwanya dengan tenang sampai nanti Allah SWT memanggil jiwanya dan menyatakan selamat tinggal kepada raganya yang fana dan akan menjadi tanah
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Al Fajr ayat 27 - 30).
1 comment:
ASSALAMU'ALAIKUM,
MOHON IZIN UNTUK DI SHARE KE BINAAN YA.
JAZAAKUMULLAH
Post a Comment