Ini adalah tadbir dan taqdir Rabbani. Allah Azza wa-jalla
memberi kepercayaan dan kesempatan kita untuk meraih derajat amal shalih yang
tinggi. Melampaui perkiraan atau perencanaan sebagai manusia.
Jahriyatud-Da’wah
Jahriyah-jamahiriyah. Ini fase yang menuntut kader-kader da’wah
mentransformasikan diri dan da’wahnya ke tengah masyarakat, secara terbuka dan
luas. Kita menjadi Ashabul-Kahfi yang keluar mendatangi masyarakat dengan
da’wah.
Organisasi (partai) da’wah kita jelas. Sebagaimana jelasnya
jajaran qiyadah, kader, misi, manhaj dan program-program da’wahnya. Yang
penting, bagaimana mengelolanya sebagai anashir quwwah untuk menda’wahi
masyarakat. Menyapa dengan bahasa manusia. Berbicara dan berinteraksi dengan
bahasa Islam. Mengarahkan dan mempengaruhi dengan bahasa da’wah. Kemudian
menggerakkan kebaikan mereka untuk menegakkan Islam, melalui janji-janji syurga.
Semua itu bertujuan untuk memperbesar dan memperluas basis dukungan sosial (qaidah
jamahiriyah) bagi da’wah.
Ada prinsip-prinsip yang harus dipahami. Pertama, da’wah hak
semua manusia dan semua unsur masyarakat. Kita wajib menyiarkan da’wah ke
setiap orang. Kedua, masyarakat Islam meliputi beragam unsur dan tingkatan
masyarakat. Tua-muda, laki-laki dan wanita, awam dan terdidik, kaya-miskin,
politisi dan pedagang, birokrat dan budayawan, dan seterusnya. Agar bangunan
masyarakat Islam tegak utuh, maka da’wah harus menjangkau semua. Ketiga, syari’at
mengatur semua aspek kehidupan. Dalam men-tahqiq syari’at Islam, maka
harus disiapkan lapangan (masyarakat) yang lengkap dalam berbagai unsurnya.
Urgensi Qaidah Jamahiriyah
Dalam kerangka siyasatud-da’wah, perluasan basis sosial
da’wah (qaidah jamahiriyah) sangat penting. Ada beberapa alasan. Pertama,
perluasan qaidah jamahiriyah akan mengokohkan eksistensi dan daya-tarik da’wah.
Organisasi da’wah, du’at dan berbagai wajihat di dalamnya akan tampil lebih
kokoh, menarik, berwibawa dan diperhitungkan.
Kedua, memperluas rizki da’wah dengan tersalurkannya
tangan-tangan para aghniya untuk menopang da’wah ini. Prinsip sunduquna
juyubuna (dana kita adalah dari kantong kita) yang melekat di setiap kader
bertemu dengan ta’yid mali (dukungan finansial) para pendukung da’wah.
Bukan hanya finansial, tapi juga sarana-prasarana, opini, dukungan politik, dan
lain sebagainya.
Ketiga, pembesaran dan perluasan qaidah jamahiriyah akan
mempercepat pembentukan mujtama’ Islami. Luasnya iklim penerimaan Islam, akan
melahirkan tuntutan spontanitas dari warga masyarakat untuk menerapkan nilai dan
ajaran Islam di berbagai bidang kehidupan. Terwujudnya masyarakat Islam, bukan
semata karena kuatnya dorongan da’wah, tetapi juga kuatnya kesadaran umat yang
menginginkan Islam.
Keempat, memperbesar dukungan suara politik bagi da’wah. Dalam
konteks musyarakah siyasiyah (partisipasi politik), dukungan suara
menjadi ukuran eksistensi, kredibilitas dan legitimasi politik suatu partai.
Semakin besar dukungan suara, semakin kuat posisi tawar dan semakin efektif
peran perubahan yang dijalankan.
Kelima, perluasan qaidah jamahiriyah - pada saatnya - akan
menghasilkan basis perlindungan bagi eksistensi da’wah. Sunnahnya, setiap
harakah da’wah akan menghadapi tantangan, tekanan dan permusuhan dari berbagai
kekuatan kuffar. Ketika itu terjadi, dukungan masyarakat yang berperan sebagai
benteng dan bumper, sangat diperlukan bagi kesinambungan eksistensi dan misi da’wah.
Terakhir, ia adalah salah satu pilar kesuksesan da’wah dan
bukti pertolongan Allah SWT terhadap kebenaran risalah da’wah. “Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk
agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu
dan mohonlah ampun kepadanya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”
(QS. An-Nashr: 1-3).
Empat Agenda Da’wah Jamahiriyah
Setelah kita memahami hakikat marhalah jahriyah-jamahiriyah
dan urgensi bina al-qaidah al-jamahiriyah, muncul pertanyaan yang lebih
operasional. Apa agenda kerja da’wah kita sekarang?
Pada prinsipnya, agenda dan program harus mengacu kepada syumuliyah
dan takamuliyah dalam Islam. Artinya, harus menyentuh semua aspek
kehidupan da’wah dan masyarakat, serta ada saling keterkaitan antar
program-program tersebut. Proporsi dan pembobotan program juga mesti tawazun
dan memiliki kejelasan awlawiyat-nya.
Dalam konteks awlawiyat al-‘amal (prioritas kerja)
inilah, setiap periode atau tahapan akan memiliki tarkiz (fokus) kerjanya.
Secara umum, fokus kerja da’wah pada marhalah jahriyah-jamahiriyah adalah
melakukan ri’ayah jamahiriyah. Artinya mendayagunakan potensi-potensi
da’wah untuk mengembangkan, memelihara dan mengarahkan basis dukungan sosial
da’wah. Ini dalam rangka memperkokoh eksistensi da’wah dan meningkatkan
efektifitas peran-peran perubahan yang dilakukan.
Ada tiga agenda besar dalam mengembangkan basis dukungan sosial
da’wah. Yaitu siyaghah al-bina al-ijtima’i (merekonstruksi tatanan
kemasyarakatan), ri’ayah al-mashalih al-ijtima’iyah (memelihara aset
kebaikan masyarakat), hallu al-qadhaya al-ijtima’iyah (memecahkan
problema masyarakat) dan taqwiyah at-tadhamun al-ijtima’i (menguatkan
solidaritas sosial).
Agenda 1 : Siyaghah Al-Bina Al-Ijtima’i
Perlu dipahami, sebuah masyarakat bukan hanya terdiri dari
kumpulan manusia dan interaksi. Tetapi juga mencakup kumpulan institusi atau
tatanan, dengan beragam struktur dan fungsinya. Tatanan inilah yang menjadi
wadah dan saluran berbagai pola interaksi anggota-anggota masyarakat.
Keluarga adalah tatanan terkecil dan inti sebuah masyarakat.
Terkecil, karena bisa dibentuk dengan dua orang anggota masyarakat. Keluarga
inti kemudian berkembang menjadi keluarga besar (extended family).
Keluarga menjadi institusi inti karena ada-tidaknya masyarakat, hidup-matinya
dan maju-mundurnya suatu masyarakat sangat ditentukan oleh keberadaan
keluarga-keluarga di dalamnya. Itulah sebabnya, Islam memberikan perhatian
sangat besar terhadap keluarga.
Dalam maratibul-‘amal (tahapan langkah kerja) da’wah
kita, pembangunan institusi keluarga adalah langkah lanjutan pembentukan pribadi
muslim dan langkah antara menuju pembangunan masyarakat Islam. Dari sini, peran
da’wah keluarga menjadi sangat jelas. Keluarga menjadi sarana hidup untuk
mengokohkan kepribadian kader dan mencetak generasi baru da’wah. Juga menjadi
sarana da’wah untuk membangun mujtama’ Islami.
Problem sosial masyarakat paling kritis saat ini adalah
terkikisnya eksistensi keluarga. Orang muda takut menikah karena ingin bebas,
muda-mudi serumah tanpa nikah karena tak ingin terikat, pasangan muda enggan
melahirkan anak karena mengganggu karier, keuangan dan kecantikan. Pasangan lama
mulai retak karena isu selingkuh, kawin-cerai jadi urusan ringan, single-parent
dan single-parenthood menjadi mode, broken home dan loss
generation menimpa anak-anak dalam keluarga, dan setumpuk persoalan lainnya.
Siyaghah Al-Bina Al-A’iliy
Dari realitas ini, upaya merekonstruksi dan memperbaiki
institusi keluarga di tengah masyarakat menjadi prioritas dalam siyaghah al-bina
al-ijtima’i. Kita harus meluruskan kembali orientasi (ittijah)
masyarakat tentang berkeluarga. Mengarahkan cara pengelolaan kehidupan keluarga
sesuai tuntunan Islam. Membantu penyelesaian problem dan konflik keluarga,
mengokohan hubungan dalam keluarga besar (extended family) serta
memberdayakan peran-peran keluarga di masyarakat dalam berbagai bidang.
Untuk merealisir hal ini, perlu penyesuaian dalam uslub dan
wasilah da’wah. Keluarga adalah cermin kehidupan keseharian setiap orang.
Maka diperlukan pem-bahasa-an nilai dan konsep yang normatif ke dalam
bahasa komunikasi da’wah yang sehari-hari, praktis dan lebih bernuansa
non-formal. Pergaulan da’wah pada akhirnya akan sangat menentukan keberhasilan
agenda ini.
Da’wah keluarga juga membutuhkan keluarga da’i sebagai
sarana. Bagaimana keluarga da’i menjadi usrah mitsaliyah (keluarga
model) yang memiliki misdaqiyah a’iliyah (kredibilitas keluarga). Tentu
saja bukan dalam perspektif material. Tetapi bagaimana iklim dan suasana
kehidupan keluarga da’i memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh
keluarga-keluarga lain, walaupun mereka dilengkapi dengan berbagai sarana
material.
Manakala da’wah mampu membangun tali hubungan baik dengan
keluarga-keluarga di masyarakat, berarti kita mulai memegang (dan selanjutnya
mengendalikan) jantung kehidupan masyarakat. Karena dari keluarga lah, muncul
dan berkembang berbagai institusi lain. Misalnya sekolah, masjid, pasar, pabrik,
media massa, lembaga kesenian, ormas, dll.
- Siyaghah Al-Bina At-Ta’abbudi
Secara sosio-kultural, masyarakat kita bersifat relijius. Di
berbagai tempat, kita mudah menemukan masjid, musholla, majelis ta’lim dan
perkumpulan peribadahan. Sayangnya, berbagai sarana fisik peribadahan itu
mengalami kejumudan dalam aktifitasnya. Penyebabnya karena orang-orang di
dalamnya terjebak dalam rutinitas ritual yang parsial dan sektoral.
Institusi-institusi peribadahan ini membutuhkan alam pikiran
baru, semangat dan dinamika baru serta pelopor-pelopor kebaikan baru. Nyaris
mereka tidak bisa mendapatkan itu semua, kecuali dari kader-kader da’wah ini.
Sosok yang hatinya dekat dengan masjid, tampilannya mencerminkan kemuliaan
akhlak Islam, pergaulannya menyenangkan semua orang dan pekerjaannya selalu
dilakukan dengan ihsan.
Di tengah idealisme fikrah, kita harus mulai memahami
latarbelakang sosio-kultural masyarakat. Sehingga kita tahu jalan masuk apa yang
tepat. Penguasaan yang lebih atas ‘ulum syar’iyyah (termasuk juga lughah
‘arabiyah) menjadi sangat penting. Dua hal ini, insya Allah akan bisa
mengantarkan kita pada jazabiyah da’wah (pesona da’wah).
- Siyaghah Al-Bina Al-Iqtishadi
Di antara kebutuhan dasar manusia adalah makan dan minum. Lalu
berkembang kepada kesejahteraan dan kekayaan. Maka aktifitas dan institusi
ekonomi senantiasa melekat di setiap masyarakat. Pernahkan kita menghitung,
berapakah jumlah uang yang beredar dalam sebuah komunitas kecil masyarakat?
Pasti sangat besar. Hakikatnya, ia adalah potensi kekayaan umat, namun belum
terdayagunakan bagi kepentingan da’wah.
Bila kita menetapkan sebuah masjid sebagai parameter eksistensi
suatu komunitas kecil masyarakat muslim, maka setidaknya kita memiliki 100
sampai 200 keluarga. Bila langkah siyaghah al-bina al-‘ailiy dan siyaghah
al-bina at-ta’abbudi berjalan efektif, maka kita bisa mengarahkan
bentuk-bentuk aktifitas ekonomi dan perputaran uang umat ke dalam bentuk-bentuk
usaha ekonomi Islami berbasis masjid. Ini hanyalah satu contoh sederhana.
Pelaku-pelaku ekonomi besar sekarang ini menerapkan pola community market
dalam usaha retail barang-barang kebutuhan harian. Lihat saja Indomaret yang
semakin merambah di kawasan perkotaan.
- Siyaghah Al-Bina At-Ta’limi
Institusi berikut yang penting adalah pendidikan. Walaupun tugas
utama ada pada keluarga, tapi di dalam masyarakat yang semakin kompleks, fungsi
pendidikan anak dikembangkan kepada sektor formal. Bahkan di perkotaan,
institusi pendidikan formal nyaris menjadi satu-satunya lembaga yang membentuk
aspek-aspek kepribadian anak.
Realitas sekarang diwarnai gejala ketidakmampuan sekolah (dan
kampus) dalam menjalankan fungsi-fungsi pendidikan secara efektif. Tawuran
massal, sex bebas, narkoba dan tindak kriminal mulai menjadi budaya baru kaum
pelajar/mahasiswa. Di tengah ketidakmampuan ini, muncul ironi lain di mana
aktor-aktor pendidik justru terlibat dalam berbagai bentuk penyakit moral dan
sosial.
Secara historis, da’wah kita berangkat dari sekolah dan kampus.
Nyatanya pula, banyak kader da’wah yang bergerak di sektor pendidikan formal
dan informal. Ini menjelaskan bahwa ada potensi besar tersedia di hadapan kita,
untuk merekonstruksi dan memperbaiki tatanan pendidikan di negeri ini. Ingat,
kemajuan peradaban suatu bangsa ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya.
Dalam konteks ini, agenda da’wah diarahkan untuk menyiapkan
aktor-aktor pendidik dari barisan kader da’wah. Tugasnya mewarnai berbagai
institusi pendidikan yang ada. Mengembangkan wacana konsep pendidikan baru yang
Islami dan gagasan solutif bagi benang-kusut pendidikan di negeri ini. Juga
mengembangkan sekolah-sekolah model yang nantinya akan diadopsi oleh berbagai
sekolah di tengah-tengah masyarakat.
Demikianlah, upaya merekonstruksi dan memperbaiki tatanan
kemasyarakatan harus menjangkau sektor-sektor lain. Kerja ini bersamaan dengan
upaya merekonstruksi tata-nilai dan orientasi kebutuhan hidup masyarakat yang
sejalan dengan Islam. Sehingga akan muncul interrelasi antara nilai Islami, pola
hubungan dan interaksi Islami, kebutuhan dan kepentingan riil masyarakat yang
Islami dengan berbagai institusi yang juga mengalami Islamisasi.
Agenda 2 : Ri’ayah Al-Mashalih Al-Ijtima’iyah
Agenda kedua adalah ikut memelihara aset kebaikan masyarakat. Syumuliyah
ar-ru’yah menuntun kita melihat dan menilai masyarakat secara obyektif. Di
tengah kebodohan terhadap Islam dan kerusakan budaya akibat serbuan budaya
permisif barat, masyarakat masih memiliki potensi dan aset kebaikan. Baik yang
bersifat materiil maupun non-materiil.
Pada masyarakat yang mengalami transisi kebudayaan, seringkali
tidak mampu memelihara kebaikannya secara efektif. Sehingga tatanan budayanya
nyaris berganti sama sekali dengan sesuatu yang baru. Atau ketika hal baru itu
sesuatu yang baik, mereka seringkali tidak mampu memeliharanya.
Realitas sosial masyarakat kita sangat dekat dengan ini.
Misalnya krisis adab pergaulan antara anak dan orang-tua, antara guru dan
anak-didik. Juga dalam kebiasaan hidup semacam pengajian anak-anak pada sore
hari di musholla atau surau, ibu-ibu yang menyenandungkan shalawat saat
menidurkan anaknya, sampai kepada kisah-kisah kepahlawanan tokoh-tokoh Islam
lokal.
Di sini, da’wah memiliki kewajiban memelihara kebaikan yang
ada di masyarakat. Sehingga kita tidak membangun dari nol, dan akan mempercepat
pembentukan masyarakat Islami. Alhamdulillah, selama ini kita banyak
menginspirasi dan mensyiarkan berbagai bentuk budaya Islam. Berkembangnya
senandung shalawat di masyarakat tidak bisa dilepaskan dari semarak anasyid
da’wah. Berkembangnya mode busana muslimah yang trendy juga tak lepas dari
syi’ar jilbab yang diperjuangkan aktifis da’wah.
Yang perlu kita pahami bersama, kebaikan masyarakat ada yang
bersifat syar’i dan ada yang sifatnya ‘urf (adat kebiasaan). Budaya
gotong-royong, kerja bakti, siskamling, arisan warga, dan lain sebagainya adalah
adat baik yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan da’wah. Ini mashlahat dari
sisi budaya.
Dari sisi material, masyarakat memiliki banyak kebaikan fisik
yang tidak mampu mereka pelihara. Masjid-masjid baru yang megah, sarana
transportasi umum yang vital, taman-taman kota, dan lain sebagainya. Apabila da’wah
ikut terlibat dalam memelihara aset-aset kebaikan material masyarakat semacam
ini, maka akan menghasilkan simpati dan dukungan besar dari warga masyarakat.
Bahkan tidak mustahil, dukungan finansial (ta’yid mali) akan mudah
diberikan oleh mereka.
Ketika kerja da’wah dilakukan dalam bentuk ini, maka tersedia
peluang lain bagi da’wah. Yaitu pemanfaatan secara optimal alokasi dana-dana
pembangunan pemerintah daerah yang relatif besar jumlahnya. Pihak pemerintah
akan senang dan merasa lebih aman apabila dana-dana semacam itu dikelola dan
dikerjasamakan dengan lembaga-lembaga da’wah yang memiliki kredibilitas moral
serta kemampuan kerja profesional.
Agenda 3: Hallu Al-Qadhaya Al-Ijtima’iyah
Agenda ketiga, berperan aktif dan pro-aktif dalam memecahkan
problematika masyarakat. Ada pelajaran sejarah yang sangat berharga dari Sirah
Nabawiyah. Ketika kabilah-kabilah di Makkah nyaris konflik akibat tidak
menemukan kesepakatan dalam peletakan kembali Hajar Aswad, akhirnya
Muhammad SAW tampil sebagai “problem solver” bagi mereka. Masalah selesai
tanpa konflik dan mereka semua puas dengan solusi yang diberikan nabi. Apa
hasilnya? Tokoh-tokoh dan masyarakat Makkah menggelari nabi Muhammad sebagai “Al-Amin”.
Sebuah pengakuan dan penghargaan sosial yang sangat mahal.
Begitu pula dengan nabi Yusuf as. Dengan kecerdasan intelektual
dan bimbingan Allah SWT, beliau mampu memberikan solusi jitu terhadap ancaman
krisis pangan panjang di negeri Mesir. Alhasil, Yusuf as mendapatkan posisi
tawar yang kuat sehingga mendapatkan jatah di kursi pemerintahan.
Demikian pula nabi Musa as. Dorongan spontan untuk membantu
putri-putri nabi Syuaib yang mengalami kesulitan dalam memberi minum
gembalaannya, menghasilkan ganjaran sosial yang luar biasa. Nabi Musa as diambil
sebagai menantu oleh nabi Syua’ib.
Kisah-kisah di atas menjelaskan kepada kita urgensi dari
keterlibatan untuk menyelesaikan berbagai problem masyarakat. Yang diperlukan
pertama kali adalah pengenalan lengkap kita atas peta persoalan masyarakat di
berbagai aspek. Tafa’ul maydani yang intens akan menghasilkan wawasan dan
pemahaman yang baik tentang hal ini. Bila saja seorang kader bisa
mendeskripsikan kondisi wilayah geografisnya dalam lingkup se-kelurahan/desa,
maka ia akan memiliki peluang sebagai unsur problem solver.
Dengan mengklasifikasi dan membobotkan jenis-jenis persoalan
masyarakat, kita bisa memformulasi program-program riil apa yang dibutuhkan
sebagai solusi. Dari keseluruhan program solutif itu, kita bisa jabarkan
mana-mana yang menjadi porsi kerja da’wah secara langsung, dan mana yang
diarahkan realisasinya kepada unsur-unsur masyarakat lain, termasuk unsur
pemerintahan.
Kejelasan agenda dan program da’wah - yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat - akan menggiring kita untuk menganalisis daya dukung dan
daya topang da’wah untuk merealisasikannya. Di sinilah perencanaan strategis
dilakukan di berbagai tingkat struktur dan unit-unit organisasi da’wah.
Program yang sesuai dengan daya dukung dan daya topang da’wah, tentu
diprioritaskan. Adapun yang belum bisa dijalankan, perlu dilakukan
langkah-langkah konsolidasi kekuatan da’wah. Ini dilakukan dengan peningkatan
kemampuan kerja di berbagai sisi dan dengan memperluas tingkat partisipasi warga
masyarakat.
- Metode Charity
Dalam wacana social action, ada sejumlah metode yang bisa
dilakukan. Paling klasik adalah metode charity atau ‘amal khairy.
Yaitu membantu pengentasan problem masyarakat dengan pendekatan pelayanan
kebajikan secara cuma-cuma. Misalnya: bantuan pangan, bakti sosial, pelayanan
kesehatan, santunan yatim-piatu, dan sejenisnya. Metode ini berguna untuk
membangun kontak dan simpati masyarakat terhadap da’wah. Tetapi kelemahannya,
ia tidak mampu memecahkan problem sosial secara tuntas. Kadangkala dampak
negatifnya adalah memanjakan masyarakat.
- Metode Community Development
Metode lainnya adalah pembangunan komunitas atau community
development. Metode ini berpijak pada prinsip pemberdayaan masyarakat
melalui kemampuan mandiri dalam skala komunitas. Di sini, da’wah memberikan
bimbingan dan fasilitas kepada suatu komunitas untuk memberdayakan dan
mengembangkan kehidupan sosial-ekonominya, sampai akhirnya mereka bisa berjalan
sendiri.
Misalnya, program pengelolaan dana zakat untuk proyek
pemberdayaan usaha peternakan di suatu komunitas. Kita memberikan penyuluhan,
fasilitas, bimbingan dan supervisi tentang usaha peternakan di suatu komunitas.
Setelah berjalan baik, maka mereka bisa dilepas, dengan supervisi yang bersifat
periodik. Metode ini cukup efektif. Namun cukup banyak kendala sosio-kultural,
karena komunitas miskin umumnya memiliki tingkat residensi dan tingkat
keterikatan sosial yang lemah. Selain kendala struktural - dalam aspek ekonomi
dan politik - yang menyulitkan komunitas ini mengembangkan usahanya.
- Metode Advokasi
Atau berikutnya metode advokasi. Ini berangkat dari asumsi bahwa
banyak problem sosial adalah akibat dari ketidakadilan struktural, khususnya di
bidang ekonomi, hukum dan politik. Agar masyarakat mampu mengembangkan dirinya,
maka dibutuhkan iklim keadilan dari pihak penguasa atau kekuatan-kekuiatan
struktural lainnya. Misalnya masalah upah buruh, hak-hak pekerja wanita dan
anak, `penggusuran tanah, perlindungan hukum bagi pembantu rumah-tangga, dan
sebagainya. Di sini, da’wah berperan melakukan advokasi atas nama warga
masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya secara layak.
Metode advokasi umumnya dijalankan oleh berbagai asosiasi
independen yang menggeluti bidang-bidang kerja tertentu. Misalnya asosiasi
tentang hak-hak konsumen, asosiasi tentang hak-hak khalayak media massa,
asosiasi tentang perlindungan pekerja wanita dan anak, dan lain sebagainya. Maka
menjadi sangat penting, berbagai wajihah dan muassasah yang banyak dikelola
aktifis da’wah diarahkan untuk fokus pada bidang-bidang yang spesifik.
- Metode Aggregasi Politik
Lainnya adalah metode aggregasi politik. Yaitu upaya untuk
mendorong lahirnya kebijakan perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang
memihak kepada kepentingan rakyat. Ini umumnya fungsi yang dilakukan oleh partai
politik melalui aksesnya di lembaga legislatif, eksekutif dan juga yudikatif.
Problem-problem kemasyarakatan diidentifikasi dengan pendekatan sistem dan
kemudian ditindaklanjuti dengan solusi yang sifatnya legalistik. Misalnya untuk
mengatasi problem waktu sore anak-anak yang sulit dialokasikan untuk aktifitas
belajar di rumah, dijawab dengan produk kebijakan melalui undang-undang atau
peraturan tentang “jam belajar warga”, peraturan tentang “program siaran
tv pada saat jam belajar warga”, dan lain sebagainya.
Dalam konteks otonomi daerah dimana proses pembangunan
masyarakat terfokus pada daerah tingkat dua (dati II), da’wah akan lebih mudah
mengindentifikasi problem masyarakat dan melakukan aggregasi politik pada
tingkat lokal. Sehingga sangat mungkin, dinamika aktifitas politik da’wah
tingkat lokal lebih intensif ketimbang tingkat profinsi atau nasional.
Agenda 4: Taqwiyah At-Tadhamun Al-Ijtima’i
Salah satu ciri penting keumatan adalah rasa ikatan sosialnya.
Dalam konteks umat Islam, keterikatan umat Islam bersifat ideologis yaitu
kesatuan iman dan Islam. Ini merupakan ikatan paling kuat dan mampu
menggerakkan. Pada sisi lain, ajaran-ajaran Islam sangat kaya dengan nilai dan
perilaku yang mengarahkan pada terwujudnya rasa solidaritas sosial dalam
berbagai dimensinya.
Misalnya keterikatan nasab-kekerabatan, hubungan ketetanggaan (neighbourhood),
keterikatan antara muzakki dan mustahik, solidaritas antara yang
kuat dan lemah, dan seterusnya. Bentuk-bentuk ikatan ini tidak hanya berlaku
dalam ruang-lingkup keluarga, lokal kedaerahan, kebangsaan tapi juga meluas
dalam ruang-lingkup internasional (‘alamiyah).
Munculnya berbagai problematika umat menjadi sarana efektif
untuk menguatkan rasa solidaritas sosial ini. Bahkan dalam pengalaman
sejarahnya, isu-isu internasional keumatan, sangat efektif dalam menggalang rasa
persatuan umat, mobilisasi dukungan dana sampai pada upaya jihad internasional.
Perang Afghanistan, Qadhiya Palestina, Genocide di Bosnia, dan
lainnya telah menunjukkan bukti-bukti nyata. Di skala lokal, kasus Maluku, Poso,
Aceh juga tidak kalah efektif sebagai bahan perekat solidaritas umat. Di
sinilah, da’wah harus mulai secara lebih nyata, luas dan intensif mengelola
berbagai persoalan keumatan untuk membangun basis dukungan sosial umat.
Bukti lain, ketika da’wah merespon berbagai bencana alam dalam
aksi solidaritas kemanusiaan, muncul simpati luar biasa dari warga masyarakat
terhadap da’wah. Bahkan sunnahnya, da’wah senantiasa terdepan dalam merespon
masalah ini.
Inilah empat agenda utama yang ada di hadapan kita sekarang.
Beragam metode sudah tersedia. Dalam kaitan ini, kita tentu saja bisa mencari
formula yang tepat dari berbagai metode yang tersedia. Yang pasti ada perbedaan
mendasar. Da’wah akan melakukan metode-metode ini dengan kerangka nilai-nilai
da’wah. Sehingga kita memandang persoalan masyarakat secara lebih utuh, dan
bukan hanya dari sisi permukaan belaka.
Rahasia Kesuksesan Jahriyah-Jamahiriyah
Kesuksesan marhalah jahriyah-jamahiriyah akan diraih manakala
kader-kader da’wah menempatkan dirinya sebagai bagian utuh dari masyarakat.
Melalui kepribadian insani, kepribadian Islami, kepribadian da’i dan
kepribadian ijtima’i-nya, masyarakat akan mengenal mereka, simpati pada
kebaikannya, cinta dengan kehidupannya dan mendukung perjuangannya.
Kesuksesan ini juga akan diraih, manakala kader-kader da’wah
mampu memperbaiki kehidupan masyarakat bukan semata dengan kata-kata. Sesuatu
yang memang diperlukan untuk merekonstruksi alam keyakinan dan alam pikiran
masyarakat. Tetapi juga melengkapi solusi kata-kata dengan solusi aksi dan kerja
nyata.
Terlalu banyak persoalan masyarakat dan umat yang butuh solusi
praktis dan pragmatis. Soal kebodohan, kemiskinan, ketertindasan, keterancaman,
kesenjangan, dan lain sebagainya. Masyarakat membutuhkan kehadiran para pelopor
yang bisa menggerakkan alam sadar, alam kemauan dan alam keberanian mereka,
untuk menyelesaikan problematika hidup yang sudah sangat menghimpit.
Perhatikanlah ayat-ayat berikut ini:
“Maka hendaklah mereka menyembah Rabb pemilik rumah ini (Ka’bah).
Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Quraisy: 3-4)
“Hai nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk
berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar
di antara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu dari orang-orang kafir,
disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS.
Al-Anfaal: 65)
Kesuksesan semacam ini telah diiraih oleh baginda nabi Muhammad
SAW. Rahasianya, karena beliau memiliki syakhsiyah jahriyah-jamahiriyah
yang kuat. Inilah yang digambarkan secara indah dalam ayat: “Sesungguhnya
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya
penderitaanmu. Sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Amat
belas-kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.” (QS. At-Taubah:
128).
1 comment:
Assalamu'alaikum, ana izin copas. Jazakumullah
Post a Comment